Jakarta, Prohealth.id – Pasien tuberkulosis rentan mengalami disabilitas dan peningkatan tingkat keparahan jika mengalami kondisi malnutrisi.
Menurut dr. Sri Dhuny Atas Asri, Sp.P, FISR, MARS dari PDPI Jakarta, tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular yang menyerang paru-paru, akibat bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penderitanya berisiko kematian. Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terdapat 9.900.000 orang di dunia menderita TBC pada tahun 2021.
Saat ini Indonesia masih menempati posisi ketiga kasus TBC terbesar di dunia. Setiap jam, 11 orang di Indonesia meninggal dunia karena TBC. Sayangnya, kepedulian masyarakat terhadap penyakit ini tidak sebesar penyakit pernapasan lain seperti Covid-19.
“Namun, penyakit ini bisa disembuhkan dengan perawatan dan pemenuhan nutrisi yang tepat,” ungkap dr. Sri Dhuny, Kamis (24/3/2022).
Sementara itu menurut Ahli Gizi dr. Ida Gunawan, MS, Sp.GK(K), FINEM, jumlah estimasi dari insiden kasus TB paling sedikit sekitar 100.000 kasus baru per tahun 2020. Sebagai tiga besar negara dengan kasus TB tertinggi di dunia, dan kasus baru rerata 384.025 pada 2020, Indonesia menyumbang 8,5 persen dari kasus global.
“Penyakit TBC ini berkaitan erat dengan kondisi kemiskinan, malnutrisi, dan fungsi imunitas,” tutur dr. Ida.
TBC itu membutuhkan bukan sekedar terapi obat-obatan, tapi juga modifikasi gaya hidup. Oleh karena itu perbaikan pola sanitasi, pola istirahat dan aktifitas, serta pola makan adalah bagian suportif yang tidak bisa dilepaskan. Malnutrisi sendiri menjadi momok yang bisa memperburuk kondisi pasien TBC dan bisa meningkatkan angka kematian.
“Makanya TBC sendiri bisa menyebabkan penurunan berat badan dan defisiensi nutrisi makro dan mikro jadi balik lagi jadi malnutrisi,” sambung dr. Ida
Tak selesai sampai disitu, kondisi malnutrisi masih menyebabkan defisiensi imun sekunder risikonya adalah terinfeksi TBC lebih mudah atau kian parah. Tak heran jika sekitar seperempat kasus TBC baru global berkaitan dengan kekurangan gizi. Lalu pada gilirannya, TBC menimbulkan malnutrisi. Artinya, ada hubungan kausatif dua arah.
Terbukti, jumlah kejadian TBC dalam satu tahun adalah 3.219 orang alias 0,5 persen dari 624.562 responden, dan sebanyak 28,7 persen dari 3.219 penderita TBC di Indonesia berstatus gizi rendah (malnutrisi).
“Diet yang berfokus pada perbaikan jenis dan jumlah protein, membantu meningkatkan masa otot dan imunitas pasien TBC. Tak kalah penting pula, peran mikronutrisi seperti vitamin C, D, E, dan mineral, seperti selenium dan zinc juga berpengaruh pada fungsi paru dan membantu proses pemulihan,” ungkapnya.
Malnutrisi pada saat diagnosis TBC aktif merupakan predictor peningkatan risiko kematian dan kekambuhan TBC. Oleh karena itu, dukungan nutrisi merupakan komponen integral dari pengobatan dan perawatan TBC yang dilakukan melalui tahapan skrining, penilaian status gizi, dan manajemen atau terapi gizi. Sementara pada pasien TBC yang tidak mampu memenuhi asupan makanan secara adekuat, dapat dipertimbangkan untuk pemberian ONS dan pemberian suplementasi mikronutrisi.
FAKTOR MALNUTRISI
Product Management Kalbe, Apt. Kenny Kowira, S.Farm menjelaskan, malnutrisi pada penderita TBC disebabkan oleh efek samping pengobatan. Gejala umum pasien TBC adalah penurunan berat badan secara drastis dan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor; hilangnya nafsu makan, mual dan gangguan pencernaan, serta efek samping dari obat juga memperparah kondisi tersebut.
Kondisi malnutrisi ini harus diantisipasi mengingat proses pengobatan TBC memakan waktu minimal sampai 6 bulan. Obat-obatan TBC yaitu obat anti tuberkulosis (OAT) dapat menyebabkan gejala mual, muntah, hilang nafsu makan, hingga gangguan hati.
