Jakarta, Prohealth.id – Pada 2024, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah melakukan pengawasan penting pada dua klaster.
Pertama, klaster Pemenuhan Hak Anak (PHA). Kedua, klaster Perlindungan Khusus Anak (PKA). Pada klaster PHA, pengawasan KPAI ialah meliputi pemilu ramah anak dan percepatan pemenuhan hak anak atas identitas; pencegahan perkawinan anak, dispensasi nikah, isu-isu pengasuhan; anak putus sekolah; stunting; dan implementasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di tempat pendidikan dan tempat bermain Anak.
Sementara untuk klaster PKA, KPAI melakukan pengawasan terkait kekerasan pada anak; perundungan; praktek Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA); eksploitasi anak seksual/ekonomi; anak dan terorisme; bunuh diri anak; perlindungan anak di ruang digital; pekerja anak; serta anak minoritas dan wilayah 3T.
Kegiatan pengawasan PHA dan PKA oleh KPAI mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Pemantaun terkait kemajuan dan tantangan pemenuhan hak anak dan pelindungan anak untuk merumuskan rekomendasi yang solutif terhadap situasi yang ada.
Berikut beberapa kasus anak yang menjadi perhatian utama KPAI selama tahun 2024.
- Kasus Anak dalam lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif masih mendominasi.
Ada 1097 kasus yang masuk dengan jenis kasus paling banyak meliputi anak korban pengasuhan bermasalah/konflik orang tua, anak korban pemenuhan hak anak, anak korban perebutan kuasa asuh. Kondisi pengasuhan anak di dalam keluarga akan sangat berpengaruh bagaimana kondisi, kepribadian serta interaksi dan sosialisasi anak di lingkungan masyarakat.
- Kekerasan seksual terhadap anak sebanyak 265 kasus dan 53 kasus tersebut telah melalui proses pengawasan.
Jumlah sisanya dirujuk ke lembaga layanan untuk mendapatkan pendampingan dan penanganan lebih lanjut. Tujuh kasus diantaranya terjadi di lembaga pendidikan atau lembaga pengasuhan alternatif. Mayoritas kasus yang diadukan karena anak mengalami hambatan terhadap akses keadilan dan remediasi. Adapun kurangnya pemahaman petugas mengenai Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasaan Seksual (TPKS), dan hak-hak anak mengakibatkan terhambatnya penanganan kasus. Selain itu, upaya perdamaian kasus dalam kasus kekerasaan seksual yang melibatkan pelaku dewasa sebenarnya melanggar norma hukum. Keterbatasan lembaga layanan di daerah, terutama di wilayah 3T, serta minimnya tenaga profesional mengakibatkan anak-anak kurang mendapatkan dukungan pendampingan dan rehabilitasi yang memadai. Praktik budaya di beberapa tempat yang masih menormalisasi kekerasan juga menyebabkan banyak laporan kasus anak ke penegak hukum.
- Anak terhambat pemenuhan pendidikan, pemanfaatan waktu luang, budaya dan agama sebanyak 241 kasus.
KPAI mencatat kasus yang tertinggi adalah kasus anak korban perundungan di satuan pendidikan yang tidak tercatat dalam laporan di Kepolisian. Lalu anak korban kebijakan sekolah, anak korban kebijakan di lingkungan pendidikan, dan anak korban diskriminasi karena tunggakan pembayaran SPP. Selain itu, masalah serius yang juga muncul adalah tingginya angka anak putus sekolah di Indonesia, yang tentu saja berdampak pada masa depan bangsa. Penyebab utama tingginya angka putus sekolah antara lain faktor ekonomi, budaya, hingga perkawinan anak.
- Anak korban kekerasan fisik dan psikis sebanyak 240 kasus.
KPAI menyatakan, dengan kasus tertinggi adalah anak korban penganiayaan/pengeroyokan/perkelahian, anak korban kekerasan psikis, anak korban pembunuhan, dan anak korban tawuran. Selain itu, KPAI juga memantau dengan serius kasus anak yang mengakhiri hidupnya. Ada juga, filisida yaitu anak korban pembunuhan oleh orang tua atau anggota keluarga terdekat hingga familisida atau pembunuhan satu keluarga termasuk anak, oleh ayah. Meningkatnya kekerasan fisik psikis terhadap anak pengaruhnya karwna beberapa faktor. Sebut saja; normalisasi budaya kekerasan, lemahnya pengawasan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat, serta dampak dari game online atau media sosial pada anak.
- KPAI menerima sebanyak 41 kasus anak korban pornografi dan kejahatan dunia maya (cyber crime).
