Jakarta, Prohealth.id – Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 menunjukkan peningkatan skor menjadi 60,5, masuk dalam kategori “Agak Terlindungi”.
Skor ini naik 0,7 poin dari tahun sebelumnya. Namun, di tengah transisi pemerintahan baru, sebagian besar jurnalis masih merasa cemas akan masa depan kebebasan pers di Indonesia.
Dewan Pengawas Yayasan TIFA, Natalia Soebagjo, mengungkapkan bahwa sebanyak 66 persen jurnalis mengaku lebih berhati-hati dalam memproduksi berita karena ancaman kriminalisasi, sensor, serta tekanan dari berbagai pihak. Ia menyoroti bahwa dalam lima tahun mendatang, potensi bentuk kekerasan yang meningkat adalah pelarangan liputan sebanyak 56 persen. Lalu larangan pemberitaan 51 persen. Dugaan aktor utama yang mengancam adalah organisasi masyarakat ada 23 persen dan buzzer sebanyak 17 persen.
Laporan Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 disusun oleh Yayasan TIFA bekerja sama dengan Populix dalam program Jurnalisme Aman. Program ini merupakan kolaborasi antara Yayasan TIFA, Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), dan Human Rights Working Group (HRWG), dengan dukungan dari Kedutaan Besar Belanda. Laporan ini mengukur tingkat perlindungan jurnalis di Indonesia berdasarkan tiga pilar utama: Individu Jurnalis, Stakeholder Media, serta Peran Negara dan Regulasi.
Dengan menggunakan survei terhadap 760 jurnalis serta analisis data sekunder dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), laporan ini menegaskan bahwa keselamatan jurnalis masih menjadi isu krusial. Selain ancaman kekerasan fisik, jurnalis juga menghadapi tekanan digital yang semakin intens.
Jurnalis di Persimpangan Swasensor dan Intimidasi
Manajer Riset Sosial Populix, Nazmi Haddyat, mengungkapkan bahwa sepanjang 2024, terdapat 167 jurnalis mengalami kekerasan dengan total 321 kejadian. Bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi adalah pelarangan liputan sebanyak 46 persen, dan larangan pemberitaan 36 persen. Pihak yang paling berpotensi dalam melakukan kekerasan dalam kasus ini meliputi organisasi masyarakat 40 persen, polisi ada 24 persen, dan pejabat pemerintah sebanyak 14 persen.
Selain itu, sebanyak 39 persen jurnalis mengaku pernah mengalami penyensoran, baik dari redaksi maupun pemilik media. Lebih dari setengah responden juga mengakui melakukan sensor mandiri (self-censorship) guna menghindari konflik dan tekanan lebih lanjut.
Sekretaris Jenderal AJI, Bayu Wardhana, menyoroti bahwa meskipun angka kekerasan terhadap jurnalis mengalami penurunan secara kuantitatif, kualitas kekerasan yang terjadi justru meningkat. Bahkan, pada 2024, terdapat kasus jurnalis yang meninggal dunia akibat kekerasan, sesuatu yang tidak terjadi pada 2023 dan 2022.
“Jadi, meskipun indeks naik, kita tidak bisa hanya melihat angka tanpa memperhatikan kualitas kasus kekerasan yang terjadi. Banyak dari kasus kekerasan ini yang tidak terungkap secara luas, karena jurnalis takut akan konsekuensi lebih lanjut,” kata Bayu.
Ia juga menambahkan bahwa kekerasan terhadap jurnalis tidak hanya terjadi dalam bentuk fisik, tetapi juga melalui tekanan ekonomi dan intimidasi. Banyak media yang kehilangan kerja sama dengan pemerintah atau swasta setelah menerbitkan laporan kritis, membuat jurnalis berpikir dua kali sebelum mengangkat isu sensitif.
“Ada banyak ancaman tak langsung, termasuk pembatasan kerja sama media jika suatu berita dianggap terlalu berisiko. Hal ini tentu saja mengikis kebebasan pers secara perlahan,” tegasnya.
Perspektif dari Lapangan: Suara Jurnalis dan Aktivis
Vania, perwakilan dari Amnesty International Indonesia menyoroti perlindungan terhadap jurnalis bukan hanya soal angka, tetapi juga soal bagaimana kebijakan negara mengakomodasi kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Menurutnya, regulasi seperti UU ITE dan KUHP masih menjadi alat efektif untuk membungkam kritik.