“Harus diingat walaupun ada efek samping dari OAT, efek samping akan ditangani namun pengobatan harus tetap dilanjutkan,” tuturnya.
Oleh karena itu, dia berpesan penting bagi keluarga dan kerabat untuk selalu mendukung pasien agar jangan putus asa bahkan sampai menghentikan pengobatan.
DUKUNG LEWAT KAMPANYE
Sementara itu, William Slater, Acting Mission Director USAID Indonesia menjelaskan, rangka memperingati Hari Tuberkulosis (TBC) Sedunia yang jatuh pada 24 Maret setiap tahunnya, Program Pengendalian Tuberkulosis Nasional Indonesia dan the U.S. Agency for International Development Tuberculosis Private Sector Project (USAID TBPS) meluncurkan kampanye nasional tuberkulosis dalam upaya mendorong lebih banyak orang melakukan deteksi dini, mencari perawatan TBC serta membantu penyedia layanan kesehatan untuk mempertahankan perawatan yang berkualitas tinggi bagi pasien saat merespon lonjakan Covid-19.
Apalagi menurut data Substansi TBC, dari 2017 hingga 2019 Indonesia telah membuat kemajuan yang stabil untuk menangani TBC dengan cakupan pengobatan meningkat dari 35 persen menjadi 67 persen.
Namun, pada tahun 2020 cakupan ini menurun lebih dari 40 persen dari 2019. Penyebab utama berkurangnya cakupan pengobatan adalah perubahan perilaku orang yang mencari layanan kesehatan karena stigma yang terkait dengan Covid-19. Selain itu, beban kerja tenaga kesehatan dalam menangani Covid-19, menjadi kendala dalam pelaporan kasus ke sistem informasi TBC.
Dengan dukungan dari Koalisi Organisasi Profesi untuk Tuberkulosis (KOPI TB) yang terdiri dari perwakilan 19 organisasi profesi dan 4 asosiasi fasilitas kesehatan, kampanye bersama #PeriksaBatukPeriksaTBC akan menyebarkan pesan tentang gejala TBC serta memperkuat peran tenaga kesehatan swasta dan fasilitas kesehatan dalam majemen kasus TBC di Indonesia.
Maka itu, dia menyebut peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia tahun ini mengingatkan segenap masyarakat bahwa meskipun penanganan pandemi Covid-19 masih mendominasi agenda nasional, namun penyakit menular mematikan lainnya seperti TBC tidak akan menghilang.
“Melalui USAID, pemerintah AS telah menginvestasikan lebih dari 5,4 juta untuk menggerakkan kembali sinergi melawan TBC di Indonesia serta mempertahankan progres menuju target eliminasi pada tahun 2030,” kata William.
Dia yakin, kampanye #PeriksaBatukPeriksaTBC ini akan berkontribusi untuk target Indonesia dalam menemukan tambahan 380.000 kasus TBC dan memberikan pasien TBC pengobatan TBC yang cepat dan berkualitas.
“Untuk itu, kami sangat antusias dapat mengambil bagian dalam kampanye TBC Nasional untuk mendorong orang mencari pengobatan TBC setiap kali mereka mengalami gejala dan juga memastikan perawatan TBC tanpa gangguan di fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia,” tambahnya.
Kampanye TBC nasional ini merupakan bagikan dari inisiatif Rencana Pemulihan TBC oleh USAID untuk mendukung program TBC nasional dalam mengatasi tantangan atas penurunan capaian dalam pengendalian TBC yang disebabkan oleh pandemi Covid-19.
Dr. Maxi Rein Rondonuwu, Direktur Jenderal Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Kementerian Kesehatan, mencatat bahwa Indonesia berupaya mencapai target insiden 2024 sebesar 190 per 100.000 orang dan menguranginya menjadi 65 per 100.000 pada akhir 2030.
“Indonesia harus melakukan semua yang dapat kita lakukan untuk melanjutkan progres hingga mencapai target pemerintah Indonesia untuk eliminasi TBC,” katanya.
Selain Direktur Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, hadir pula perwakilan Koalisi Organisasi Profesi Indonesia TB (KOPI TB), Muhammadiyah, Ikatatan Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), organisasi profesi, asosiasi fasilitas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan kabupaten juga akan mengikuti acara peluncuran kampanye ini.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post