Tidak mudah untuk mengubah suatu kebiasaan yang ada selama bertahun-tahun lamanya. Sebelum kita kenal wajah perkeretaapian saat ini, moda transportasi ini selalu menjadi pemberitaan di media massa sebagai transportasi yang berdesak-desak, banyak calo tiket, dan sangat berbahaya karena banyak penumpang duduk di atas peron.
Namun, mulai tahun 2009, sejak berada di bawah kepengurusan Ignasius Jonan, PT Kereta Api (PT KAI) mulai disiplin berbenah diri dan lebih profesional. Selain memperbaiki layanan, seperti tiket, gerbong kereta api, PT KAI juga mempertegas aturan kawasan tanpa rokok.
“Sebelumnya, PT Kereta Api itu kondisinya memang sangat memprihatinkan. Penumpang kereta api naik kereta api ekonomi itu sangat berdesak-desakan, berjubel, bahkan merokok dengan seenaknya dalam kereta,” jelas Suparno, Direktur SDM dan Umum, PT KAI, pada acara Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) 2022 secara daring, bulan Mei 2022 lalu.
Ia mengatakan bahwa dulu penumpang memang boleh dan bisa merokok secara bebas tidak hanya di lingkungan stasiun, tetapi juga di dalam kereta api.
Untuk menanggulangi ini, pihak direksi mengeluarkan aturan dilarang merokok pada tahun 2012. Aturan ini merupakan turunan dari peraturan bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri tentang pedoman pelaksanaan kawasan tanpa rokok tahun 2011 dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
“Sejak saat itu, terjadilah kegiatan mengubah semua tata kelola, semua budaya baik penumpang maupun lainnya untuk mengubah mereka untuk mengikuti apa yang seharusnya yang terkait untuk layanan di kereta api,” jelas Suparno.
Beberapa peraturan juga muncul untuk mendukung pelaksanaan kawasan tanpa rokok ini, seperti larangan merokok di semua rangkaian kereta api pada tahun 2014, hingga sanksi yang dikeluarkan bagi para pelanggar pada tahun 2015.
Suparno mengatakan bahwa implementasi peraturan ini menjadi kunci dari kesuksesan mereka. “Implementasinya memang kami sangat kuat, ya. Jadi, penumpang yang tadinya itu merokok di dalam kereta gerbong kemudian di peron stasiun bahkan di luar yang seharusnya tidak tepat untuk merokok akhirnya tidak jadi merokok,” tambahnya.
Beberapa tindakan yang mereka lakukan untuk menegakkan peraturan, jelas Suparno, antara lain, secara persuasif, secara lisan, bahkan yang ketat, yaitu menurunkan penumpang.
“Jadi, kami sudah melakukan tindakan-tindakan baik secara persuasif bahkan sampai tindakan yang tegas, yaitu menurunkan penumpang yang kedapatan merokok diturunkan di stasiun yang terdekat,” jelasnya. “Ini adalah upaya kami maksimal supaya para penumpang mengikuti aturan yang berlaku oleh pemerintah.”
Lebih lanjut, ia mengatakan mereka juga melakukan pengelolaan kawasan dilarang merokok di lingkungan stasiun kereta api. “Kita lakukan pemasangan larangan merokok di stasiun di berbagai tempat. Hanya ada tempat-tempat yang diperbolehkan lokasi smoking area dan itupun tempat kami pilih ke tempat yang agak jauh dari posisi untuk penumpang umum sehingga bagi mereka yang merokok akan diberi ruang khusus tetapi mayoritas ruangan itu bebas dari asap rokok,” jelasnya.
Kedua, mereka secara konstan memberikan pengumuman audio terkait kawasan larangan merokok di areal stasiun kepada para penumpang. “Bahkan, kita peringatkan bahwa nanti akan dengan tegas diturunkan [dari kereta api],” tandasnya.
Selain dari berbagai pengumuman, PT KAI juga melatih personil-personil keamanan stasiun untuk bisa menindak para perokok di sembarang tempat. “Personil kami siapkan kami latih, yang merupakan polisi khusus, yang mengawal semua perilaku penumpang sesuai dengan aturan,” jelasnya. “Ia melakukan pengawasan baik itu di stasiun maupun di kereta, ada kontrol. Mereka patroli melihat bagaimana perilaku penumpang di stasiun.”