Dalam beberapa tahun terakhir ada tren meningkatnya penggunaan UU ITE. Tujuannya, untuk mengkriminalisasi jurnalis yang memberitakan kasus korupsi atau pelanggaran HAM.
“Ada jurnalis yang dituntut pidana hanya karena mengungkap fakta yang tidak menguntungkan pihak tertentu,” ungkap Vania dari Amnesty.
Ia menambahkan bahwa pemerintah seharusnya lebih aktif dalam melindungi jurnalis, bukan malah menjadi bagian dari ancaman terhadap kebebasan pers. Amnesty International Indonesia mencatat ada 84 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi menggunakan UU ITE dengan 98 orang korban sepanjang tahun 2021.
Adil Al Hasan, wartawan muda Tempo menyampaikan kecemasan serupa. Ia menyoroti meningkatnya jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis serta turunnya indeks kebebasan pers. Hal ini menunjukkan bahwa dunia jurnalistik Indonesia masih jauh dari aman. Meningkatnya jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis sekaligus amblesnya indeks kebebasan pers mempertegas kondisi pers saat ini bukan ruang aman bagi pekerja media.
“Saya di satu sisi cemas, tapi di bagian lain merasa perlu adanya upaya menjaga—bahkan meningkatkan—kedua isu itu menjadi lebih baik. Sebab, tanpa pers yang bebas, termasuk jurnalis yang aman, hak publik untuk mendapat informasi yang benar dan akurat bisa terancam,” ungkapnya.
Ia menambahkan, pers seharusnya bisa bekerja leluasa sesuai UU Pers, tetapi semakin sulit karena tekanan dari berbagai pihak.
“Pers yang semestinya bisa leluasa bekerja bisa jadi akan terhalang dengan kondisi di luar mereka yang tak baik. Tentu ini harus disikapi serius oleh pemangku kepentingan: Dewan Pers dan pemerintah.”
Respons Pemerintah: Antara Komitmen dan Realitas
Deputi II Bidang Diseminasi dan Media Informasi Kantor Komunikasi Kepresidenan, Noudhy Valdryno, menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen menjamin keselamatan jurnalis dan kebebasan pers. Menurutnya, transparansi dan akses informasi yang baik adalah kunci untuk membangun kepercayaan publik.
“Kami akan terus berupaya membangun komunikasi yang lebih erat dengan media serta memberikan akses yang lebih baik terhadap informasi publik. Angka 60,5 ini kita syukuri, tapi di tahun-tahun berikutnya kita harap indeks ini benar-benar masuk kategori ‘terlindungi’,” jelas dia.
Namun, meskipun ada janji dari pemerintah, aktivis dan jurnalis di lapangan masih meragukan implementasi dari komitmen tersebut. Khususnya pada masa transisi pemerintah, terdapat 18 persen atau 136 jurnalis mengalami kekerasan, baik dari buzzer hingga partai politik. Sementara itu, masih banyak regulasi yang masih berlaku untuk menekan media, dan tindakan aparat terhadap jurnalis yang menghadapi ancaman sering kali kurang tegas.
Menuju Masa Depan yang Lebih Aman bagi Jurnalis
Laporan Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 menjadi pengingat bahwa kebebasan pers masih menghadapi banyak tantangan di Indonesia. Perlindungan terhadap jurnalis bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga perusahaan media dan masyarakat sipil.
Natalia Soebagjo menegaskan pentingnya segera mengambil langkah-langkah konkret agar kebebasan pers tidak semakin tergerus. Ia menyebut, khusus untuk pemerintah, harus ada revisi regulasi yang membatasi kebebasan pers serta mekanisme perlindungan hukum yang lebih kuat bagi jurnalis. Perusahaan media juga harus lebih proaktif dalam memastikan keselamatan jurnalis dengan SOP yang jelas, pelatihan keselamatan, dan dukungan hukum.
“Sementara itu, organisasi jurnalis dan CSO harus memperkuat advokasi, pendampingan hukum, serta edukasi bagi jurnalis dalam menghadapi ancaman,” pungkasnya.
Dengan meningkatnya indeks keselamatan jurnalis, harapan akan masa depan kebebasan pers yang lebih baik tetap ada. Namun, tanpa upaya serius dari semua pihak, ancaman terhadap jurnalisme di Indonesia bisa terus meningkat. Laporan Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 dapat diakses disini.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post