(Peringatan: laporan ini mengandung muatan tentang bunuh diri)
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2012 menyebutkan satu orang bunuh diri setiap 40 detik secara global. Lebih dari satu juta orang meninggal bunuh diri setiap tahun. Sekitar 75 persen bunuh diri terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Namun situasi ekonomi belum tentu menjadi penyebab bunuh diri. Seperti vokalis band Linkin Park Chester Bennington yang mengakhiri hidupnya pada 2017 dan aktor film Robin William pada 2014.
Dokter Yoseph Chandra menyebutkan bunuh diri ini tidak imun pada individu atau kelompok tertentu. Kecenderungan ini bisa terjadi pda siapapun. Ada sejumlah faktor risiko berdasarkan usia, jenis kelamin, etnis, kepercayaan, status perkawinan, kesehatan, dan lainnya.
Karena itu penting untuk mengenali tanda peringatan bunuh diri. Seperti membicarakan keinginan bunuh diri, membenci dan menghujat diri sendiri, mencari cara mematikan untuk bunuh diri. Lalu mengatur segala hal untuk ditinggalkan, mengucapkan perpisahan, menarik diri dari orang lain, perilaku merusak diri sendiri, perubahan fisik dan mood yang drastis.
“Kalau sudah ngomong, aku kok rasanya ingin pergi selamanya. Itu hati-hati ya? Aku inginnya tidur tidak bangun-bangun lagi. Jadi ada pembicaraan itu kita jangan menyepelekan,” kata Direktur Rumah Sakit Panti Wilasa Dokter Cipto Semarang ini, dalam diskusi “Upaya Pencegahan Bunuh Diri di Masyarakat yang diadakan Persekutuan Pelayanan Kristen untuk Kesehatan di Indonesia (PELKESI) secara daring pada Selasa, 26 November 2024 lalu.
Lonjakan Kasus Bunuh Diri
Bunuh diri menempati empat penyebab utama dari kematian seseorang di usia produktif. Beberapa kejadian mungkin itu memicu tindakan bunuh diri.
Angka kasus bunuh diri di Indonesia mulai 2019 masih sekitar 200-an kemudian melonjak tinggi. Pada 2020 dan 2021 mencapai 600-an. Pada 2022 di atas 800-an dan 1200-an pada 2023.
“Mengapa melonjak? Karena salah satu faktor yang sangat berpengaruh itu pandemi. Waktu pandemi, orang berjuang menghadapi situasi tersebut. Kehilangan banyak hal. Kehilangan orang terdekat hingga kehilangan pekerjaan,” urai psikolog Izzah Annisatur Rahma.
Hidup terus berlangsung. Banyak kebutuhan yang harus dipenuhi di tengah situasi kehilangan sehingga membuat tertekan. “Ini bisa menjadi stressor tersendiri bagi seseorang.”
Belum lagi yang masih sekolah. Mereka berjuang dengan caranya sendiri dan harus beradaptasi. Awalnya bebas bermain dan belajar, tiba-tiba semua online saat pandemi.
Lalu berbagai perubahan hadir pasca pandemi sehingga harus beradaptasi lagi dan menjajaki kehidupan yang baru. Penyesuaian diri itu dapat meningkatkan stres seseorang dan berisiko pada kejadian bunuh diri.
Dia menyebutkan orang yang melakukan tindakan bunuh diri itu tidak tiba-tiba. Biasanya pasti ada faktor di balik itu. Misalnya bullying yang terjadi sejak di sekolah atau tekanan di lingkungan kerja yang bisa mengarah pada depresi, kecemasan, atau gangguan mental lainnya. Kemudian gangguan jiwa lain seperti skizofrenia, bipolar, dan masalah psikologis lainnya.
Bunuh diri awalnya berangkat dari keinginan untuk mati. Berikutnya muncul perilaku beresiko dan berencana. Kemudian mengekspresikan keinginannya untuk mengakhiri hidup.
