Jakarta, Prohealth.id – Kepala Biro Komunikasi Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan temuan kasus depresi pada sejumlah calon dokter spesialis menjadi prioritas pemerintah saat ini.
Maka untuk menyelesaikan masalah kesehatan mental dari para calon dokter spesialis, pemerintah telah menunjuk Rumah Sakit Jiwa Marzoeki Mahdi sebagai penanggung jawab.
“Karena Rumah Sakit Jiwa Marzoeki Mahdi itu rumah sakit vertikal di bawah Kementerian Kesehatan,” ujar Nadia kepada Prohealth.id, Kamis (18/4/2024).
Kemenkes sudah berkoordinasi dengan RSJ Marzoeki Mahdi untuk melakukan tindak lanjut hasil skrining terhadap peserta calon dokter spesialis. Selanjutnya, RSJ Marzoeki Mahdi juga yang akan menghubungi pihak rumah sakit yang memiliki jumlah temuan kasus terbanyak untuk mengatasi persoalan tersebut. Sebut saja antara lain; Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Rumah Sakit Hasan Sadikin, Rumah Sakit Sardjito, dan Rumah Sakit Wahidin.
Dalam proses tindak lanjut, rumah sakit tersebut akan menghitung ulang skor depresi para siswa kedokteran spesialis. Proses selanjutnya melalui pemeriksaan dengan wawancara mendalam.
“Tujuannya untuk mencari faktor-faktor apa saja penyebabnya,” kata Nadia.
Setidaknya ada beberapa dugaan faktor penyebab depresi para calon dokter. Pertama, faktor pendidikan, faktor beban pelayanan karena calon dokter ini berbeban ganda, harus belajar dan memberi layanan. Faktor lainnya adalah masalah ekonomi karena peserta didik sebagian masih harus menghidupi keluarga dan membayar biaya pendidikan. Terakhir, indikasi faktor perudungan dari oleh lingkungan.
Nadia mengakui sebelumnya memang Kemenkes belum pernah melakukan skrining terhadap calon dokter spesialis. Oleh karena itu, kini Kemenkes berupaya melakukan skrining karena masih ada laporan terjadinya perundungan di kalangan calon dokter spesialis.
“Kami cuma mau melihat perundungan ini apakah bisa menjadi faktor gangguan kesehatan mental dari seorang peserta pendidikan dokter spesialis? Yang kemudian mendapatkan perlakuan perudungan pasti dia depresi.”
Akibat laporan tentang perundungan mengakibatkan depresi menjadi alasan Kemenkes melakukan survei atau kajian cepat ini. Dan ke depannya, kata Nadia, Kemenkes akan menunggu hasil rekomendasi tim RSJ Marzoeki Mahdi. Khususnya berkaitan dengan program skrining rutin kesehatan mental peserta didik dokter spesialis.
Pelayanan Tidak Terganggu
Ia menegaskan seseorang yang sedang sakit termasuk depresi tentu tidak optimal ketika menjalani kerja secara profesional. Oleh karenanya, para dokter pun perlu mendapatkan pengobatan. Untuk itu, Kemenkes akan berfokus untuk segera membantu para calon dokter spesialis yang sedang menempuh pendidikan agar tidak mengalami depresi berkepanjangan.
“Seharusnya saat menempuh pendidikan itu tidak menghasilkan suatu penyakit baru untuk individu,” jelas Nadia.
Rencana skrining dan wawancara tersebut akan dilakukan secara luring. Meski begitu, tak menutup kemungkinan menggunakan metode daring seperti telemedisin. Pilihan secara daring bertujuan agar tidak mengganggu jadwal pendidikan calon dokter spesialis tersebut. Dengan demikian layanan kesehatan untuk pasien tidak terganggu.
“Yang fokus kami adalah mereka yang terdeteksi atau pun terkategori secara skrining awal mengalami depresi harus mendapatkan pengobatan. Karena depresi ini akan berdampak pada dirinya.”
Untuk itu, Kemenkes akan memprioritaskan pemulihan bagi calon dokter spesialis dengan hasil skrining depresi berat dan yang terpikir untuk bunuh diri. Secara berkesinambungan, Kemenkes juga akan memetakan faktor pemicu depresi para calon dokter tersebut.
Kekurangan Dokter Spesialis Bukan Faktor Utama
Menurut Siti Nadia, siapapun rentan mengalami stres saat menjalani proses pendidikan tinggi. Tak terkecuali para calon dokter spesialis.
Berhubung Indonesia sangat membutuhkan penambahan jumlah dokter spesialis, maka Kemenkes akan mengupayakan pemulihan bagi para calon dokter spesialis tersebut.
Siti Nadia membeberakan, sebelum ramai temuan kasus depresi, faktanya Indonesia memang kekurangan dokter spesialis, terutama spesialis tingkat dua. Artinya, memang masih menjadi masalah di dalam penyediaan tenaga kesehatan.
Meski demikian, Siti Nadia menilai faktor kekurangan tenaga kesehatan spesialis ini bukan menjadi biang masalah depresi. Sekalipun jumlah dokter spesialis masih terbatas, jumlah sekolah dokter spesialis uga masuh terbatas, termasuk proses seleksinya yang juga cukup ketat.
“Makanya Kementerian Kesehatan mengupayakan adanya rumah sakit pendidik utama. Artinya pendidikan yang berbasis rumah sakit. Diharapkan ini yang akan bisa memenuhi jumlah kebutuhan dokter spesialis,” ujar Nadia.
Oleh karenanya Siti menjamin bahwa rumah sakit pendidikan tidak menyebabkan peserta didik menjadi depresi atau terganggu kesehatan mentalnya.
“Artinya, kekurangan itu memang sudah ada dan itu harus dipenuhi dulu. Tetapi dalam proses pendidikannya, kami harus tahu bahwa orang itu harus sehat jiwa dan juga harus sehat secara fisik.”
Namun tak menutup kemungkinan, kata Nadia, jika ada temuan proses pendidikan dokter spesialis terlalu berat dan berkontribusi pada masalah kesehatan mental, maka pemerintah akan mengevaluasinya.
“Nanti kalau banyak sekolah spesialis dibuka tetapi kemudian sistem pendidikan yang begitu berat sehingga orang jadi depresi otomatis juga akan mengurangi jumlah yang kita tekankan,” ungkapnya.
Secara terpisah, Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional, DR. dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ membenarkan pihaknya RSJ Marzoeki Mahdi yang akan memfasilitasi pemulihan depresi calon dokter sesuai arahan Kemenkes.
“Kami sepakat dengan Kemenkes,” ujar Pengurus Perhimpunan Dokter Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa ini kepada Prohealth.id.
Catatan: Jika seseorang berada dalam kondisi berbahaya yang mengancam keselamatan nyawa, segera telepon nomor layanan darurat 119 atau menuju ke IGD di RS terdekat.
Untuk hotline pencegahan bunuh diri di Indonesia yang aktif, hubungi :
LISA (Love Inside Suicide Awareness) Suicide Prevention Helpline:
Bahasa Indonesia +62811 3855 472
Bahasa Inggris +62811 3815 472
Layanan LISA tersedia 24 jam.
Penulis: Ignatius Dwiana & Syifa Maulida
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post