Jakarta, Prohealth.id – Setelah 15 bulan pandemi virus corona (Covid-19) di Indonesia, ujung wabah ini masih pertanyaan akankah Indonesia bisa bertahan tanpa kebijakan yang tepat sasaran?
Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri dalam konferensi daring bertema “Desakan Emergency Response-Prioritaskan Keselamatan Rakyat di Tengah Pandemi” mengatakan, pandemi yang melanda berimbas langsung pada kekhawatiran dalam denyut kehidupan masyarakat, yakni kesehatan dan ekonomi.
“Konsepnya bukan keseimbangan, tapi kemutlakan kesehatan diselesaikan. Kesehatan adalah prasyarat untuk pemulihan ekonomi,” kata pada Minggu (20/6/2021).
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menyebut, menghambat pandemi, menimbang dua hal sebagai rekomendasi.
“Opsi cuma dua, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) nasional atau lockdown (karantina wilayah) regional,” kata Hermawan.
Adapun lockdown regional bisa terbatas untuk pulau besar, yaitu Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Nantinya, mekanisme karantina wilayah itu dilakukan secara berkala.
“Usul yang paling radikal tentu lockdown regional, artinya ini bentuk paling logis,” ujarnya.
Dia pun menggali kembali momentum ketika pandemi baru muncul di Indonesia. Waktu itu muncul kekhawatiran pemerintah, terkait masalah ekonomi jika melakukan lockdown atau PSBB nasional diterapkan.
“Tapi kira-kira pertanyaan saya, berapa duit yang sudah habis 15 bulan berlalu ini?” katanya.
Faktanya, selama 15 bulan pandemi di Indonesia, situasi masih terus terjerumus dalam dilema yang sama.
“Situasi yang sebenarnya mampu kita prediksi. Tetapi belum mampu kita antisipasi,” ujarnya.
Menurut dia, Pemerintah Indonesia belum memiliki kebijakan kuat dalam pengendalian wabah Covid-19. Terbukti karena Indonesia hanya memiliki Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB. Aturan PSBB pun hanya diterapkan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat.
“Itu pun modified (diubah) dari PSBB menjadi transisi. Dari PSBB menjadi proporsional dan lain-lain,” ucapnya.
Sampai sekarang, kabupaten dan kota yang pernah melakukan PSBB berkisar 40 kabupaten. Namun kata dia, itu pun mengalami perubahan bentuk di berbagai daerah.
“Bahkan sekarang menjadi PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Tentu saja PPKM sangat berbeda paradigma dengan PSBB,” katanya.
Hermawan menjelaskan, PPKM bukan bertujuan untuk memutus penularan Covid-19. Namun sekadar untuk pengenduran situasi.
“Kita belum memiliki pilihan kebijakan yang kuat di Indonesia,” ujarnya.
Selain itu, jika menimbang penelusuran epidemiologi atau 3 T -(testing), penelusuran kontak erat (tracing), dan tindak lanjut berupa perawatan pada pasien Covid-19 (treatment)- pun masih lemah. Hermawan berpandangan begitu, karena sudah melewati satu tahun pandemi, namun penerapan 3 T masih berkisar 100 ribu sampel (specimen).
“Itu pun (masih) separuh laboratorium untuk PCR (reaksi berantai polimerase) yang berfungsi dengan baik memberikan laporan harian,” ujarnya.
Hal itu pula menunjukkan fenomena gunung es selama pandemi. “Bongkahan di bawah jauh lebih besar daripada titik di atas permukaan,” ujarnya.
Tantangan pun terus berlanjut beriringan kejenuhan masyarakat hidup dalam situasi pandemi.
“Walaupun ada orang yang paham, tapi sikap dan perilaku belum tentu sejalan dengan pengendalian Covid-19,” tuturnya.
Soal vaksinasi, dia menyoroti target yang cenderung sulit tercapai selama 15 bulan. Dia menganggap target ambisius vaksinasi 1 juta orang per hari masih sulit terwujud.
Belakangan kesanggupan proses vaksinasi tiap hari masih berkisar 200 ribu orang. Oleh sebab itu dia memandang vaksinasi belum sepenuhnya bisa menjadi solusi. Dia berpendapat demikian merujuk grafik vaksinasi bertaut kecepatan kasus penularan.
“Nah, ini tentu saja vaksin bukanlah solusi jangka pendek. Kita berharap vaksin menjadi inisiatif kesehatan masyarakat,” katanya.
Menurut dia, perlu ada kebijakan yang luar biasa (extraordinary) untuk mengambil prioritas penanganan. Sebab, tak bisa pula menganggap solusi mengatasi pandemi sekadar bertumpu kapasitas sistem kesehatan, 3T, pola perilaku, dan vaksinasi. Jika masih berpedoman pada sistem pengendalian yang diterapkan sekarang belum bisa untuk menekan pandemi.
“Kalau negara kita begini-begini saja tidak akan keluar dari pandemi, (kebijakan) rem gas, rem gas. Kebijakan yang terkatung-katung itu menunda bom waktu saja, karena tidak mampu memutus mata rantai Covid,” ujarnya.
Dia menegaskan, keputusan yang serba tidak pasti tak bisa memutus penularan Covid-19. “Tidak mungkin kita memenangkan keduanya, kesehatan kembali pulih tiba-tiba, ekonomi pulih sempurna,” katanya.
Hermawan menambahkan, gelombang pandemi pun terus menimbulkan pertanyaan. Alasannya, posivity rate (kasus terinfeksi) masih kisaran 10 persen. Adapun mortality rate (tingkat kematian) masih di atas 5 persen.
“Dan, incidence rate (tingkat peristiwa) kejadian harian masih ribuan, bahkan (sekarang) di atas 10 ribu,” ujarnya.
Berdasarkan indikator tersebut, dia menilai pandemi masih gelombang pertama di Indonesia dan jauh dari kata terkendali. Menurut dia, sekarang pandemi di Indonesia belum ada puncak kasusnya.
“Mudah-mudahan kita tidak terempas dan karam. Untuk memastikan itu perlu ada kebijakan (pemerintah) yang berani,” ujar Hermawan.
Penulis: Bram Setiawan
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post