Layar kaca ramai dengan laporan aksi massa yang berdatangan ke depan kantor DPR RI pada Kamis, 22 Agustus 2024. Tujuannya satu, mendesakan DPR RI jangan mengubah Undang-undang Pilkada.
Dalam keputusannya, MK telah menetapkan untuk membatalkan perubahan batas usia calon kepala daerah yang sempat ramai di Mahkamah Agung (MA). MK juga mengabulkan gugatan Partai Buruh dan Partai Gelora yakni mengubah ketentuan ambang batas pencalonan dengan threshold 20 persen menjadi 7,5 persen. Implikasinya, tentu membuat dinamika politik berubah karena ancaman kotak kosong tidak terjadi, dan memungkinkan adanya bakal calon dari partai dengan porsi keterwakilan yang sedikit.
Namun sayang, DPR RI dengan sigap melakukan rapat dan secara sepihak dan cepat mencoba menganulir ketetapan MK. Upaya mengabaikan keputusan MK semata untuk memuluskan pencalonan kepala daerah anak bungsu Presiden Joko Widodo, yaitu Kaesang Pangarep.
Masyarakat mengamuk, seruan darurat mewabah cepat di media sosial. Berlatar biru tua dan tulisan Peringatan Darurat, masyarakat menunjukkan memulai pergerakan di media sosial pada 21 Agustus 2024. Esoknya, ribuan mahasiswa, organisasi masyarakat sipil, bahkan kelompok pelajar berdemonstasi. Mereka pantang meninggalkan area Senayan sampai anggota DPR serius dan tidak membatalkan UU Pilkada. Peserta aksi demo tidak merasa puas dengan pernyataan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco. Kata Dasco, rapat paripurna yang hendak mengesahkan UU Pilkada batal karena tidak kuorum. Untuk memastikan dan bentuk kemarahan, peserta aksi bahkan membobol pintu masuk DPR RI.
Aksi demonstrasi bertahan hingga malam. Aparat menyebarkan gas air mata ke aksi massa secara membabi buta. Aparat menangkap 159 mahasiswa, dan ratusan peserta demonstrasi mendapatkan intimidasi dan kekerasan.
Melalui pernyataan resmi, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia menyebut, MK menghasilkan putusan yang cukup progresif untuk menegakkan free and fair elections. Sayangnya pembentuk undang-undang tetap mengacuhkan aturan itu. Pada Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024, MK menafsirkan bahwa Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada yang mulanya mengatur persyaratan ambang batas pengusungan pasangan calon kepala daerah berdasarkan kursi dan suara di DPRD, menjadi berdasarkan perolehan suara sah dalam pemilu pada provinsi/kabupaten/kota berdasarkan rasio jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap yang berlaku bagi partai politik yang sudah maupun belum memiliki kursi di DPRD.
Sementara itu, pada Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024, MK menegaskan bahwa secara historis, sistematis, praktik, dan komparasi dengan pemilihan lain, syarat usia pencalonan kepala daerah dihitung dari penetapan pasangan calon oleh KPU, bukan saat pelantikan pasangan calon sebagaimana ditafsirkan secara bebas dalam Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024.
Pembahasan Revisi UU Pilkada menambah daftar merosotnya mutu pembentukan legislasi periode 2019-2024. Hal ini karena pembajakan demokrasi dan cita negara hukum secara ugal-ugalan. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mengajak masyarakat menolak Revisi UU Pilkada saat ini sebagai hukum karena secara aktif mengingkari nilai-nilai konstitusionalisme dan membangkang pada konsep Negara Hukum (rechtsstaat) sebagaimana amanat konstitusi. Kedua, membangun solidaritas antara semua elemen masyarakat untuk kolonialisme gaya baru dalam bentuk tirani elit politik Presiden dan DPR dengan pembangkangan sipil dan memboikot Pilkada 2024.
Ada beberapa catatan PSHK untuk menolak UU Pilkada versi DPR. Pertama, revisi UU Pilkada cacat prosedural. Pada aspek perencanaan, Revisi UU Pilkada tidak direncanakan dengan patut dalam Program Legislasi Nasional dan bersifat reaksioner. Motifnya semata-mata untuk menghadang dua Putusan MK yang berpotensi mencegah pembentukan koalisi tambun dan menghalangi pencalonan putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep sebagai Wakil Gubernur Jawa Tengah. DPR membonceng jalur Badan Legislasi sebagai jalur “titipan” usulan legislasi inisiasi pemerintah. Pola serupa terjadi pada proses RUU Polri, RUU TNI, dan RUU Penyiaran.