Ia mengatakan patroli ini memberikan efek langsung dan membuat perilaku para penumpang berubah drastis. “Dari yang semula biasa-biasa saja merokok, tanpa khawatir, lalu ada petugas-petugas yang menegur bahkan berani menurunkan, perubahan yang kami lihat cukup drastis,” jelas Suparno. “Saat ini, para penumpang kereta api sangat tertib ketimbang terdahulu, terutama untuk urusan dilarang merokok.”
Kawasan Tanpa Rokok masih rendah
Berdasarkan data BPJS tahun 2015, jumlah kasus penyakit terkait tembakau seperti jantung stroke dan kanker terhadap 17,5 juta kasus dengan biaya lebih dari Rp16,3 triliun. Paparan asap rokok di rumah dan di tempat-tempat umum yang dihirup perokok pasif (secondhand smokers) dapat mengakibatkan dampak kesehatan yang cukup signifikan pada kesehatan dunia. Setidaknya ada 8 juta kematian yang disebabkan oleh asap rokok dan 1,2 juta kasus di antaranya terjadi pada perokok pasif.
“Tak hanya itu, paparan asap rokok juga dapat menempel dan meninggalkan residu di baju, ruangan, maupun lingkungan sehingga memberikan dampak bahaya bagi orang lain. Sebagian besar Indonesia menjadi perokok pasif dengan terpapar asap rokok di rumah dan di tempat-tempat umum. Hal ini mengindikasikan bahwa rokok dan paparan asap rokok sudah sampai pada lingkungan yang tingkatannya mengganggu untuk kepentingan umum masyarakat,” jelas Maxi Rein Rondonuwu, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalan Penyakit, Kementerian Kesehatan.
Untuk mencegah hal ini, pemerintah sudah melakukan intervensi bagi perlindungan terhadap masyarakat dari paparan rokok, lanjut Maxi. Salah satunya adalah menerapkan kawasan tanpa rokok (KTR) yang sesuai dengan UU Nomor 36 tahun 2009 dan PP 109/2012 bahwa pemerintah daerah berkewajiban untuk menerapkan KTR di wilayahnya, yaitu di fasilitas pelayanan kesehatan, tempat belajar mengajar, tempat bermain anak, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum lainnya yang ditetapkan.
Sampai saat ini, terdapat 332 kabupaten kota di Indonesia atau 64,6 persen yang sudah memiliki peraturan daerah terkait KTR.
Meskipun sudah ada KTR, sayangnya, kepatuhan terhadap pelaksanaannya masih sangat rendah. Hal ini disampaikan oleh Sabita Karapan, technical officer dari The Union Asia Pacific, sebuah lembaga nirlaba yang berfokus pada pencegahan penyakit paru-paru dan tuberkulosis, dalam cara yang sama.
Dari hasil survei 19010 venue di 45 kota/kabupaten yang memiliki perda KTR, yang dilakukan sejak April 2019 hingga Maret 2020, hasilnya masih belum menggembirakan.
Secara keseluruhan, kepatuhan terhadap KTR asih rendah, terutama di sektor hospitality, seperti karaoke, klub malam dan bar. “Dalam venue-venue tersebut, tidak ada signage larangan merokok yang menjadi faktor utama ketidakpatuhan,” jelas Sabita.
Untuk venue lainnya, seperti tempat kesehatan, sekolah, tempat ibadah, perkantoran, tempat perbelanjaan, dan transportasi publik, juga tercatat masih rendah, lanjutnya. “Tingkat kepatuhan hanya 20,8 persen dari 19010 venue di 45 kota/kabupaten, sementara kepatuhan untuk ‘no smoking’ signage hanya 29,2 persen,” papar Sabita.
Ia pun mendorong para pemerintah daerah untuk memasang tanda dilarang merokok pada KTR dan menagih akuntabilitas dari para pemilik gedung. Lebih lanjut, ia menyarankan untuk meningkatkan kapasitas bagi para lembaga di daerah, menggelar inspeksi atau monitoring bulanan atau empat bulanan, hingga adanya sistem reward dan punishment.
Sementara itu, Elvieda Sariwati, Plt. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan, menyatakan bahwa pandemi memang masih menjadi kendala tercapainya target penyusunan perda terkait KTR di berbagai daerah. Selain itu, ia membeberkan beberapa kendala lainnya, seperti rendahnya niatan politis, penerapan KTR yang belum maksimal, perlu adanya peraturan menteri untuk memperkuat pelaksanaan, penguatan database, hingga pembiayaan di daerah.
Ia mengimbau agar daerah-daerah yang belum memiliki peraturan daerah terkait KTR untuk segera menyusunnya sesuai dengan surat edaran dari Kementerian Kesehatan per tanggal 22 April 2022 yang lalu.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post