Jakarta, Prohealth.id – Layanan kesehatan Indonesia viral akibat sejumlah kasus yang mencoreng profesi tenaga medis. Seperti kasus dokter kandungan di klinik Garut pada Juni 2024 dan residen anestesi di RS Hasan Sadikin (RSHS) Bandung pada Maret 2025. Situasi ini menimbulkan keresahan publik sehingga mendorong pendisiplinan tenaga medis dan tenaga kesehatan dan sistem pengawasan.
Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) pun jadi sorotan. Maklum, KKI adalah lembaga yang punya wewenang dari pemerintah memiliki tugas utama menjaga kompetensi, mutu, dan profesionalisme tenaga medis dan tenaga kesehatan.
Ketua Konsil Kesehatan Indonesia Arianti Anaya menjelaskan transformasi besar dalam struktur organisasi pengawasan profesi kesehatan di Indonesia sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024.
Sebelumnya ada dua entitas terpisah yakni Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI). Kini keduanya bergabung menjadi satu lembaga bernama Konsil Kesehatan Indonesia (KKI).
“Konsil Kesehatan Indonesia yang dibentuk ini merupakan lembaga non struktural yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui Menteri Kesehatan. Tentunya kami bekerja independen,” terangnya dalam konferensi pers “Penindakan dan Pendisiplinan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan” di Jakarta yang dipantau secara daring pada Kamis, 17 April 2025.
KKI mendapat bantuan dari Majelis Disiplin Profesi (MDP) dan Kolegium. Majelis bertugas menangani pelanggaran etik dan disiplin. Sedangkan kolegium memastikan bahwa standar kompetensi para tenaga medis dan tenaga kesehatan selalu terjaga.
Saat ini terdapat lebih dari 2,2 juta tenaga kesehatan aktif di Indonesia dengan Surat Tanda Registrasi (STR) yang sah. STR merupakan bukti bahwa seseorang layak untuk memberikan pelayanan medis, dan menjadi dasar bagi pengurusan Surat Izin Praktik (SIP).
KKI tidak hanya memberikan STR. Lembaga ini juga memiliki wewenang untuk mencabut atau menonaktifkannya apabila ada temuan pelanggaran etik atau kompetensi.
Penanganan Kasus dan Proses Disipliner
KKI baru-baru ini menangani dua kasus penting, kata Ketua Konsil Kesehatan Indonesia Arianti Anaya. Pertama, kasus dokter kandungan di klinik Garut pada Juni 2024 dan residen anestesi di RS Hasan Sadikin (RSHS) pada Maret 2025.
KKI kemudian menonaktifkan STR dokter di klinik Garut tersebut untuk sementara waktu sambil menunggu proses hukum lebih lanjut. Sementara itu KKI juga mencabut STR dokter residen di di RS Hasan Sadikin (RSHS) setelah dokter residen ini resmi menjadi tersangka dalam kasus pidana serta menerima laporan dari rumah sakit dan kepolisian. KKI pun melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan setempat untuk menonaktifkan seluruh SIP yang ada.
Arianti menjelaskan pula terkait kebijakan STR yang berlaku seumur hidup tidak akan akan melemahkan evaluasi berkala terhadap tenaga medis.
Sebab pengawasan tetap berjalan melalui SIP yang masa berlakunya adalah 5 tahun. Perpanjangan SIP hanya bisa jika tenaga kesehatan memenuhi Satuan Kredit Profesi (SKP), rekam log book, serta evaluasi dari fasilitas layanan tempat mereka bekerja. Ini menjadi filter kedua setelah STR.
Jadi meskipun STR berlaku seumur hidup, praktik medis tetap harus mendapat pengawasan secara ketat melalui SIP. Arianti pun mencontohkan, sebagai lulusan kedokteran gigi saat ini tidak memiliki SIP. Karena sudah lama tidak aktif praktik maka dia harus mengikuti uji kompetensi ulang terlebih dahulu jika ingin kembali praktik.