Selain itu, pada aspek penyusunan dan pembahasan, Rapat Kerja Badan Legislasi DPR bersama Pemerintah dan DPD sangat mendadak dengan pembahasan dalam waktu kurang dari 7 jam. Durasi ini sangat kilat untuk sebuah aturan hukum yang signifikan menentukan kualitas demokrasi. Aksesibilitas dokumen perancangan meliputi; rancangan undang-undang, daftar inventarisasi masalah, tidak ada di kanal resmi DPR dan Pemerintah. Bahkan, tidak terdapat naskah akademik pendukung yang menjustifikasi pilihan kebijakan. Kondisi tersebut menutup ruang partisipasi masyarakat sipil mengakses dokumen perancangan dan memberikan saran juga masukan secara bermakna.
Kedua, secara substantif, DPR dan Presiden melakukan cherry picking dalam mengadopsi constitutional order MK. DPR hanya mengadopsi klausul Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/202 secara parsial yang hanya ditujukan untuk partai non-DPRD untuk mengusung calon kepala daerah. Padahal, penting untuk membaca dan mengadopsi constitutional order secara utuh. Sejatinya, Putusan MK Nomor 60/PUUXXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024 dapat melepas belenggu paksaan bagi partai politik untuk bergabung dalam koalisi tambun ataupun keterpaksaan untuk mengusung kandidat tertentu yang tak sejalan dengan gagasan partai politik serta menghadirkan alternatif kandidat lain untuk berkontestasi melawan hegemoni keserakahan koalisi. Di sisi lain, sikap DPR dan Presiden tidak konsisten. Untuk undang-undang lain yang merupakan tindak lanjut dari Putusan MK, DPR dan Presiden tak membuka ruang penafsiran dan langsung mematuhi dan menjalankan putusan MK.
Contohnya adalah putusan MK tentang pengujian UU Pemilihan Umum soal syarat mencalonkan diri menjadi Presiden dan Wakil Presiden yang berdampak terbukanya jalan tol bagi putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka.
Ketiga, DPR dan Presiden salah kaprah memahami dan menafsirkan Putusan MK. PSHK menilai, terkait dengan tafsiran pemeriksaan syarat usia, DPR dan Presiden seharusnya merujuk ke Putusan MK ketimbang Putusan MA.
Alasan pertama, MK adalah the interpreter of the constitution dan batu uji pengujian di MK berlandaskan konstitusi. Sebaliknya, pengujian di MA berlandaskan undang-undang. Oleh karena itu, tafsiran MK mengandung pagar-pagar konstitusional yang secara hierarkis harus dirujuk dalam memformulasikan undang-undang. Alasan kedua, produk hukumnya adalah undang-undang, bukan peraturan KPU. Sehingga putusan MK sudah semestinya menjadi rujukan utama DPR dan Presiden. Gagasan ini hendaknya memiliki pertimbangan hukum, bukan sekadar preferensi fraksi semata. Alasan ketiga, membaca putusan MK tak sebatas amarnya saja, tetapi juga pertimbangan putusan yang merupakan satu kesatuan tak terpisah dari amar putusan. Oleh karena itu, legal reasoning dalam putusan MK perlu diilhami dan dicerminkan dalam undang-undang. Yaitu, menempatkan syarat usia sebagai syarat administratif terhitung saat penetapan pasangan calon berdasarkan pendekatan historis, sistematis, praktikal, dan komparasi dengan pemilihan lain.
Alasan keempat, perlu mengingat asas lex posterior derogat legi priori, yaitu aturan hukum yang baru mengesampingkan yang lama. Dalam hal ini, putusan MK yang lebih baru mengesampingkan putusan MA yang terbit sebelumnya. Alasan kelima, Presiden dan DPR yang terang tak mematuhi putusan MK. Ini adalah bentuk keangkuhan kekuasaan yang eksesif yang gagal total membawa cita-cita Republik tentang Negara Hukum (rechtstaat).
PSHK menegaskan, Presiden Joko Widodo dan DPR secara telanjang menunjukkan pengangkangan konstitusi. Kedua instansi telah mengkhianati kedaulatan rakyat demi meningkatkan akumulasi kekuasaan dan konsolidasi elit politik hingga ke level pemerintahan daerah. Keangkuhan kekuasaan yang eksesif ini tak terbendung karena luruhnya mekanisme checks and balances. Masalah gagal disiplin membatasi diri sendiri, dan mengabdikan mandat kelembagaan demi kekuasaan. Pilkada 2024 telah didelegitimasi sejak awal melalui otokrasi legalisme yang mengacak-acak logika berpikir dan bangunan negara hukum.
“Kami menduga keras teladan jahat akan terjadi lagi oleh elit politik pusat maupun daerah. Demi mengamankan kekuasaan dan menyedot sumber daya di berbagai daerah saat pilkada,” tutur PSHK.
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post