Jakarta, Prohealth.id – Sekitar dua pekan selang ribuan masyarakat Rempang menolak penggusuran perkampungan adatnya, Kepala Badan Pengusahaan Batam Muhammad Rudi menyatakan bahwa Pulau Rempang tidak akan dikosongkan untuk pembangunan Rempang Eco City pada Kamis (28/9/2023) yang akan datang.
Dikutip dari siaran pers yang diterima Prohealth.id, Rabu (27/9/2023), ketika mengklaim saat ini Badan Pengusahaan Batam masih melakukan sosialisasi terkait hak-hak masyarakat yang akan dipindahkan.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa pemerintah tidak memindahkan masyarakat Pulau Rempang ke Pulau Galang, tetapi “menggeser” warga dari satu daerah ke daerah lain di wilayah Pulau Rempang. Akan tetapi, lokasi “pemindahan warga” tersebut masih belum diketahui dan ada informasi lanjutan.
Menanggapi tentang konflik yang terjadi di Pulau Rempang, dalam media briefing peluncuran fact sheet “Temuan-temuan Dugaan Pelanggaran Lingkungan, Pertanahan, dan Konflik Kepentingan di Balik Proyek PSN Rempang: Di Manakah Keadilan Bagi Rakyat?” Fauzi Rahman dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyatakan, alih-alih menyebutnya sebagai relokasi, pemindahan, maupun penggeseran, saat ini pemerintah melakukan penggusuran paksa yang termasuk sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
“Kalau merujuk pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, pelanggaran hak asasi manusia berat meliputi genosida hingga pemindahan paksa,” jelasnya.
Oleh karena itu, yang terjadi di Pulau Rempang adalah penggusuran paksa. Situasi saat ini masih mencekam, ada intimidasi di mana-mana.
“Kami meminta agar pemerintah menarik undur pasukan polisi dan TNI agar masyarakat tidak takut,” ujarnya.
Linda Dewi Rahayu dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan, konflik di Pulau Rempang tidak terjadi secara instan, namun baru Meletus pada 7 dan 11 September lalu. Jika ditelisik, masalah agraria di Pulau Rempang merupakan konflik warisan dari pasca kemerdekaan, Orde Baru hingga hari ini. Ia menilai, ngara yang seharusnya wajib mengadministrasikan sumber-sumber agraria nyatanya bertindak sebaliknya.
“Negara justru meliberalisasi sumber agraria bersama elit bisnis, dengan menyempitkan hak menguasai negara. Akibatnya, masyarakat Rempang tidak menjadi elemen terhitung dalam pembangunan. Maka konflik dan pelanggaran HAM di Pulau Rempang sudah terjadi sejak puluhan tahun lamanya,” kata Linda.
Ia melanjutkan, pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo, Proyek Strategis Nasional (PSN) dilegitimasi menjadi proyek yang tidak partisipatif, menggusur ruang hidup masyarakat, hingga menggunakan kekuatan kekerasan negara secara berlebihan sampai seolah-olah tidak dapat ditolak pelaksanaanya.
“UU Cipta Kerja menjadi alat yang memudahkan perampasan tanah, utamanya tanah yang tidak diadministrasi dengan baik oleh Pemerintah. Lalu menjadi tipikal PSN menyebabkan letusan konflik agraria,” sambungnya.
Pasca UU Cipta Kerja, konflik akibat PSN pada tahun 2021 meningkat 123 persen. Jika ditotal sepanjang Pemerintahan Jokowi (2015-2022), telah terjadi 73 letusan konflik agraria akibat PSN.
Ketika berbicara tentang dampak dan resiko yang ditimbulkan akibat konflik di Pulau Rempang, Linda menambahkan bahwa korban tak hanya ada pada peristiwa 7 dan 11 September saja. Tetapi, ada korban saat konflik tersebut dimulai bertahun-tahun lalu hingga korban yang akan ada di masa mendatang. Ia pun mengingatkan, kelompok perempuan menjadi kelompok yang paling rentan karena berada di garda terdepan ketika terjadi konflik agraria seperti di Pulau Rempang.
Pasalnya, mereka tidak lepas dari keterikatan dan fungsi tanah, air, dan lingkungan di pulau kecil mereka. Sebab sumber-sumber agraria itu bicara soal hidup dan kehidupan. Ketika mereka dipindahkan, secara paksa pemerintah mengubah gaya hidup mereka, dengan akses yang dibatasi disertai kekerasan yang merupakan bentuk eksklusi.
“Saat pemerintah berbicara dengan warga pun yang diajak diskusi belum mewakili suara perempuan. Maka yang perlu digarisbawahi bukan sekadar pembangunan yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi pembangunan yang bisa mengakomodir hak perempuan, anak, juga lansia, dan kelompok rentan lainnya. Sebab perempuan, anak-anak, dan lansia menjadi kelompok yang paling rentan terdampak dalam konflik perampasan tanah di Pulau Rempang,” pungkas Linda.
