Jakarta, Prohealth.id – Marzuki Darusman selaku Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta, Ita F. Nadia selaku Pendamping Korban Mei 1998, Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), bersama kuasa hukum dalam Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunita melayangkan keberatan administratif kepada Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon. Hal ini terkait pernyataan publiknya yang mendelegitimasi kerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa 13-15 Mei 1998.
Pernyataan itu tertuang dalam Siaran Berita Kementerian Kebudayaan terbit 16 Juni 2025. Pernyataan pun disebarluaskan melalui akun Instagram resmi @fadlizon dan @kemenbud.
Dalam pernyataan tersebut, Menteri Kebudayaan menyebut bahwa laporan TGPF “hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku”. Pernyataan ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap hasil kerja dan temuan TGPF. Padahal TGPF berdiri secara resmi oleh Presiden ke-3 RI, BJ Habibie. Ini berdasarkan Keputusan Bersama lima Menteri pada 23 Juli 1998. TGPF melibatkan unsur pemerintah, Komnas HAM, LSM, dan organisasi masyarakat, dan telah menghasilkan laporan yang menjadi dokumen negara.
Komnas HAM sendiri, melalui Tim Pengkajian dan Tim Penyelidik Pro-Yustisia yang dibentuk pada tahun 2003, menemukan indikasi kuat terjadinya pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan dalam Peristiwa Mei 1998. Fakta-fakta ini telah disampaikan secara resmi kepada publik dan lembaga negara.
Lebih jauh, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 065/PUU-II/2004, ditegaskan bahwa dasar pembentukan Pengadilan HAM ad hoc harus bersumber dari hasil penyelidikan Komnas HAM. Maka seharusnya, Menteri Kebudayaan menghormati temuan resmi lembaga negara, dokumentasi sejarah, kesaksian korban, data investigatif, serta rekomendasi dari berbagai lembaga kredibel seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998, dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang kesemuanya menjadi bukti nyata bahwa negara tidak bisa lagi menghindar dari tanggung jawab untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, khususnya Mei 1998 sekaligus tindakan tersebut justru memberikan ruang terjadinya praktik impunitas.
“Kami menilai pernyataan Fadli Zon sebagai tindakan administrasi pemerintahan yang menyalahgunakan wewenang, bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, serta melanggar ketentuan dalam Peraturan Presiden No. 190 Tahun 2024 tentang Kementerian Kebudayaan,” tulis koalisi melalui siaran pers.
Tindakan tersebut juga telah berkontribusi pada pengaburan kebenaran. Bahkan, menghambat proses penuntasan pelanggaran berat HAM. Selain itu juga melemahkan perlindungan hukum bagi korban dan keluarganya. Ini adalah bentuk pembiaran terhadap praktik impunitas.
Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menuntut beberapa hal. Pertama, Menteri Kebudayaan RI mencabut dan/atau menarik kembali pernyataannya dalam Siaran Berita Kementerian Kebudayaan Nomor: 151/Sipers/A4/HM.00.005/2025. Pemerintah wajib melakukan klarifikasi terbuka melalui saluran resmi yang sama.
Kedua, menuntut permintaan maaf terbuka dari Menteri Kebudayaan Fadli Zon kepada para korban kekerasan seksual dan pelanggaran HAM berat dalam Peristiwa Mei 1998. Permintaan maaf juga untuk keluarga korban, perempuan Indonesia serta publik secara luas.
Ketiga, penting ada jaminan tidak terulangnya tindakan serupa. Perlu juga pelaksanaan edukasi internal di Kementerian Kebudayaan terkait prinsip-prinsip non-impunitas. Selain itu penghormatan terhadap korban, dan standar kebenaran sejarah pelanggaran HAM berat.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post