Berdasarkan keterangan Kapolresta Bogor Kota Kombes Eko Prasetyo menduga kecelakaan di Tol Ciawi akibat kegagalan fungsi rem, lalu menabrak lima kendaraan minibus yang tengah antre membayar tol.
“Intinya itu remnya blong, mau nge-tap masuk gerbang tol Ciawi itu kan, nempel kartu itu. Remnya blong, terus nabrak kendaraan yang didepannya,” kata Eko, melansir DetikOto.
Menurut laporan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, kecelakaan terjadi sekitar pukul 23.30 WIB ketika truk dengan nomor polisi B 9235 PYW melaju dari arah Ciawi menuju Jakarta. Kendaraan berat ini tiba-tiba kehilangan kendali. Ia lalu menghantam kendaraan di depannya dan menyebabkan tiga mobil terbakar di lokasi kejadian. Korban luka segera dievakuasi ke Rumah Sakit Umum Daerah Ciawi.
Kecelakaan persisnya terjadi di Gerbang Tol (GT) Ciawi 2, KM 41+400 Ruas Tol Jagorawi arah Jakarta pada Selasa (4/2) pukul 23.30 WIB.
Peristiwa ini bukan yang pertama. Data Korlantas Polri menunjukkan, angkutan barang menyumbang 22.609 kasus kecelakaan sepanjang 2024—urutan kedua setelah sepeda motor. Kecelakaan yang melibatkan truk dan bus juga meningkat drastis dalam lima tahun terakhir. Lantas, mengapa kasus serupa terus berulang?
Kelelahan Pengemudi Jadi Faktor Signifikan yang Masih Sering Terabaikan
Meski investigasi masih berlangsung, dugaan awal mengarah pada rem blong sebagai penyebab utama. Insiden ini mengingatkan pada berbagai kecelakaan serupa yang sering kali melibatkan kendaraan berat dengan sistem pengereman yang tidak berfungsi optimal.
Truk dan bus memiliki sistem pengereman yang lebih kompleks daripada kendaraan pribadi. Dengan bobot besar, kendaraan ini membutuhkan tenaga ekstra untuk memperlambat laju. Jika rem gagal berfungsi, satu-satunya cara kendaraan berhenti adalah dengan menghantam sesuatu—dalam banyak kasus, itu berarti kendaraan lain atau bahkan bangunan.
Rem blong bisa terjadi karena berbagai alasan. Pertama, minyak rem habis, kanvas dan piston rem rusak. Kedua, rem terlalu panas, atau masalah tekanan angin pada sistem pengereman kendaraan besar.
Kecelakaan akibat truk mengalami rem blong kerap menarik perhatian publik karena tingkat fatalitasnya yang tinggi.
Berdasarkan data Korlantas Polri, selama semester I tahun 2023 terjadi sebanyak 68.579 kasus kecelakaan. Dari jumlah kasus kecelakaan, jumlah korban meninggal dunia sebanyak 12.661 jiwa. Kecelakaan yang melibatkan bus dan angkutan barang jumlahnya cukup tinggi, yakni 963 kendaraan bus dan 11.292 kendaraan barang.
Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Soerjanto Tjahjono, menyebut sekitar 80 persen kecelakaan pada angkutan barang dan umum terjadi akibat kegagalan sistem rem dan kelelahan pengemudi. Investigator KNKT, Ahmad Wildan, menambahkan bahwa 49 persen kecelakaan di jalan tol melibatkan truk, meski kendaraan ini hanya mencakup 12 persen dari total pengguna tol.
Meski kerap menjadi alasan kecelakaan truk, rem blong tak selalu pasti penyebab malapetaka. Untuk mengetahui penyebab kecelakaan memerlukan investigasi serius.
Aspek lain adalah tekanan kerja yang pengemudi truk alami. Menurut Wildan, dalam banyak kasus, pengemudi kendaraan angkutan barang menghadapi target pengiriman ketat dengan jam kerja panjang yang meningkatkan risiko kelelahan dan menurunkan respons saat mengemudi.
“Kelelahan menyebabkan pengemudi barang sering mengalami micro-sleep. Jadi, dia tidur sambil mengemudi. Hal ini akan menurun kewaspadaannya sehingga dia bisa bertindak di luar kompetensinya,” ujar Wildan kepada Prohealth.id, melalui telekonferensi pada Jumat malam (07/02).
