Jakarta, Prohealth.id – Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) meluncurkan penelitian mengenai “Perilaku Merokok Selama Pandemi Covid-19 dan Dampaknya Terhadap Kesejahteraan Keluarga” yang membuktikan adanya korelasi antara penurunan kesejahteraan keluarga akibat perilaku merokok yang meningkat.
Irfani Fithria Ummul Muzayanah, selaku tim tiset PKJS-UI) mengatakan studi ini bertujuan untuk melihat perilaku merokok selama pandemi Covid-19 dan dampaknya terhadap kesejahteraan keluarga secara holistik. Tidak hanya dari aspek kesehatan, tetapi dampaknya juga dilihat dari aspek kesejahteraan material dan kesejahteraan psikologis. Mengambil sudut pandang dari istri, selaku perokok pasif yang terpapar asap rokok di rumah, studi ini memberikan perspektif baru bagaimana rokok dapat membahayakan rumah tangga secara lebih luas dan dalam.
PKJS UI melakukan survei ini secara daring dan menyasar responden perempuan berwarga negara Indonesia yang memiliki suami perokok di rumah. Studi ini berhasil menjaring sebanyak 779 responden dari berbagai latar belakang sosio-demografi. Irfani menjelaskan, metode yang digunakan adalah metode purposive non-probability sampling. Data yang diperoleh dari survei daring tersebut kemudian dianalisis menggunakan metode statistik deskriptif.
Dia menyatakan studi ini memang menunjukkan tidak ada perubahan perilaku merokok yang signifikan pada periode sebelum dan saat pandemi, baik dari sisi kuantitas maupun intensitas merokok, termasuk responden yang berpendapatan rendah. Hal ini tidak hanya berpengaruh terhadap aspek kesehatan saja, tetapi juga dapat mempengaruhi aspek kesejahteraan materi dan psikologis keluarga.
TEMUAN PKJS-UI
Berdasarkan hasil survei, menunjukkan dari aspek intensitas merokok, mayoritas responden sebesar 62,4 persen menyatakan bahwa intensitas merokok suaminya tidak mengalami perubahan selama pandemi dibanding sebelum pandemi dan 13,9 persen menyatakan bahwa suaminya semakin sering merokok selama pandemi.
Temuan kedua, menurut kelompok pendapatan, proporsi responden dengan pada kelompok pendapatan terendah Rp5 juta ke bawah memiliki intensitas merokok yang sama dengan responden berpendapatan tinggi dengan kisaran Rp10-20 juta. Padahal, pada kelompok pendapatan rendah tersebut, mayoritas responden menyatakan bahwa kondisi keuangan mereka selama pandemi tergolong “kurang cukup”. Ditambah lagi, data hasil survei juga menunjukkan bahwa separuh responden pada kelompok pendapatan rendah tersebut sebanyak 50,86 persen, mengubah pilihan rokoknya dan beralih ke rokok yang harganya lebih murah.
Studi ini menegaskan perilaku merokok menyebabkan tercemarnya kualitas udara di lingkungan rumah dan membahayakan kesehatan anggota keluarga. Irfani menilai, harga rokok yang murah adalah salah satu faktor rokok mudah dijangkau. Oleh karena itu, menaikkan harga rokok yang dibarengi kebijakan pengendalian konsumsi rokok secara nonfiskal perlu dilakukan secara konsisten guna menekan keterjangkauan rokok.
Tingginya konsumsi rokok memang masih salah satu masalah global yang berlangsung secara terus-menerus. WHO pada 2020 memperkirakan setiap tahunnya sekitar 225.700 jiwa melayang akibat konsumsi rokok atau penyakit lain yang berkaitan dengan merokok. Ironisnya lagi, prevalensi merokok di kalangan remaja dan anak-anak juga turut menunjukkan tren yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan angka perokok anak meningkat dari 7,2 persen pada tahun 2013 menjadi 9,1 persen pada tahun 2018. Sementara, saat ini dunia juga sedang dihadapi dengan pandemi Covid-19 termasuk Indonesia yang turut memperburuk keadaan masyarakat yang utamanya rentan mengalami masalah saluran pernafasan. Dengan demikian, perokok akan lebih rentan mengalami gejala yang lebih parah jika terkena Covid-19 dibandingkan dengan yang bukan perokok.
