Meskipun Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, kasus KDRT masih terus terjadi. Kasus terbaru yang dilaporkan adalah KDRT yang dialami seorang perempuan di salah satu hotel di Batam pada 11 September 2022, tetapi belum ada perkembangan pengusutan kasusnya meskipun sudah dilaporkan ke kepolisian.
Deputi Pelindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ratna Susianawati mengatakan kasus yang dilaporkan adalah kekerasan fisik dan psikis yang dipicu perebutan hak asuh anak.
“Kami prihatin atas kasus tersebut dan meminta kepolisin untuk mengusut tuntas agar korban bisa mendapatkan kepastian hukum dan merasa negara hadir dalam pelindungan dan pemenuhan hak korban,” kata Ratna melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id di Jakarta, Minggu (30/4/2023).
Menurut Ratna, polisi sulit membuktikan dugaan kekerasan fisik karena bukti dan saksi yang kurang meskipun berdasarkan visum et repertum terdapat luka lebam. Sedangkan dugaan kekerasan psikis masih memerlukan keterangan tambahan dari dokter kejiwaan.
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menyatakan bahwa masyarakat yang menyaksikan kasus KDRT dapat menjadi pelapor. Karena itu, Ratna mengajak masyarakat yang mengalami, mendengar, melihat, atau mengetahui kasus KDRT agar berani melapor ke lembaga-lembaga yang diberikan mandar oleh Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
“Laporkan ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak, penyedia layanan berbasis masyarakat, dan kepolisian untuk mencegah korban jatuh lebih banyak. Masyarakat juga dapat melapor melalui hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau WhatsApp 08111-129-129,” tutur Ratna.
Dalam kasus di Batam, kedua belah pihak yang terlibat memberikan keterangan yang berbeda. Namun, pakar hukum pidana Ahmad Sofian mengatakan status pengusutan kasus tersebut seharusnya sudah bisa ditingkatkan menjadi penyidikan dan terlapor ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan visum et repertum psikiatrikum dari dokter kejiwaan.
“Terkait dengan kekerasan psikis, sudah memenuhi syarat terlapor dinaikkan statusnya menjadi tersangka diperkuat bukti visum et repertum psikiatrikum dari dokter kejiwaan yang melakukan pemeriksaan kesehatan jiwa korban dan menyatakan terdapat kekerasan psikis yang menyebabkan korban mengalami trauma,” tuturnya.
Sofian mengatakan terlapor dapat dijerat dengan sanksi pidana atas dugaan perbuatan kekerasan fisik dan psikis sebagai diatur dalam Pasal 44 Ayat (1) dan/atau Pasal 45 Ayat (1) atau Ayat (2) Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Discussion about this post