Jakarta, Prohealth.id – Sejumlah foto memperlihatkan tangan siswa di SMK Swasta Bina Karya, Larantuka, Kabupaten Flores Timur melepuh dan bernanah. Foto tersebut beredar luas di media sosial, seperti Facebook.
Terduga pelaku diidentifikasi sebagai Bruder Nelson, seorang biarawan Katolik yang merupakan pendidik di sekolah itu. Orangtua siswa itu telah melaporkan kasus ini ke Polres Flores Timur pada 3 Agustus 2023. Ini menjadi contoh praktik pendisiplinan dengan kekerasan yang masih banal di institusi pendidikan, guru masih menggunakan cara-cara kekerasan untuk mendisiplinkan peserta didik.
Menanggapi hal itu, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengutuk keras guru dan model pengasuhan asrama yang mencelupkan tangan peserta didik ke air yang mendidik. FSGI menilai, hal ini merupakan bentuk penyiksaan.
Melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Rabu (9/8/2023), Retno Listyarti selaku Ketua Dewan pakar FSGI menyatakan FSGI mengutuk keras perbuatan guru sekaligus pengasuh asrama yang dengan sadis mencelupkan tangan peserta didiknya ke air yang mendidih hingga melepuh dan bernanh, bahkan kemudian membiarkan tanpa memberikan pertolongan sehingga anak tersiksa kesakitan hingga esok harinya. Ia mengingatkan, kasus ini melanggar Konevenan Anti Penyiksaan, UU Perlindungan Anak, UU HAM, dan Permendikbud No. 82/2015.
Atas kasus kekerasan tersebut, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyatakan beberapa hal. Pertama, FSGI engutuk keras aksi kekerasan yang dilakukan guru terhadap peserta didiknya dengan mencelupkan tangan anak ke air mendidih. Pasalnya, perbuatan guru tersebut adalah pelanggaran hak anak dan juga pelanggaran Hak Asasi Manusia.
“Apalagi Indonesia sudah merativikasi Konvenan Internasional Anti Penyiksaan,” kata Heru Purnomo selaku Sekjen FSGI.
Kedua, perbuatan tersebut juga melanggar Pasal 76 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yaitu melakukan kekerasan yang mengakibatkan luka berat dan cacat permanen pada anak korban, dapat dituntut hukuman 15 tahun dan diperberat sepertiganya karena pelaku termasuk orang terdekat korban. Apalagi ini sekolah berasrama, dimana pengasuhan anak dipercayakan pada pihak sekolah.
FSGI menambahkan, sekolah juga dapat dikenakan Pasal 54 UU Perlindungan Anak, dimana pasal tersebut mewajibkan pihak sekolah melindungi peserta didik selama berada di lingkungan sekolah dari segala bentuk kekerasan, baik yang dilakukan oleh pendidik, tenaga pendidik, maupun peserta didik.
“Sekolah telah lalai dan gagal melindungi anak,” terang Heru.
Selain itu, sekolah juga melanggar Permendikbud No 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak kekerasan Di Satuan Pendidikan. Meski kejadi malam hari dan di ruang asrama, namun lingkungan itu adalah bagian dari sekolah.
Untuk itu, Guntur Ismail selaku Ketua Tim Kajian Hukum FSGI menyebut beberapa rekomendasi dari FSGI.
Pertama, FSGI mendorong pihak kepolisian segera mengusut tuntas kasus ini sebagaimana dilaporkan orangtua korban, segera menahan terduga pelaku agar tidak menghilangkan barang bukti dan mempengaruhi peserta didik lain dalam pemeriksaan.
Kedua, FSGI mendorong kepolisian menggunakan UU Perlindungan Anak agar pelaku dapat dihukum berat sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Ketiga, FSGI mendesak Dinas Kesehatan Provinsi NTT segera memulihkan kesehatan anak korban sebagai bentuk perlindungan khusus anak dalam UUPA, mengingat korban masih usia anak dan masih Panjang masa depannya, sehingga jika memang diperlukan operasi untuk penanganan luka korban, maka seluruh biaya ditanggung pemerintah daerah.
Keempat, FSGI mendorong Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (DP3A) Provinsi NTT untuk mendampingi anak korban selama pemeriksaan kepolisian dan juga memulihkan kondisi psikologis korban.
Kelima, FSGI juga mendorong Dinas DP3A Provinsi NTT untuk melakukan assesmen psikologi dan psikososial ke peserta didik lain di sekolah berasrama tersebut karena ada dugaan juga mengalami kekerasan dalam bentuk yang lain saat proses pendidiplinan. Hal ini untuk pembenahan ke depannya dan melindungi peserta didik lain dari berbagai bentuk kekerasan atas nama mendidik dan mendisiplinkan.
“Karena dalam mendidik dan mendisiplinkan anak sejatinya tanpa kekerasan,” kata Guntur.
Discussion about this post