Kementerian Kesehatan menganggap standardisasi kemasan (plain/standardized packaging) rokok bisa menurunkan prevalensi perokok di Indonesia.
Tak hanya Kemenkes, sejumlah akademisi juga meyakini hal yang sama. National Professional Officer Tobacco Free Initiative Badan Kesehatan Dunia (WHO) Ridhwan Fauzi, mengungkapkan prevalensi pengguna produk tembakau saat ini dan perokok saat ini tidak berubah secara signifikan. Khususnya dari tahun 2011 hingga 2021.
“Jumlah perokok dewasa perkiraan saat ini meningkat dari 61,4 juta orang di tahun 2011 menjadi 70,2 juta orang di tahun 2021,” kata Ridwan dalam diskusi publik, Kamis (9/1/2025).
Tak hanya itu, prevalensi pengguna rokok elektronik saat ini meningkat 10 kali lipat, dari 0,3 persn di tahun 2011 menjadi 3,0 persen di tahun 2021.
Indonesia telah menerapkan kebijakan peringatan kesehatan bergambar sebesar 40 persen di depan dan belakang kemasan sejak 2014. Namun, Ridwan menilai penerapan kebijakan tersebut belum maksimal.
“Masih ada beberapa 20-an persen orang-orang yang belum terlalu memperhatikan aturan peringatan kesehatan bergambar itu,” ujarnya.
Ridwan menduga banyak orang yang belum terlalu memperhatikan aturan peringatan kesehatan bergambar karena lebih fokus pada aspek-aspek lain. Sebab, peringatan kesehatan bergambar pun hanya 40 persen. Sisanya, 60 persennya adalah aspek promosi dari rokok kemasannya.
“Sehingga orang-orang pasti lebih tertuju ke situ, karena proporsinya juga jauh lebih besar,” tambahnya.
Dengan kata lain, kata dia, peringatan kesehatan bergambar ukurannya masih terbilang kecil. Di sisi lain, fitur-fitur di kemasan rokok banyak yang menarik perhatian.
Oleh sebab itu, dia menilai perlunya standardiasi atau membuat polos kemasan rokok dibuat dengan serius. Mulai dari logo, warna hingga informasi yang tertera dalam kemasan nantinya.
Tujuan standarisasi kemasan rokok antara lain mengurangi daya tarik terhadap produk tembakau. Berikutnya, meningkatkan keterlihatan dan efektivitas peringatan kesehatan bergambar. Lalu mengurangi potensi kemasan produk tembakau dalam memberikan informasi yang menyesatkan publik mengenai bahaya merokok atau penggunaan produk tembakau.
“Tidak bisa dipungkiri bahwa kemasan rokok menjadi salah satu media untuk mempromosikan. Makanya mereka desainnya sophisticated. Sengaja untuk menarik orang-orang menggunakan produk tersebut,” ujarnya.
Ridwan menyebut yang terpenting dari kebijakan kemasan polos/standar berkontribusi pada tujuan yang lebih luas untuk melindungi kesehatan dengan mengurangi permintaan terhadap produk tembakau.
Pasalnya, saat ini banyak kemasan rokok yang mempromosikan rasa-rasa buah. Akibatnya ada anggapan bahwa mengonsumsi rokok itu aman.
“Ini bisa misleading seperti itu,” ucapnya.
Dia menyarankan adanya larangan penggunaan elemen dekoratif atau estetika tambahan, penggunaan aroma, parfum, atau fitur suara. Lebih lanjut, dia menyarankan pelarangan penggunaan pada teknologi komunikasi tambahan. Contohnya; kode QR atau elemen interaktif lain yang menjadi bagian dari kemasan.
Ridwan menyebut di beberapa negara lain bahkan bukan hanya kemasannya saja yang diatur, melainkan batang rokok juga.
Eektifitas Standardisasi Kemasan Rokok
Banyak yang mempertanyakan efektifitas standardisasi kemasan rokok terhadap penurunan prevalensi perokok. Ridwan pun memaparkan beberapa penelitian terkait hal tersebut.
Berdasarkan kajian yang diterbitkan Cochrane Library, standardisasi kemasan dapat mengurangi secara signifikan daya tarik (appeal) terhadap rokok. Selain itu, standardisasi kemasan juga bisa mendorong terjadinya penurunan konsumsi.
“Artinya, kebijakan ini bukan kaleng-kaleng. Sudah ada evidence bahwa ini mampu untuk menurunkan konsumsi rokok, berkontribusi untuk menurunkan konsumsi rokok. Tentunya harus dengan kebijakan-kebijakan yang lainnya, baik itu fiskal maupun non-fiskal,” paparnya.
Banyak juga anggapan bahwa standardisasi kemasan akan menyebabkan perdagangan gelap atau penjualan rokok ilegal. Hal ini lagi-lagi terbantahkan oleh beberapa penelitian.
Pertama, penelitian Introduction of Standardised Packaging and Availability of Illcit Cigarettes: A Difference-in-difference Analysis of European Union Survey Data 2015-2018. Kedua, Standardized Packaging and Illcit Tobacco Use: A Systematic Review.
Dalam dua penelitian itu menunjukan tidak adanya peningkatan penualan rokok ilegal akibat penerapan kebijakan standardisasi kemasan.
“Saya kira data pemerintah Australia pun memonitor perkembangan dari tahun ke tahun. Setelah mereka menerapkan standardized packaging itu tidak terjadi peningkatan rokok ilegal yang signifikan,” ucapnya.
Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau P2PTM Kemenkes, Benget Saragih mengatakan saat ini sudah ada 26 negara yang memiliki aturan standardisasi kemasan.
Kemenkes saat ini sedang menyusun draf Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) Standarisasi Kemasan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik. Ini bagian dari tindak lanjut PP no 28 tahun 2024 Peraturan pelaksanaan undang-undang nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan Pasal 437 ayat (6).
Beleid menyatakan, ‘Ketentuan lebih lanjut mengenai gambar dan tulisan peringatan Kesehatan sebagaimana dimaksud ayat (2) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.;’
Benget mengatakan draf RPMK itu meliputi bentuk dan warna kemasan, serta gambar pada Peringatan Kesehatan. Kemudian dari segi tulisan meliputi peringatan kesehatan, informasi kesehatan; dan informasi produk.
“Kalau Indonesia menerapkan juga, maka akan menjadi negara ke 26,” ujarnya.
Benget berpendapat standardisasi kemasan bukan hanya untuk menurunkan prevalensi merokok, melainkan juga perlindungan kesehatan.
Dia memaparkan risiko kesehtan akibat merokok meningkat. Saat ini, kata Benget, sebanyak 290.000 orang meninggal setiap tahun akibat perilaku merokok. Sebanyak 59,6 persen kematian akibat kanker trakea, bronkus, dan paru-paru.
“Faktor risiko merokok penyebab kematian terbesar ke-3 secara global dan ke-2 di Indonesia,” ucapnya.
Penulis: Ningsih
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post