Mengapa pengemudi truk barang di Indonesia cenderung lebih sering kelelahan daripada yang lain? Wildan menyebutkan dua faktor utama, yaitu regulasi waktu dan minimnya rest area bagi pengemudi truk. Pengemudi truk barang di Indonesia bekerja tanpa batasan waktu yang jelas. Tidak ada regulasi yang melindungi mereka, sehingga mereka bisa berkendara tanpa henti selama berhari-hari.
“Jadi, mereka bisa bekerja 24 jam nonstop, mau mengemudi 3 hari 4 malam, satu minggu nggak ada yang mengawasi sepanjang tahun,” kata Wildan. Akibatnya, kelelahan ekstrem pun tak terhindarkan, menurunkan respons dan konsentrasi mereka di jalan.
Masalah lain yang tak kalah krusial adalah minimnya tempat istirahat. Rest area di jalan tol lebih mengutamakan kendaraan pribadi, sementara area khusus truk sangat terbatas. Pengelola jalan tol enggan membangun fasilitas parkir untuk truk karena tidak menguntungkan (profit). Padahal, tanpa tempat istirahat yang layak, pengemudi terpaksa tetap berkendara dalam kondisi fisik yang tidak prima—sebuah kombinasi berbahaya yang berisiko menyebabkan kecelakaan fatal.
“Di jalan tol itu mereka (pengemudi truk barang–read) dibatasi banget waktunya dan jumlahnya, kenapa? Karena parkir di jalan tol, truk itu mengganggu. Ketika kami meminta kepada pengelola jalan tol untuk buatkan rest area khusus truk, mereka keberatan, karena itu nggak menghasilkan uang. Di sini harusnya pemerintah melakukan intervensi. Kalau pun dari pengelola jalan tol nggak bisa, harusnya pemerintah yang membangun demi keselamatan warganya,” kata Wildan.
Maintenance Kendaraannya Buruk. Kompetensi Pengemudinya juga Buruk
Jika kecelakaan akibat rem blong terus terjadi, pertanyaannya: sejauh mana pengawasan terhadap kendaraan niaga di Indonesia?
Truk yang terlibat dalam kecelakaan ini memiliki uji berkala yang masih berlaku hingga Mei 2025. Artinya, secara administratif kendaraan ini layak jalan. Tapi apakah dokumen sah cukup untuk memastikan keselamatan di jalan raya?
Pemeriksaan teknis di lapangan sering kali minim. Banyak perusahaan angkutan hanya mengikuti uji kendaraan sebagai formalitas, tanpa memastikan kondisi armada mereka benar-benar aman.
Djoko Setijowarno, akademisi dari Program Studi Teknik Sipil Unika Soegijapranata sekaligus Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat menyampaikan banyak perusahaan lebih memilih menghemat biaya operasional dengan menunda perawatan kendaraan.
“Karena setiap kendaraan kan punya pola perawatan, ya. Itu nggak diikuti. Kalau ada SMK (Sistem Manajemen Keselamatan) kan bisa diikuti. Kuncinya sebenarnya memang regulasi yang lebih mengawasi,” ujar Djoko kepada Prohealth.id, melalui telepon pada Jumat (07/02/2025).
Jadi, selain kelelahan, terdapat faktor-faktor sistemik yang menjadi refleksi dari sistem transportasi di Indonesia yang bermasalah. Dari kendaraan dengan perawatan buruk hingga pengemudi yang tidak terlatih, serta rantai pasok yang memaksa truk mengangkut muatan berlebih. Semuanya menciptakan lingkaran setan.
“Semua perusahaan angkutan barang di Indonesia buruk maintenance-nya” ujar Wildan. Meski pemerintah memiliki Sistem Manajemen Keselamatan (SMK) sejak 2018, namun implementasinya masih jauh dari harapan.
Berdasarkan pendataan KNKT tahun 2018–2025, dari sekitar 11.000 perusahaan transportasi, hanya sekitar 200 yang menerapkan SMK. “Itu pun juga nembak-nembak (SMK–read), nggak jelas,” kata Wildan.
