Pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir beriringan dengan berbagai masalah Penyakit Tidak Menular (PTM) yang tak kunjung tuntas. Apalagi, beberapa waktu terakhir makin banyak jenis penyakit baru yang menghantui kesehatan masyarakat dunia. Kondisi ini diperparah dengan perang yang terjadi di beberapa belahan dunia, sebut saja, Ukraina dan Rusia.
Dikutip dari siaran pers Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), otoritas kesehatan di Ukraina bersama WHO berupaya dalam enam bulan terakhir untuk menciptakan sistem kesehatan kembali tangguh dan kuat.
Menurut Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO menjelaskan, selama enam bulan dari Februari sampai Agustus 2022, adalah bulan-bulan yang cukup melelahkan, karena sistem kesehatan yang lumpuh dan berimbas pada sistem kesehatan masyarakat Ukraina. Padahal saat ini sangat dibutuhkan layanan kesehatan untuk masyarakat yang terluka selama perang.
“Selama perang ini, sistem kesehatan memang lumpuh. Oleh karena itu, WHO dan Kementerian Kesehatan Ukraina mencoba membangkitkan jasa kesehatan yang selama ini terbengkalai selama perang. Selain itu, kami juga meningkatkan kualitas tenaga kesehatan, infrastruktur, yang mana keduanya paling berperan agar Ukraina segera pulih,” tuturnya. Adapun beberapa fasilitas yang sudah diberikan antara lain; ambulans, tabung oksigen, power generator, termasuk fasilitas untuk instalasi gawat darurat, trauma, dan operasi bedah, serta pengobatan untuk mengatasi penyakit tak terdeteksi atau noncommunicable diseases (NCDs).
Menurut Dr. Hans Henri P. Kluge, Direktur Regional WHO Wilayah Eropa, penyerangan ketika perang yang ditujukan pada sistem kesehatan adalah tindakan yang di luar logika. “Tindakan ini bukan hanya mencederai hukum kemanusiaan, tetapi juga membunuh masyarakat sipil, penyedia jasa kesehatan, dan menghambat pelayanan sistem kesehatan kepada mereka yang paling membutuhkan,” ujar Dr. Hans.
Oleh karena ini, sepanjang tahun ini WHO telah melatih lebih dari 9000 tenaga kesehatan untuk mengatasi bedah, trauma, diagnosa laboratorium, bidang epidemiologi, dan farmasi. Selain itu, masalah kesehatan mental, manajemen stres, juga menjadi fokus utama bagi tenaga kesehatan dan masyarakat terdampak jika mengalami gangguan psikologis.
Sementara itu, Dr. Jarno Habicht, Perwakilan WHO di Ukraina menambahkan, WHO dan Kementerian Kesehatan di Ukraina juga melakukan upaya-upaya peningkatan skill bagi tenaga kesehatan. Hal ini mengingat masih banyak tantangan yang mengintai di tengah masyarakat, khususnya akibat meningkatnya kesenjangan sosial, serta makin rentannya anak, lansia, dan perempuan.
Bagaiman dengan Indonesia?
Meski tidak mengalami perang, kondisi sistem kesehatan di Indonesia juga sangat terdampak akibat pandemi. Apalagi selain fokus pada penanganan pandemi Covid19, pada saat yang sama pemerintah melalui Kementerian Kesehatan juga dihadapkan pada penanganan Penyakit Tidak Menular (PTM).
Berangkat dari gagasan ini, Kementerian Kesehatan menyusun langkah konkrit dengan melakukan transformasi sistem kesehatan yang fokus pada 6 pilar, salah satunya transformasi layanan rujukan yang bertujuan untuk mendekatkan akses layanan kesehatan kepada masyarakat.
Sebagai wujud transformasi layanan rujukan, Kementerian Kesehatan mengembangkan layanan unggulan dan jejaring pelayanan rujukan untuk penanganan empat penyakit tidak menular yakni stroke, kanker, jantung dan ginjal yang jumlahnya terus meningkat serta menjadi penyebab utama kematian dan berkontribusi pada besarnya biaya kesehatan.
“Fasilitas pelayanan kesehatan yang ada saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan layanan kesehatan terhadap penyakit katastropik terutama di Daerah Terluar, Pedalaman dan Kepulauan (DTPK). Kita perlu dorong, karena pelayanan rujukan rumah sakit sangat penting untuk masyarakat,” kata Wakil Menteri Kesehatan, dr. Dante Saksono Harbuwono.
Untuk layanan penyakit jantung misalnya, sekarang ini belum banyak kabupaten/kota yang mampu melakukan pemasangan ring jantung. Tak jarang pasien harus menunggu dalam jangka waktu yang lama bahkan ada juga yang memilih berobat ke luar negeri.
“Transformasi Ini harus segera kita lakukan untuk mempermudah akses masyarakat terhadap layanan kesehatan di Indonesia. Sehingga masyarakat tidak perlu lagi mengantre lama demi bisa berobat,” kata dr. Dante.
Dia berharap, melalui transformasi ini, sebanyak 514 kabupaten/kota ditargetkan memiliki RS yang mampu melakukan pelayanan kesehatan untuk keempat penyakit tersebut. Visi mempercepat cakupan pelayanan rumah sakit untuk 4 penyakit katastropik sedang dilakukan dengan mendekatkan layanan kesehatan kepada masyarakat.
“Kita targetkan 34 provinsi memiliki minimal 1 RS tingkat paripurna atau utama dan 507 kabupaten/kota memiliki minimal 1 RS tingkat menengah,” ujarnya.
Demi mencapai target tersebut, pengembangan layanan rumah sakit akan dilakukan bertahap. Tahap pertama, progresnya ditargetkan mencapai 50 persen di tahun 2025, sedangkan tahap kedua ditargetkan rampung 100 persen di tahun 2027.
Guna mencapai target tersebut, dr. Dante menekankan bahwa pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Sehingga dibutuhkan komitmen dan kolaborasi lintas sektor termasuk sektor swasta untuk membantu pemerataan akses dan peningkatan pelayanan kesehatan yang lebih optimal.
Dengan demikian, banyaknya rumah sakit swasta dengan sumber dayanya diharapkan dapat berperan aktif untuk mendukung program pemerintah yakni mengembangkan center of excellence dan mengembangkan layanan prioritas kardiovaskular, kanker, stroke dan uronefrologi.
“Kita perlu perkuat dalam kerangka penyediaan layanan kesehatan yang bermutu, berkualitas dan mudah diakses masyarakat,” ungkapnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post