Dugaan Konflik Kepentingan Pejabat di PSN Pulau Rempang
Terkait Pulau Rempang yang ditetapkan sebagai PSN, peneliti dari Trend Asia Zakki Amali menemukan adanya dugaan konflik kepentingan bisnis dan kepemilikan saham beberapa pejabat pemerintahan dan keluarganya. PT Makmur Elok Graha (MEG) yang ditunjuk untuk melakukan pengembangan proyek Rempang Eco City kerap diasosiasikan dengan pendiri Artha Graha Group Tomy Winata.
Meski demikian, dalam temuan Trend Asia tidak ditemukan nama Tomy Winata dalam struktur perusahaan tersebut. Namun, direksi dan komisaris perusahaan PT MEG dan perusahaan yang memiliki saham PT MEG adalah orang yang terlibat dalam pekerjaan dan kegiatan sosial berhubungan dengan Artha Graha Group.
Penerima manfaat utama atau ultimate beneficial ownership dari PT MEG ditemukan adalah perusahaan cangkang (shell company) dari British Virgin Island, yaitu Grideye Resources. Zakki mengatakan bahwa memiliki perusahaan cangkang bukanlah hal ilegal, tetapi perusahaan cangkang kerap disalahgunakan untuk menghindari pajak.
“Rempang akan dijadikan lokasi pabrik Xinyi Glass Holding yang akan memproduksi panel surya. Kemudian di Batam, terdapat perusahaan yang diduga terafiliasi pejabat akan membangun PLTS yang kemungkinan menjadi pembeli potensial untuk panel surya dari Xinyi Glass,” ujar Zakki.
Hal ini mengindikasikan adanya situasi supply and demand di Batam, yaitu perusahaan PLTS yang memerlukan panel surya dan listriknya akan dieskpor ke Singapura dengan produsen panel surya dari Xinyi Glass yang akan berdiri di Pulau Rempang. Artinya ada kebutuhan listrik “rendah karbon” dari pemerintah Singapura yang dihasilkan dari PLTS di Batam.
Dalam rencana pembangunan PLTS di Batam dan daerah di sekitarnya sendiri terdapat sekitar sembilan perusahaan yang terlibat, beberapa di antaranya ialah: PT Adaro Energi Indonesia, PT Batam Sarana Surya, PT Toba Bara Energi, PT Indonesia Power, dan Gurin Energy Ltd.
Satrio Manggala dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) juga menyatakan, tak ada alokasi ruang untuk pembangunan Rempang Eco City dalam perencanaan tata ruang dan wilayah di skala daerah hingga nasional.
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Batam berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2021, pembangunan infrastruktur hanya meliputi jalan artileri, ketenagalistrikan, dan waduk. Sementara kawasan industri meliputi pengembangan industri perikanan di Pulau Rempang dan Pulau Galang serta penataan kawasan wisata Rempang, Galang, dan Galang Baru.
RTRWP Kepulauan Riau sesuai dengan Perda No.1 Tahun 2017 menitikkan pada kawasan hutan lindung, suaka alam darat Taman Buru, cagar budaya dan ilmu pengetahuan historis mengenai tentara Jepang dan pengungsi Vietnam di Pulau Galang, serta kawasan konservasi perairan daerah Kota Batam.
RTR KSN Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2011 menunjukkan ada empat zona lindung yang meliputi kawasan perlindungan sempadan pantai di Pulau Rempang, Pulau galang, dan Pulau Galang Baru serta kawasan sempadan sungai di Sungai Rempang dan Galang. Selain itu, zona lindung kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya, serta kawasan lindung rawan gerakan tanah. Sedangkan dalam RZ KAW Laut Natuna-Natuna Utara dalam Peraturan Presiden No.41
Tahun 2022 secara spesifik menyajikan daftar PSN, tetapi tidak menunjukkan ada perencanaan alokasi ruang untuk pengembangan Rempang Eco City.
“Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2017, tidak ada secara spesifik yang menunjukkan ada alokasi ruang untuk pengembangan Rempang Eco City. Yang ada justru Taman Buru Pulau Rempang yang masuk sebagai Kawasan Lindung Nasional,” ujarnya.
Satrio melanjutkan bahwa penting juga untuk menggarisbawahi status Pulau Rempang sebagai pulau kecil yang ukurannya kurang dari 2.000 km2. Akibatnya, Pulau Rempang rentan untuk kegiatan perusahaan yang beresiko karena siklus ekosistemnya sangat dekat antara wilayah perairan tawar dan laut.
“Pasalnya, pulau kecil tidak memiliki ruang transisi untuk peralihan zona pesisir dan zona darat seperti pulau-pulau besar,” tegasnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post