Lebih dari 50 organisasi masyarakat mengumandangkan dukungan tersebut agar pemerintah tidak ragu lagi dalam melakukan kenaikan cukai rokok. Hal ini mengingat menjelang akhir tahun, ketika DPR sedang menggodok usulan kenaikan cukai, narasi-narasi penolakan terhadap kenaikan cukai rokok mencuat. Padahal hal itu bertentangan dengan asas kesehatan dan kesejahteraan publik.
Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) dan Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) sebagai pionir dari aspirasi ini bekerja sama dengan 59 organisasi massa dan menggelar konferensi pers yang bertajuk “Dukungan 59 Organisasi Massa pada Kenaikan Cukai Hasil Tembakau untuk Kendali Konsumsi”.
Meskipun hanya diwakili dengan 4 organisasi massa, tiap lembaga menyampaikan sudut pandang tentang urgensi kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau dan penyederhanaan strata tarif cukai rokok sebagai strategi yang paling efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia. Sikap tegas berbagai organisasi massa ini adalah mendorong agar harga rokok menjadi semakin mahal agar dapat melindungi seluruh lapisan masyarakat baik anak-anak maupun masyarakat miskin dari keterjangkauan rokok.
Studi PKJS-UI (2019) menunjukkan bahwa konsumsi rokok dalam rumah tangga mengakibatkan risiko stunting pada anak. Harga rokok yang masih murah menjadi salah satu penyebab prevalensi perokok di Indonesia masih belum terkendali. Artinya, rokok terbukti berdampak negatif terhadap kesehatan individu, menurunkan kesejahteraan keluarga, dan menjadi beban bagi negara.
Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2018) juga menunjukkan jumlah perokok dewasa di Indonesia masih sangat tinggi yaitu 62,9 persen, termasuk prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun yang meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.
Berdasarkan hasil studi Dartanto et al. (2020), efek harga (price effect) dan efek teman sebaya (peer effect) berhubungan dengan peluang seorang anak menjadi perokok. Efek harga rokok murah ini menjadikan anak-anak maupun kelompok masyarakat pra-sejahtera tidak berhenti merokok walaupun dalam kondisi perekonomian yang sedang sulit. Apalagi, saat ini rokok masih bisa dibeli secara batangan/ketengan.
Riset menemukan, anak usia sekolah sangat mudah membeli rokok batangan karena sebanyak 61,2 persen warung rokok berada pada radius kurang dari 100 meter di sekitar area sekolah, dengan harga rokok batangan yang dijual pun masih terjangkau oleh uang saku anak, yaitu pada kisaran Rp1.500 per batang. Pemerintah maupun masyarakat perlu segera menentukan sikap terkait harga rokok yang masih sangat murah di Indonesia.
Risky K. Hartono, Ph.D mewakili PKJS-UI juga menyampaikan bahwa kenaikan tarif cukai rokok dapat menjadikan harga rokok menjadi mahal, sehingga menjauhkan akses untuk anak dan masyarakat miskin. Risky menambahkan bahwa Pemerintah telah menyederhanakan strata cukai rokok dari 10 menjadi 8 golongan pada 2021. Namun, struktur tarif cukai rokok tersebut masih berjenjang dan rumit.
Adapun rokok golongan 2 yang memiliki tarif cukai lebih murah dibandingkan dengan rokok golongan 1. Kondisi ini menjadikan ada pilihan harga rokok yang lebih murah, sehingga harga rokok di pasaran menjadi bervariasi. Perokok juga dapat beralih ke rokok golongan 2 atau 3 karena memiliki selisih harga yang lebih murah dibandingkan rokok golongan 1 dan tidak memilih berhenti merokok.
“Kondisi ini juga belum sejalan dengan tujuan dari pengenaan cukai pada rokok sebagai pengendalian konsumsi rokok.”
Tulus Abadi, selaku Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menyampaikan pemerintah saat ini memiliki target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk menurunkan prevalensi perokok anak dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen di tahun 2024. Namun, program mulia pemerintah tersebut tidak akan tercapai apabila tidak ada upaya konkrit dari pemerintah salah satunya dengan menaikkan cukai rokok. Dia menegaskan, cukai merupakan salah satu instrumen perlindungan konsumen dari zat adiktif tembakau.
“Kebijakan Pemerintah menaikkan cukai rokok akan membuat harga rokok menjadi mahal dan sulit diakses oleh anak-anak maupun masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan visi pemerintah yaitu menciptakan kualitas Sumber Daya Manusia/SDM Indonesia yang unggul. Selain itu, menaikkan cukai rokok juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia dan mengurangi pengeluaran di bidang kesehatan kedepannya,” jelas Tulus.
Mewakili organisasi bidang kesehatan, Esti Nurjadin, S.H., M.Kn selaku Ketua Yayasan Jantung Indonesia mengatakan bahwa kebiasaan merokok merupakan salah satu faktor risiko penyakit jantung. Penyakit jantung dan kardiovaskular menjadi penyebab kematian terbanyak kedua di Indonesia setelah stroke, bahkan menjadi penyakit dengan klaim pembayaran BPJS tertinggi selama tahun 2018 yaitu sebesar 9,3 triliun.
Prevalensi penderita penyakit jantung juga meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini tentunya akan berdampak terhadap biaya kesehatan yang semakin naik yang harus ditanggung pemerintah. Mengutip data dari CISDI tahun 2021, negara harus menanggung beban ekonomi dengan biaya kesehatan sebesar Rp15,5 triliun pada tahun 2019 akibat penyakit karena rokok.
“Dari studi yang sama, alokasi maksimum Pajak Rokok Daerah dan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) untuk pendanaan Jaminan Kesehatan Nasional/JKN hanya sebesar Rp7,4 triliun. Artinya, kebijakan alokasi tersebut untuk belum cukup untuk menanggung biaya kesehatan akibat penyakit terkait rokok,” tambah Esti.
Untuk itu, dr. Hasbullah Thabrany, M.P.H, Dr.P.H mewakili Komnas Pengendalian Tembakau menyebut kenaikan cukai rokok merupakan win-win solution untuk menekan konsumsi sekaligus pendapatan negara, utamanya merupakan salah satu cara pemerintah memberikan perlindungan kepada anak-anak Indonesia. Bersama dengan 59 organisasi massa, dr. Hasbullah memberikan beberapa poin harapan dan usulan kepada pemerintah.
Pertama, pemerintah di tahun 2023 dapat menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) alias cukai rokok sebesar 20 persen, agar harga rokok tak lagi terjangkau terutama oleh anak-anak dan masyarakat miskin.
Kedua, kenaikan CHT yang diiringi dengan penyederhanaan golongan tarif yang agresif hingga 5 golongan di tahun 2023 dan berkurang di tahun-tahun berikutnya untuk memastikan efektivitas efek kenaikan tarif CHT.
Ketiga, pemerintah membuat peraturan CHT yang bersifat jangka panjang dan mengikat untuk memastikan target penurunan prevalensi perokok anak benar-benar tercapai.
Keempat, mitigasi risiko tetap dilakukan untuk memberikan perlindungan kepada petani dan pekerja yang terdampak.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post