“Contohnya saya ini. Pertama kali selesai, saya sudah kompeten dong sebagai dokter gigi. Sudah mendapatkan STR. Tetapi karena pekerjaan saya tidak lagi melakukan praktek. Apa kemudian saya boleh berpraktek? Tidak boleh,” ujar dia.
Interaksi Tenaga Medis dan Pasien
Kasus pelanggaran etik dan kekerasan seksual yang terjadi menimbulkan pertanyaan pula terkait Standar Operasional Prosedur (SOP) di rumah sakit.
Ketua Kolegium Obstetri dan Ginekologi (ObGin) Ivan R Sini menyebutkan kolegium berperan dalam menyusun standar kompetensi nasional. SOP pendidikan adalah bagian dari kurikulum yang diterapkan di institusi akademik sedangkan SOP rumah sakit berlaku dalam operasional pelayanan.
Reza Sujud, Ketua Kolegium Anestesi, menambahkan SOP rumah sakit selalu menjadi acuan utama dalam praktik. SOP pendidikan hanya berfungsi sebagai panduan pembelajaran yang sesuai dengan jenjang pendidikan peserta didik (residen). Ketika residen berada di rumah sakit maka SOP yang berlaku adalah milik rumah sakit tersebut dan bukan SOP institusi pendidikan. Ini menunjukkan pentingnya harmonisasi dan komunikasi antara rumah sakit pendidikan dan institusi pendidikan agar tidak terjadi celah tanggung jawab.
Penting menghormati proses etika harus dalam setiap interaksi tenaga medis dan pasien. Sebab hal ini mencerminkan hubungan saling percaya antara dokter dan pasieni dalam setiap langkah pengobatan. Sehingga, aspek penting lain yang sangat adalah informed consent dan chaperone.
Menurut Ivan, tenaga medis harus memberikan penjelasan lengkap kepada pasien mengenai prosedur kesehatan. Pasien berhak untuk mengetahui setiap langkah pemeriksaan dan memberikan persetujuan eksplisit sebelum pelaksanaan prosedur dengan informed consent.
Sedangkan dalam prosedur medis yang melibatkan area tubuh sensitif harus ada chaperone. Seperti dalam pemeriksaan obstetri dan ginekologi (ObGin).
Kehadiran chaperone bertujuan untuk melindungi pasien dari potensi kekerasan atau penyalahgunaan wewenang oleh tenaga medis. Shepron dapat berupa perawat atau staf medis lain yang ditempatkan untuk mendampingi pasien selama pemeriksaan atau prosedur invasif yang dilakukan oleh dokter.
Saluran Pengaduan
Dalam hal ini, KKI menyediakan saluran pelaporan dugaan pelanggaran bagi pasien atau keluarga pasien yang menjadi korban atas tindakan medis. Pengaduan ini bisa dilakukan oleh pasien atau keluarganya yang terlibat langsung dalam perawatan tersebut.
KKI turut menegaskan komitmennya untuk melindungi korban dan mencegah intimidasi terhadap pelapor. Hal ini untuk memperkuat mekanisme pelaporan publik, meningkatkan transparansi, serta memperkuat sinergi antara kolegium, fasilitas kesehatan, dan masyarakat.
Dengan sistem pengawasan yang lebih baik, evaluasi berkala, serta koordinasi lintas sektor, harapannya kepercayaan masyarakat terhadap profesi kesehatan Indonesia dapat terus terjaga.
Penindakan terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan bukan semata hukuman tetapi juga bentuk tanggung jawab terhadap profesi yang diemban. KKI berkomitmen untuk menjaga integritas, transparansi, dan akuntabilitas profesi kesehatan di Indonesia.
Arianti menegaskan semua pihak tidak ada yang berharap kasus ini bertambah. Kemudian masyarakat kini lebih melek pada prosedur kesehatan. Masyarakat akan melaporkan dokter atau tenaga kesehatan yang melakukan tindakan yang tidak sesuai dan ini tentu harus mendapatkan sanksi. Hal ini tentu sinyal sangat bagus karena harus ada efek jera yang menjaga kredibilitas.
“Tenaga kesehatan dan tenaga medis bukan dewa yang tidak boleh diutak-atik,” pungkasnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post