“SMK itu baru berlaku 2019. 2020 pandemi. Nggak ada anggaran. SMK itu ada 4-5 perusahaan. Itu biaya satu perusahaan itu 10 juta minimal. Nah, duitnya nggak ada. Anggaran nggak ada. Sekarang di-stop lagi (implementasi SMK–read),” ujar Djoko.
Terlebih, sebenarnya SMK ini juga bermasalah, karena isinya lebih menyerupai sistem keselamatan industri manufaktur (K3), bukan sektor transportasi yang dinamis.
“Tapi masalahnya, SMK yang dibuat oleh Kemenhub ini identik dengan K3 yang ada di perusahaan-perusahaan industri. Nggak nyambung,” kata Wildan.
“SMK ini harus disesuaikan dengan bisnis transportasi. Ini bukan industri rumahan atau pabrik statis. Ada kendaraan yang bergerak, ada pengemudi. Tapi sampai sekarang, sistem ini masih belum klik dengan realitas lapangan,” lanjutnya.
Tanpa standar perawatan yang jelas, kendaraan yang seharusnya tidak layak jalan tetap beroperasi. Rem blong, ban aus, hingga sistem kemudi yang longgar menjadi penyebab kecelakaan yang sering berulang.
Selain kondisi kendaraan, kompetensi pengemudi juga menjadi persoalan utama. Indonesia tidak memiliki sistem pelatihan khusus bagi pengemudi truk dan bus. Tidak ada sekolah atau kursus resmi untuk memastikan mereka memiliki keterampilan yang cukup sebelum mengoperasikan kendaraan besar.
“Pengemudi bus dan truk kebanyakan belajar dari pengalaman, bukan dari pendidikan yang terstruktur,” kata Wildan.
Hal ini terkonfirmasi oleh Gemilang Tarigan, Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia yang juga menyoroti kurangnya pelatihan bagi pengemudi truk.
“Sebagian besar pengemudi truk belajar secara otodidak, dan saat ini jumlahnya pun semakin terbatas. Akibatnya, pengusaha juga kesulitan menyediakan waktu dan biaya untuk pelatihan,” ujar Gemilang kepada Prohealth.id pada Sabtu (08/02/2025).
Hasilnya, berdasarkan temuan KNKT, banyak kecelakaan terjadi akibat skill-based error—kesalahan yang terjadi karena kurangnya keterampilan dan pemahaman tentang keselamatan berkendara. Lelah di jalan, pengambilan keputusan yang buruk, serta kurangnya penguasaan kendaraan menjadi kombinasi fatal.
ODOL: Efek Samping Tarif Murah?
Di balik kondisi kendaraan dan pengemudi, ada faktor lain yang memperumit masalah: sistem logistik yang tidak efisien dan tarif angkutan barang yang murah.
Saat ini, hanya 0,6 persen angkutan barang di Indonesia menggunakan kereta api, sementara sisanya bergantung pada angkutan darat. Akibatnya, terjadi persaingan ketat di industri transportasi barang, di mana pemerintah tidak mengatur tarif angkutan dan sepenuhnya menyerakan ke mekanisme pasar.
“Di Pasal 184 UU Lintas Angkutan Barang tertulis bahwa tarif angkutan barang berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan perusahaan angkutan umum,” ujar Djoko.
Karena ketentuan tarif berdasarkan kesepakatan bisnis, banyak pemilik barang menekan harga serendah mungkin agar biaya logistik tetap murah. Imbasnya, perusahaan angkutan akan menekan biaya operasional, salah satunya dengan memaksakan muatan berlebih.
“Minimal 30 ton, bahkan bisa sampai 50 ton per sekali jalan. Padahal kapasitas truk hanya 11-15 ton,” jelas Wildan mendapat informasi dari sopir truk.
Tekanan tarif rendah ini juga berdampak pada pengemudi. Mereka bekerja lebih lama dengan minim pelatihan keselamatan dan penghasilan yang tidak sebanding dengan risiko kerja. Dalam beberapa kasus, mereka pun terpaksa membawa muatan berlebih demi tambahan upah.
“Masalahnya, bagaimana pemerintah bisa mengintervensi agar tarif angkutan sesuai dengan daya angkutnya,” kata Wildan.
