Jakarta, Prohealth.id – Rancangan pasal-pasal dalam RUU POLRI bisa menuai kontroversi di tengah masyarakat. Hal ini mengkhawatirkan bagi keberlangsungan kebebasan berekspresi karena akan menggerus demokrasi.
Dalam beberapa kesempatan ketika mengamankan demonstrasi, polisi melakukan kekerasan kepada demonstran. Salah satu yang mengalami Merta Mardiana, seorang aktivis perempuan Banten.
Merta ingat betul kala ia mengalami kekerasan dari polisi saat ia dan temannya melakukan aksi demonstrasi mengkritisi kebijakan Pemprov Banten.
Merta adalah kordinator lapangan aksi yang bertanggung jawab penuh terhadap jalannya aksi. Saat ia sedang berorasi, polisi tiba-tiba menyergap dengan brutal dari arah samping. Beberapa pentungan mendarat di dahinya berulang-ulang, membuat dahinya terluka mengeluarkan darah mengucur deras dan pingsan.
“Momen itu yang saya ingat saat menyebut kata polisi. Memang beberapa kali saya mengalami kekerasan dari Polisi entah dengan sengaja atau tidak, hingga di angkut beberapa kali untuk diamankan hingga di BAP, ” ungkapnya kepada Prohealth.id, pada Selasa (31/12/2024) lalu.
Merta memang sangat keras dalam mengkritisi jalannya pemerintahan. Beberapa kali para penegak hukum mengawasi Merta. Hal tersebut untuk memonitor jalannya konsolidasi hingga aktivitasnya sehari-hari. Ia menyebut dirinya selalu menjadi target utama pengamanan oleh polisi, sekalipun perannya saat itu hanya sebagai pendokumentasi aksi.
Ia menegaskan, seharusnya kekerasan terhadap demonstran tidak perlu terjadi. Terlebih sebagai negara demokrasi, apapun bentuk aksi yang di lakukan oleh masyarakat terlaksana aman dan terlindungi hukum.
“Tetapi, dari beberapa pengalaman berdemonstrasi, yang sedikitnya saya tahu, polisi sendiri terkadang memicu amarah demonstran. Caranya dengan menyeludupkan oknum yang menyamar di barisan para demonstran. Atau ketika para demonstran susah tertib dan merusak fasilitas umum. Di saat momen itulah tidak sedikit nya polisi melakukan kekerasannya saat demonstrasi berlangsung,” katanya.
Ramdhani, Ketua GMNI Tegal ikut membenarkan kekhawatiran atas brutalitas POLRI. Apalagi, saat bergulirnya RUU POLRI jadi sorotan utama bagi demokrasi. Sebagai seorang aktivis, ia menilai kinerja Polri secara keseluruhan kurang positif.
“Dalam hal ini saya menyoroti soal keterlibatan Polri dalam mengatasi kasus cendurung lambat, reaksioner. Sederhananya, jauh dari kata profesional sebagai mana mestinya. Belum lagi soal dugaan keberpihakan oknum polri dalam kontestasi politik, menambah catatan buruk terhadap citra polri itu sendiri,” katanya.
Ia juga memaparkan kekhwatiran itu termasuk penanganan kasus, penanganan keamanan demosntrasi. Yang mana menurutnya tidak senafas dengan PRESISI yang jadi simbol tugas POLRI.
“Tentu kekhawatiran muncul di pikiran publik apabila melihat proses kinerja Polri yang makin hari kian merosot. Kekhawatiran itu menurut saya berimbas pada kepercayaan publik terhadap Polri itu sendiri.”
Kata Ramdhani, Polri seharusnya menjadi institusi yang bisa berguna untuk rakyat. Terutama alam hal tindak penegakan hukum. Sayangnya, justru sering kali ada kesan kesewenang-wenangan dalam melakukan tugas.
“Tentu kemudian hal ini berdampak pada menurunnya tingkat kepercayaan masyrakat terhadap Polri. Akibat terburuknya, masyarakat tak lagi mempercayai hukum karena tingkah laku dari oknum penegak hukum itu sendiri,” katanya.
Penulis: Ahmad Khudori
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post