TAWARAN SOLUSI
Irfani menyatakan bahwa studi ini melihat dampak perilaku merokok terhadap tiga aspek kesejahteraan keluarga. Pertama, dari aspek kesehatan, lebih dari 48 persen responden merasa bahwa kebiasaan merokok suaminya memiliki pengaruh yang negatif terhadap kondisi kesehatan keluarganya baik istri itu sendiri, anak-anak maupun anggota keluarga lain yang tinggal serumah. Selain itu, lebih dari separuh responden yakni sebanyak 56 persen setuju bahwa kebiasaan suami merokok di rumah menyebabkan tercemarnya kualitas udara di lingkungan rumah.
Kedua, dari aspek kesejahteraan materi, 63 persen responden merasa pengeluaran suaminya untuk membeli rokok sangat besar dan hampir 50 persen responden juga merasa bahwa pengeluaran suami untuk membeli rokok telah menyebabkan berkurangnya alokasi anggaran rumah tangga untuk keperluan yang lain. Secara umum, 47 persen responden setuju bahwa kebiasaan merokok suami turut berkontribusi dalam menurunkan standar kualitas hidup rumah tangga mereka. Temuan ini menguatkan dugaan bahwa crowding out effect pada alokasi pengeluaran rumah tangga terjadi karena belanja rokok suami.
Ketiga, dari aspek psikologis, 65 persen responden merasa tidak tenang dan tidak bahagia dengan kebiasaan merokok suaminya. Sebesar 89 persen juga ingin suaminya berhenti merokok yang didorong rasa keberatan jika anak-anaknya akan mengikuti kebiasaan merokok suaminya.
Terkait perilaku merokok anak dalam keluarga, data hasil survei menunjukkan bahwa 6,14 persen anak responden adalah seorang perokok aktif. Ironisnya, 72 persen istri berpendapat bahwa anak-anaknya merokok karena mengikuti kebiasaan anggota keluarganya yang merokok, dalam hal ini orang tuanya, serta juga disebabkan alasan pergaulan atau ikut-ikutan teman.
Irfani menegaskan, hasil penelitian ini menunjukkan perlunya intervensi kebijakan, baik yang memengaruhi harga rokok maupun non-harga, karena kedua kebijakan tersebut bersifat komplementer, dan masing-masing memiliki peranan penting dalam pengendalian konsumsi rokok.
Oleh karena itu, penelitian ini memberikan beberapa rekomendasi kebijakan. Pertama, Kementerian Kesehatan perlu memperkuat inovasi layanan konseling maupun hotline untuk memberikan bantuan dan pendampingan bagi orang-orang yang ingin berhenti merokok dengan dukungan tenaga kesehatan professional.
Kedua, Kementerian Keuangan dapat menaikkan harga rokok melalui kenaikan cukai hasil tembakau (CHT), menaikkan harga jual eceran (HJE) minimum, dan penyederhanaan strata tarif CHT untuk menekan keterjangakauan pembelian rokok. Langkah ini tentu saja juga harus didukung secara terusmenerus oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bekerja sama dengan DPR untuk membuat suatu road map bersama yang mendukung kenaikan cukai hasil tembakau (CHT), menaikkan harga jual eceran (HJE) minimum, dan penyederhanaan strata tarif CHT.
Ketiga, langkah bersama antara Kemenko PMK, Kementerian Kesehatan, Bappenas, dan DPR RI untuk mendukung revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012 mengenai pelarangan penjualan rokok secara batangan (ketengan) serta mendorong dikeluarkannya kebijakan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Perdagangan untuk pelarangan penjualan ini.
Penulis: Irsyan Hakim
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post