Karena pemerintah tidak menetapkan batas tarif minimum, praktik Over Dimension Over Loading (ODOL) terus terjadi. Truk mengangkut lebih banyak demi keuntungan. Namun konsekuensi pemaksaan ini jelas: kendaraan lebih cepat rusak, jalanan hancur, dan risiko kecelakaan meningkat drastis.
“Banyak sopir akhirnya memilih alih profesi. Dengan risiko sebesar itu, hasil kajian Badan Kebijakan menunjukkan gaji sopir hanya berkisar Rp1-4 juta per bulan. Kecil, kan?” ujar Djoko.
Namun, mengubah kebijakan tarif dan muatan juga tidak mudah. Pebisnis berdalih bahwa pembatasan kapasitas muatan bisa mengganggu rantai pasok dan memicu inflasi.
“Katanya, kalau beras dan pupuk harus diangkut dua kali, harga bisa naik. Mumet jadinya,” ujar Wildan.
Namun menurut Djoko, dampaknya terhadap inflasi tidak besar dan tak mengkhawatirkan. “Kalau semen? Orang bisa tunda bikin rumah. Pasir? Bisa nanti. Batu bara? Bisa cari jalur lain. Itu cuma alasan mereka,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa sembako hanya menyumbang sekitar 15 persen dari total angkutan barang. “Makanya, kita minta pemerintah tetapkan batas bawah tarif. Kalau itu tidak berhasil, jangan semua dibebankan ke jalan raya. Gunakan jalur kereta, karena jauh lebih murah.”
Senada dengan Djoko, Wildan juga sepakat agar pemerintah memaksimalkan moda transportasi lain sebagai alternatif untuk mengurangi angkutan barang di jalan.
“Itu harus membuat alternatif multimoda. Sekarang, rangkaian kereta api hanya 0,6 persen dari distribusi barang di Indonesia. Sangat kecil, bahkan di bawah 1 persen. Sementara di negara lain bisa sampai 20 persen,” jelasnya.
Wildan menambahkan. “Kita juga harus mengoptimalkan moda kapal. Laut kita luas, banyak sungai yang bisa dimanfaatkan. Harus ada freight center, pusat distribusi untuk memindahkan barang dari kapal ke truk, atau sebaliknya. Tapi sekarang, hub-hub logistik seperti itu tidak ada.”
Karena infrastruktur antarmoda belum tersedia, banyak pengusaha tidak punya pilihan selain mengandalkan truk. “Seharusnya, pemerintah memfasilitasi ini agar sistem antarmoda berjalan dengan baik,” kata Wildan.
Di sisi lain, razia ODOL di jalan juga tidak efektif karena pasar angkutan barang sudah terbentuk. Selain itu, pungli di jalan justru menargetkan sopir truk.
“Punglinya dilakukan oleh mereka yang berseragam sampai yang tidak pakai baju,” kata Djoko.
Jika regulasi tarif ini tidak bersama dengan aturan lain yang melindungi keselamatan dan kesejahteraan pengemudi, maka ODOL akan terus terjadi. “Pengusaha tahu juga risikonya, tapi tidak peduli. Dalam undang-undang, yang paling kena sanksi tetap sopir. Pemilik barang tidak pernah jadi terdakwa. Sopir yang selalu disalahkan.”
Menurutnya, ODOL sudah menjadi budaya di Indonesia. Untuk mengatasinya, butuh kebijakan yang lebih tegas. “Harus ada Instruksi Presiden untuk menuntaskannya. Tidak cukup hanya di Kementerian Perhubungan,” tutupnya.
Informasi tambahan ini sangat relevan untuk melengkapi artikel sebelumnya. Fokusnya memperdalam faktor penyebab utama kecelakaan truk—kelelahan pengemudi, kurangnya kompetensi, kendaraan tidak terawat, dan muatan berlebih—serta mencari solusi.
Bagaimana Peran Pemerintah Seharusnya?
Menurut Djoko, pengemudi truk pada dasarnya tidak ingin membawa muatan berlebih, kalau bukan karena alasan ekonomi. “Kalau ketahuan overload, pengemudi kena tilang Rp 500 ribu, kalau terjadi kecelakaan, pengemudi yang selamat hampir pasti dijadikan tersangka. Jika ia meninggal, keluarganya yang menanggung derita—tanpa jaminan dari pemilik truk atau pemilik barang,” ujarnya.