“Sudah mulai diekspresikan, dikatakan kepada orang lain. Misalnya lewat sosial media. Sosial media ada kisah kaya itu. Terus memberi keterangan selamat tinggal atau mungkin membuat konten-konten yang sedih,” ungkap Izzah.
Penting untuk mewaspadai sejumlah gejala. Seperti emosi sedih yang intens dan mendalam, inginnya tidur saja atau pun kurang tidur, tidak mau berinteraksi dengan orang lain, kehilangan minat pada aktivitas sehari-hari, melukai diri sendiri, hingga berbicara tentang kematian.
Pencegahan bunuh diri ini bisa dengan dukungan sosial dan jangan berpikir meminta bantuan orang lain bakal merepotkan. Meminta bantuan orang lain bisa ke orang terdekat atau mencari bantuan profesional.
“Kita tidak apa-apa meminta bantuan orang lain. Ada kalanya kita tidak bisa melakukan semuanya secara mandiri. Waktu bayi saja kita tidak bisa makan sama minum sendiri. Kita minta bantuan sama orang tua ‘kan?
Harus menjauhkan diri dari benda atau zat yang kimia yang berpotensi melukai. Serta mengurangi konsumsi media sosial. Ada kekhawatiran, media sosial memicu timbulnya pikiran bunuh diri atau peniruan tindakan (copycat suicide). Karena informasi tersebut sensitif bagi mereka yang berisiko.
Izzah menekankan pentingnya mendengarkan dan merangkul mereka yang memiliki pikiran bunuh diri. “Misalnya ada teman kita yang curhat itu didengarkan ya? Kita apresiasi usaha yang sudah dilakukan. Jangan biarkan dia kesepian. Kalau bisa ditemani.”
Jika ada percobaan bunuh diri segera menghubungi psikolog atau psikiaternya. Bila sudah sangat urgen bisa pergi ke instalasi atau Unit Gawat Darurat (UGD) di rumah sakit.
Layanan Bagi yang Jauh Dari Akses
Sedangkan Manajer Proyek Kesehatan Jiwa Masyarakat Pusat Rehabilitasi Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (Yakkum) Siswaningtyas menyebutkan ada sejumlah faktor tindakan bunuh diri menurut sosiologi. Seperti integrasi sosial yang terlalu lemah sehingga masyarakat kurang memahami ada kecenderungan mengakhiri hidup.
Lalu integrasi sosial yang terlalu kuat menjadikan seseorang individu kurang terbuka akibat ada ekspektasi tinggi di masyarakat. Namun dukungan kurang. Contohnya tokoh publik.
Tatanan nilai yang lemah dapat menjadi penyebab. Misalnya pandemi COVID-19. Ketika itu banyak hal yang berubah. Biasanya bisa berinteraksi secara langsung lalu keluar aturan pembatasan.
Sementara stabilitas tatanan nilai atau norma yang terlalu kuat juga bisa menjadi memicu seseorang tertekan sehingga melakukan tindakan bunuh diri.
Siswaningtyas selama kurun waktu tujuh tahun ini mendampingi projek kesehatan jiwa masyarakat di tiga wilayah Yogyakarta. Antara lain di Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Kulon Progo.
Sedangkan layanan psikolog paling banyak berada di wilayah Sleman. Karena itu penting mengupayakan layanan untuk mereka yang jauh dari layanan psikolog atau psikiater yakni dengan melatih orang dalam pendampingan. Seperti perawat (caregiver), teman sebaya, kader kesehatan, tokoh masyarakat, komunitas penyintas (self help group), dan tenaga kesehatan. Mereka perlu mendapat pelatihan dalam mendeteksi kecenderungan seseorang untuk bunuh diri.
“Dalam pendampingan, kami menggabungkan pendekatan psikologi sosial dan rehabilitasi sosial. Kami mengedukasi mereka,” ucap Sosiolog ini.
