Seorang remaja perempuan menyentak para kepala negara dan pengusaha papan atas dunia di Davos, Swiss pada awal 2019. “Saya ingin Anda panik,” katanya. “Rumah kita sedang terbakar. Bertindaklah seakan tak ada yang dapat dilakukan selain menyelamatkannya.” Sejak itu, nama anak muda tersebut kian dikenal. Seruannya kepada remaja lain untuk menyelamatkan bumi beroleh perhatian publik internasional. Dialah Greta Thunberg.
Kini, semangat serupa menguar di kalangan anak muda tanah air. Topiknya masih beririsan dengan isu lingkungan, tetapi dengan persoalan yang lebih spesifik: pengendalian tembakau. Mereka bernaung dalam sebuah koalisi kaum muda yang berasal dari 43 organisasi di 20 kota/kabupaten. Dengan mengusung nama Indonesian Youth Council for Tobacco Control (IYCTC), mereka menyuarakan pengendalian zat adiktif produk tembakau di Indonesia.
Seorang remaja teman tuli, Rifka, mengaku sangat antusias terlibat dalam advokasi bahaya rokok bersama koalisi IYCTC. Dia pun sependapat dengan anak muda lain yang mengatakan bahwa rokok tidak hanya berbahaya bagi kesehatan, tetapi juga lingkungan. Dengan bahasa isyarat, dia berharap akan makin banyaknya anak muda yang turut aktif menyuarakan bahaya rokok.
“Semoga isu [pengendalian rokok] ini terus bergulir dan gerakannya makin inklusif untuk semua golongan,” kata Rifka, sebagaimana diutarakan juru bahasa isyarat, pada perhelatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS), 21 Mei 2022.
Jika merujuk pada sejarah, bahaya rokok bagi kesehatan sudah disampaikan dalam sebuah riset di Amerika Serikat yang hasilnya kemudian dirilis oleh Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan Abang Sam pada 1953. Salah satu kesimpulannya menyebut bahwa rokok menyebabkan kanker dan masalah kesehatan lainnya.
Bahkan, pada 1998, dokumen internal perusahaan rokok di Amerika Serikat menyatakan bahwa produk rokok yang mereka jual mengandung nikotin yang menyebabkan adiksi. Terlebih, perusahaan itu juga menyebut bahwa anak muda merupakan target pasar penjualan rokok mereka.
Atas fakta tersebut, industri rokok kian mendapatkan tentangan dari masyarakat di beberapa negara maju wilayah Amerika dan Eropa. Namun, perusahaan rokok tidak pendek akal. Mereka mulai berpindah untuk menjajakan produknya ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dalam perkembangannya, produk rokok digemari oleh banyak orang di tanah air. Data dari South Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) pada 2019 menyatakan, jumlah prevalensi perokok di Indonesia mencapai 65 juta orang. Jumlah itu menempati Indonesia di urutan ketiga perokok terbanyak di dunia. Data itu juga menyebut prevalensi perokok muda usia 10—18 tahun yang meningkat dari 7,2 persen menjadi 9,1 persen pada 2019.
Fasilitator Forum Anak Kota Ambon (Fakota), Jordan Vegard Ahar, turut membenarkan fakta akan tingginya angka perokok anak dan remaja. Menurutnya, ada dua hal yang menyebabkan itu terjadi. Pertama, mudahnya akses untuk memperoleh rokok. Kedua, harga rokok yang murah.
Dua hal itu, kata Jordan, terjadi di Kota Ambon. Tidak sedikit anak-anak yang mengatasnamakan orang tua saat membeli rokok. Tentu saja, ujarnya, pedagang tidak akan menanyakan lebih detail selama si anak memiliki uang untuk membeli rokok.
“Meski dalam ketentuan, rokok hanya bisa dibeli oleh mereka yang berusia dewasa, fakta di lapangan anak-anak tidak akan ditanyakan usianya saat membeli rokok,” kata Jordan.
Merespons hal itu, Jordan berharap agar pemerintah dapat menerapkan regulasi secara ketat serta terus memproduksi aturan yang dapat menekan angka konsumsi rokok di kalangan anak muda. Dia juga mengingatkan pentingnya kaum muda mengetahui dampak buruk rokok bagi kesehatan dan mencari tahu informasi yang benar mengenai kandungan rokok dan dampak buruknya bagi lingkungan.
“Anak muda jangan sampai terbuai dengan informasi yang tidak tepat mengenai rokok,” ungkapnya.
Semangat menentang rokok juga disampaikan Aktivis/Co-Kapten River Warrior, Aeshnina Azzahra Aqilani. Menurut remaja usia 15 tahun ini, anak muda merupakan pewaris bumi dan berkewajiban mencari solusi atas penyelamatannya. Jika anak muda terus membiarkan perusahaan rokok menjual produknya dan menawarkan solusi palsu yang malah merusak lingkungan, pasti akan datang bencana besar di kemudian hari.
“Kalau bencana itu datang, yang merasakan pasti kita, anak muda,” tuturnya.
Oleh karena itu, lanjut remaja yang akrab disapa Nina, anak muda harus bersatu dan menyuarakan pesan yang sama agar berhati-hati dengan informasi keliru mengenai rokok. Sebab, hanya dengan cara itu keberlanjutan generasi muda dapat terus bertahan sehingga dapat melahirkan generasi yang lebih produktif.
Pentingnya menekan angka konsumsi rokok di kalangan anak muda juga disampaikan Daniel Beltsazar dari Kolaborasi Bumi. Dengan mengutip salah satu kajian dari jurnal The Lancet Public Health, dia menyebut 83 persen perokok mulai mengonsumsi gulungan tembakau yang dibungkus itu antara usia 14—25 tahun.
Artinya, lanjut Daniel, makin muda usia seseorang mulai merokok, makin berpotensi dia menjadi pecandu rokok. Dengan begitu, perokok itu makin sulit untuk berhenti dari kebiasaan merokok.
“Kesimpulannya, jika sampai usia 18 tahun orang tidak merokok, dia berpotensi menjadi non-smoker seumur hidupnya,” ungkapnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post