Sistem transportasi yang tidak adil membuat pengemudi truk terpaksa mengambil risiko besar demi bertahan hidup. Dengan jam kerja panjang, biaya operasional tinggi, dan pungli yang merajalela, banyak sopir yang bekerja dalam kondisi kelelahan ekstrem (fatigue).
“Risikonya tinggi, tapi gaji mereka tidak sebanding dengan beban kerja,” kata Wildan. “Makanya jumlah pengemudi truk semakin berkurang. Ke depan, Indonesia akan kehilangan pengemudi truk profesional karena banyak yang beralih profesi.”

Menurut Djoko, mindset sebagian besar pengusaha transportasi dan pemerintah masih melihat pengemudi sebagai pekerja, bukan aset perusahaan.
“Selama keselamatan masih dianggap sebagai beban ekonomi, bukan investasi, tragedi seperti di Gerbang Tol Ciawi akan terus berulang,” ujarnya.
Di sisi lain, Gemilang dari Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia juga menekankan pentingnya keterlibatan pemerintah dalam memberikan investasi dalam pelatihan dan sertifikasi pengemudi dari pemerintah untuk memastikan keselamatan dan keberlanjutan industri logistik di Indonesia.
“Untuk pelatihan, diperlukan bantuan dari pemerintah, BUMN, atau dana CSR dari perusahaan-perusahaan besar yang menggunakan angkutan yang besar,” kata Gemilang.
Persoalan ini makin parah dengan lemahnya mekanisme perizinan dan pelatihan pengemudi. Faktanya, faktor kecakapan pengemudi tidak tercakup dalam sistem pengambilan SIM B1/B2 di Indonesia. Mekanisme pelatihan seperti Defensive Driving Training (DDT), yang seharusnya menjadi syarat wajib, masih belum terintegrasi secara optimal dalam regulasi Kemenhub.
“Kalau SIM-nya A, padahal harusnya B1 atau B2, baru ketahuan kalau sudah tabrakan,” ujar Djoko.
Sayangnya, upaya perbaikan sistem transportasi sering kali mendapat perlawanan dari pengusaha. Kehadiran truk ODOL menguntungkan pemilik barang, meskipun jelas melanggar aturan dan membahayakan banyak pihak.
Ketika pemerintah mencoba mengajak Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) untuk berdiskusi, responsnya selalu minim. “Mereka selalu berdalih bahwa pembatasan muatan akan menaikkan harga barang, memicu inflasi, atau bahkan memicu demonstrasi sopir truk,” ujar Djoko.
Namun, menurut Djoko, alasan ini sering berlebihan untuk mempertahankan status quo. “Mereka menebar teror seolah-olah kalau aturan ini diterapkan, harga barang akan naik gila-gilaan. Padahal kondisi di lapangan tidak sesederhana itu.”
Pada 2022, tercatat 139.258 kasus kecelakaan lalu lintas. Angka ini meningkat menjadi 148.575 kasus pada 2023, dan melonjak drastis hingga 220.647 kasus pada 2024. Dari jumlah tersebut, 7,21 persen korban meninggal dunia, mayoritas berusia 15-29 tahun—usia produktif yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi.
“Pemerintah sibuk menciptakan SDM Unggul, tapi kalau mereka mati di jalan karena keselamatan diabaikan, apa gunanya? Baru kemarin ada kasus kecelakaan truk, korbannya mahasiswa cumlaude dari ITS, belum sempat meraih masa depan, sudah tewas menabrak truk,” ujar Djoko.
Di tengah semua ini, reformasi menyeluruh menjadi kebutuhan mendesak. Perusahaan angkutan harus lebih bertanggung jawab dalam memastikan kesejahteraan dan pelatihan pengemudi, sementara pemerintah perlu memperketat pengawasan agar regulasi tidak hanya sekadar aturan di atas kertas.
“Kalau sistem ini tidak segera dibenahi, kita akan semakin kehilangan pengemudi truk yang berkualitas,” kata Djoko. Dan jika itu terjadi, bukan hanya sektor transportasi yang terdampak, tetapi juga rantai pasok ekonomi nasional.
Penulis: Dian Amalia Ariani
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post