Dia menerangkan ada sejumlah tingkat risiko bunuh diri. Ada yang sudah memiliki pemikiran bunuh diri namun tidak ada rencana detail. Mungkin ada yang sudah terungkap tetapi ada yang juga belum. Karena itu butuh kemampuan pendamping untuk mengenali potensi ini, sehingga dapat memantaunya.
Pendamping perlu melibatkan orang terdekat dan keluarga. Selain itu penting memastikan keselamatan orang dengan kecenderungan bunuh diri tersebut. Selain itu mengatasi dampak tindakan tersebut.
Menurutnya, ”Kemampuan mengatasi krisis bunuh diri itu bisa pada komunitas itu. Curhat menjadi pertolongan pertama ketika seseorang sudah terindikasi bisa melakukan tindakan bunuh diri. Ini proses pertolongan pertama untuk intervensi.”
Selain itu ekosistem yang kuat penting untuk mengatasi tindakan ini. Ketika muncul tanda bahaya segera menghubungi puskesmas atau kader kesehatan. Mereka nanti kemudian yang akan menghubungi rumah sakit.
Usai rumah sakit biasanya keluarga memerlukan pengetahuan untuk perawatannya dan cara berinteraksi. Karena interaksi itu sangat penting supaya pikirannya tersampaikan.
Termasuk motivasi memperlakukan diri sendiri dengan baik seperti makan dan istirahat. Orang terdekat bisa membantu terutama untuk mereka yang jauh dari layanan psikolog atau psikiater.
Perbedaan Khas pada Orang Bunuh Diri
Dokter Yoseph Chandra menjelaskan perspektif neurobiologis pada orang yang bunuh diri. “Kita sakit sedikit saja ingin ke dokter, ingin sembuh. Tetapi orang bunuh diri itu tidak punya rasa takut.”
Saat penelitian, orang yang bunuh diri menunjukkan adanya gangguan neurotransmitter pada otak, peradangan, dan kortisol yang berlebihan.
“Akibat stres yang terus-menerus maka kortisolnya tinggi. kemudian timbullah keinginan untuk bunuh diri,” tuturnya.
Faktor genetik juga bisa menyebabkan bunuh diri. Genetik itu tidak musti moyangnya dulu mempunyai genetik bunuh diri tetapi perempuan waktu hamil yang mengalami stress berat bisa mempengaruhi perubahan genetik.
Di samping itu ada penipisan di tempat tertentu pada otak. Pasalnya, dalam sesi psikiatri darurat, dari foto otak saja bisa mendapatkan informasi terkait potensi seseorang bakal bunuh diri.
Untuk manajemennya, seseorang berisiko bunuh diri nantinya dalam perawatan oleh psikologi sementara dokter memberikan obat farmakoterapi.
“Mengapa diberi obat? Karena bunuh diri seperti darah tinggi, diabetes. Ada organnya, ada neurotransmitter yang terganggu.”
Perlu memakai alat penilaian klinis untuk menentukan risiko. Tentu selain ada sejumlah faktor yang harus mendapatkan evaluasi terkait upaya seseorang bunuh diri. Penggunaan skala risiko bunuh diri itu untuk menentukan lebih lanjut tingkat penanganan yang dibutuhkan.
Dokter Yoseph mengemukakan perlunya kebijakan secara nasional untuk mencegah bunuh diri ini dan bukan sekadar menyentuh perorangan.
Strategi juga dibutuhkan untuk pencegahan bunuh diri. Yakni mengurangi ketersediaan sarana bunuh diri, melalui media, mendidik masyarakat tentang penyakit mental dan pengobatannya, serta mendidik dokter perawatan primer.
Dia berpesan, “Seringkali orang yang akan yang bunuh diri itu datang ke dokter tetapi dokternya tidak tahu. Dia mengeluh pusing, tidak bisa tidur, lalu dianggap cuma masalah pikiran. Padahal kalau ditanya lebih dalam itu ingin bunuh diri.”
“Upaya bunuh diri itu adalah upaya teriakan minta tolong. Tetapi dokternya tidak mengerti,” pungkas dokter Yoseph.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post