Jakarta, Prohealth.id – Ekonom Universitas Gadjah Mada Gumilang Aryo Sahadewo menilai pentingnya kajian penghidupan petani tembakau maupun yang sudah beralih tanam.
Tahun 2016, termasuk masa yang tak menguntungkan para petani tembakau. “Curah hujan lebih tinggi di atas rata-rata, bukan masa tanam yang ideal,” katanya saat seminar daring bertema Penghidupan Petani Tembakau dan Kebijakan Pendukung di tengah Pusaran Kebijakan Cukai, pada Jumat, 27 November 2021.
Gumilang menghimpun perbandingan itu bersumber tiga gelombang riset, yaitu pada 2016, 2017, 2019. Tahun 2016 memang bukan waktu yang menguntungkan untuk menanam tembakau. Namun, keadaan agak berbeda pada tahun selanjutnya. Pada 2017, tembakau yang terjual bisa meningkat dari 200 kilogram menjadi 450 kilogram. Peningkatan sebesar 26,5 persen itu berkisar tahun 2017 hingga 2019.
Penelitian itu menyurvei para petani di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Adapun penelitian kedua dan ketiga berfokus pada petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Jawa Tengah, yaitu Magelang dan Temanggung. Di Jawa Timur, yaitu Lumajang, Jember, Bojonegoro.
Soal harga tembakau, diketahui meningkat 20,19 persen pada 2016 hingga 2017. Harga tembakau turun sebesar 24,29 persen pada 2017 hingga 2019. “Betapa fluktuatif harga tembakau tahun 2016 dipengaruhi cuaca yang kurang baik,” ucap Gumilang.
Dari data itu ketika tahun 2017 dan 2019 saat cuaca baik, harga tembakau cenderung turun. Harganya mendekati pada 2016. Padahal, tahun 2016, bukan masa tanam yang ideal, tersebab faktor cuaca. “Kualitas tembakau tidak sepenuhnya bisa menjelaskan kenapa harganya itu kemudian meningkat dan turun,” ujarnya.
Menurut Gumilang, yang penting diamati struktur pasar yang dikuasai entitas pihak yang membeli tembakau. Hal itulah yang memengaruhi daya tawar petani. Dia mengatakan, walaupun ada peningkatan pendapatan petani, namun perlu menelaah masalah pendapatan petani tembakau tak sama menguntungkan dengan yang sudah beralih tanam.
“Petani tembakau biayanya habis terutama untuk pupuk, pestisida dan transportasi ke pasar,” katanya.
Komponen biaya itu makin besar lagi jika ditambah tenaga kerja. “Bertani tembakau adalah kegiatan yang padat karya. Tenaga pertanian itu ada anggota keluarga dan yang selain itu,” ucapnya. Problem itu jarang diperhitungkan.
Ketika kenaikan cukai rokok mulai digenjot, sering muncul narasi kontra terhadap kebijakan pengendalian tembakau. Kenaikan cukai memengaruhi masalah ketenagakerjaan di sektor tembakau, termasuk petani. “Penting analisis dinamika penghidupan petani tembakau antara (rentang) waktu. Dan, komparasi penghidupan petani tembakau dengan mantan petani tembakau,” katanya.
Istanto, 60 tahun, salah satu warga Desa Candisari, Windusari, Magelang, dulu ia petani tembakau. Bertani tembakau tak lagi menguntungkan ketika pancaroba. Pendapatan dari tembakau pun merosot, sehingga ia memutuskan untuk beralih menanam ubi jalar sejak 2013.
Warga di desanya pun mulai mencoba bertani ubi jalar, termasuk menanam sayuran dan kacang-kacangan. Sekarang pola bertani tumpang sari itu terus dilakukan warga di sana. Warga tak mengikuti masa panen raya, mereka menerapkan pola berbeda.
“Pola panen tiap hari mengatur petani bergiliran menanam untuk menjaga harga supaya tidak anjlok,” kata Istanto. Pola panen tiap hari dianggap bisa memaksimalkan pemasaran ubi dengan harga yang optimal.
“Petani tetap untung, kalau pun nanti ada turun harga itu sudah diantisipasi,” ujarnya.
Penulis: Bram Setiawan
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post