Kasus yang paling sering masuk adalah anak korban kejahatan seksual dan perundungan di dunia maya. Penyebab utama dari masalah ini adalah kesenjangan antara pesatnya perkembangan teknologi dan media sosial dengan rendahnya tingkat literasi digital pada anak-anak dan orang tua. Hal ini mengakibatkan lemahnya pengawasan serta meningkatnya penyalahgunaan dalam penggunaan media sosial, yang berakibat pada munculnya kejahatan lainnya pada anak.
- Anak terhambat pemenuhan hak sipil sebanyak 22 kasus, dengan kasus tertinggi terkait kesulitan anak dalam memperoleh identitas.
KPAI menyebut, peemenuhan hak anak atas identitas belum mencapai target RPJMN 2019-2024. Beberapa wilayah 3T, terutama Provinsi Papua, bahkan menunjukkan penurunan signifikan dalam hal ini, seperti yang tercatat oleh BPS. Yang mana, persentase pemenuhan identitas anak di Provinsi Papua turun dari 53,77 persen pada 2023 menjadi 50,85 persen pada 2024. Selain itu, empat provinsi baru di Papua masih belum memiliki data terkait pemenuhan hak identitas anak.
- Anak terhambat pemenuhan hak kesehatan dasar dan kesejahteraan sebanyak 18 kasus.
Dengan kasus terbanyak terkait anak sebagai korban malpraktek layanan kesehatan, pemenuhan hak kesehatan dasar, serta layanan jaminan sosial. Selain itu, KPAI juga mengawasi kasus anak dengan gizi buruk dan stunting, yang merupakan salah satu program prioritas nasional. Target penurunan stunting sebesar 14 persen pada 2024 dalam RPJMN 2020-2024 belum tercapai. KPAI juga memantau Implementasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di satuan pendidikan dan ruang bermain anak sebagai bagian dari pengawasan terhadap pemenuhan hak kesehatan anak.
- Anak korban jaringan terorisme.
Masih adanya pemahaman agama yang salah mengakibatkan anak menjadi korban jaringan terorisme. Faktornya adalah anggota keluarga, teman, hingga kelompok khusus yang melibatkan anak dalam aktivitasnya.
- Anak korban eksploitasi ekonomi dan atau seksual di tahun 2024 paling banyak adalah prostitusi yang melibatkan anak, TPPO, jual beli bayi dan pekerja anak.
Pemicu utama adalah permasalahan ekonomi, buruknya pengasuhan, penyalahgunaan media dan teknologi informasi, serta kekuatan sindikat kejahatan yang menyasar pada anak.
- Anak-anak di wilayah 3T memerlukan perhatian serius semua pihak, khususnya pemerintah.
KPAI mencatat beberapa wilayah 3T bahkan mengalami komplikasi masalah karena situasi khusus. Misalnya konflik yang terjadi di Kabupaten Maluku Tengah, Kabupaten Maybrat, Kabupaten Puncak, dan Puncak Jaya serta Kabupaten Pegunungan Bintang. Anak-anak di wilayah 3T yang termasuk daerah berkonflik, mengalami pengabaian dan pelanggaran hak-hak dasar, seperti hak hidup, hak sipil, hak bebas dari kekerasan, hak tumbuh kembang di lingkungan yang layak dan berkelanjutan, hak atas pendidikan dan kesehatan yang layak, dan sejumlah perlindungan khusus lainnya yang dilindungi Undang-Undang.
- Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 ada indikasi keterlibatan anak yang yang massif. Pengawasan KPAI memastikan supaya tidak ada keterlibatan anak dalam kegiatan pemilu. Laporan kasus eksploitasi dan penyalahgunaan anak dalam konteks politik selama Pemilu dan Pilkada serentak tahun 2024 ternyata cukup tinggi.
Ada beberapa kasus pelanggaran hak anak yang tercatat oleh KPAI. Pertama, sebanyak 6 kasus diadukan secara langsung kepada KPAI dan 50 kasus temuan KPAI di media sosial. Lembaga independen injuga mendata sebanyak 108 anak terlibat dalam aksi unjuk rasa Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah di gedung DPR RI. KPAI juga mencatat bahwa pendidikan politik bagi pemilih pemula masih minim, walaupun hal ini penting agar anak-anak pemilih pemula dapat membuat keputusan yang cerdas dan bertanggung jawab dalam setiap Pemilu.
Sepanjang 2024, KPAI telah menangani kasus anak-anak tersebut. Masalah anak lainnya yang masih banyak dan belum tersampaikan, tetap sudah masuk dalam pengaduan dan sudah terselesaikan.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post