Jakarta, Prohealth.id – Prof. Dr. drg. Ira Tanti, Sp.Pros., Subsp OGST(K) menyampaikan gangguan sendi temporomandibular (GSTM) atau temporomandibular disorders (TMD) dalam pidato pengukuhan guru besar di Balai Sidang, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 6 Mei 2023 lalu.
Dalam pengukuhan guru besar ini, Prof. Ira memaparkan kajian tentang pasien temporomandibular merupakan sekumpulan gejala klinik yang melibatkan otot-otot pengunyahan, sendi temporomandibula, atau kedua-duanya. Gejala yang dirasakan penderita biasanya lebih dari satu, yang dapat mengakibatkan disabilitas dan keterbatasan aktivitas akibat adanya nyeri serta gangguan fungsi, sehingga menyebabkan kualitas hidup pasien menurun.
Ia menyatakan, pendekatan terapi yang diberikan pada penderita TMD sebagian besar hanya meringankan gejala yang ada dan tidak menyembuhkan penyakitnya. Dengan demikian, terapi yang diberikan kepada penderita kurang maksimal, sehingga kemungkinan terjadi rekurensi menjadi besar.
“Saat ini, semakin banyak pasien yang datang dengan berbagai keluhan TMD dan mencari pengobatan, jika tidak ditangani dengan tepat gangguan ini akan menjadi semakin parah yang akhirnya mengganggu kualitas hidup,” ujar Prof. Ira melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id.
Prof. Ira menekankan bahwa penyebab gangguan sendi rahang kompleks dan multifaktorial, antara lain trauma, stres emosional, deep pain input, kebiasaan buruk dan aktivitas parafungsional, maloklusi, faktor hormon, dan faktor genetik.
Pada praktik sehari-hari, seringkali dijumpai pasien mempunyai kebiasaan buruk yang dilakukan tanpa disadari, seperti mengunyah satu sisi, menggeretakkan gigi (clenching dan grinding), mengunyah permen karet yang berlebihan, postur tubuh yang salah dan kebiasaan buruk lainnya disertai faktor psikologis yang dapat menjadi faktor pemicu terjadinya gangguan sendi rahang.
Menurut penelitian yang pernah dilakukan Prof. Ira dan tim pada 2017 menyatakan bahwa sesorang yang mengalami stres mempunyai risiko terjadinya TMD 25,044 kali lebih besar daripada seseorang yang tidak mengalami stres.
Mengenali penyebab nyeri dan disfungsi yang berkaitan dengan gangguan sendi rahang adalah penting untuk memandu terapi yang diberikan. Selain itu, pada pasien dengan gejala TMD tanpa penyebab fisik yang jelas, yang juga menderita komorbiditas psikologis, sebaiknya diterapi secara multidisiplin dengan konseling dan intervensi psikologi.
Lebih lanjut Prof. Ira menyampaikan beberapa gejala non-spesifik yang sering dilaporkan oleh pasien adalah nyeri kepala, nyeri telinga, tinnitus, nyeri leher dan bahu. Namun, karena gejala ini tidak dianggap spesifik diagnostik untuk TMD, kemungkinan penyebab lainnya harus dicari dan dihilangkan. Untuk itu, terapi multidisiplin pada penderita TMD sangat diperlukan, baik secara intradisiplin maupun interdisiplin, seperti bekerja sama antara dokter gigi spesialis prostodonsia dengan dokter gigi spesialis bedah mulut, konservasi, penyakit mulut, dokter spesialis THT, dokter spesialis saraf, dan lain-lain.
“Dengan meningkatnya kasus TMD, praktisi dokter gigi perlu memahami TMD secara komprehensif dan melakukan sosialisasi faktor-faktor yang dapat menjadi pemicu terjadinya TMD kepada masyarakat dalam usaha pencegahan TMD dan peningkatan kualitas hidup penderitanya. Kolaborasi perawatan dan penelitian dengan praktisi berbagai ilmu kedokteran gigi dan kedokteran spesialis serta bidang ilmu lainnya perlu ditingkatkan untuk terus menjadi penyedia perawatan utama bagi penderita TMD,” sambung Prof. Ira.
Ia juga menambahkan, perlunya dukungan terhadap usaha tersebut dari peran sentral Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) sebagai penentu kebijkan untuk memaksimalkan perawatan TMD sebagai faktor yang perlu diperhatikan.
Melalui penelitiannya yang berjudul “Temporomandibular Disorders: Pendekatan Multidisiplin Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Kualitas Hidup” ini, Prof. Ira berhasil menjadi Guru Besar Tetap dalam Ilmu Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) UI.
Asal tahu saja, Prof. Ira berhasil menyelesaikan pendidikan sarjananya di FKG UI, pada 1993. Masih di kampus yang sama, ia mendapatkan gelar Spesialis 1 Prostodonsia pada 2005 dan berhasil meraih gelar Spesialis 2 di Kolegium Protodonsia. Lalu, gelar Doktor Ilmu Kedokteran Gigi telah didapatkannya di FKG UI, pada 2014.
Beberapa karya ilmiahnya dalam beberapa tahun terakhir, yakni Translation and Validation of the Dental Impact Daily Living Oral Health-related Quality of Life Questionnaire in Indonesia: Journal of International Society of Preventive and Community Dentistry (2022); Tatalaksana Penyakit pada Jaringan Keras dan Lunak Rongga Mulut pada Pasien Lansia dan Geriatrik (2022); Validation of the Indonesian version of the gradedchronic pain scale 2.0 in pain related temporomandibular disorders (2020); dan Association between Temporomandibular Disorders and Asymmetrical Articular Eminence (2019).
Pada prosesi pengukuhannya, dipimpin langsung oleh Rektor UI, Prof. Ari Kuncoro, SE, MA, Ph.D., dan disiarkan secara virtual melalui kanal YouTube Universitas Indonesia dan UI Teve. Dalam acara tersebut, tampak hadir Direktur RS Hermina Depok, dr. Lies Nugrohowati, MARS.; Direktur RS Hermina Mekarsari, dr. Douglas S Umboh, MARS.; Direktur RS Hermina Pekalongan, drg. Retno Windanarti, MARS.; Rektor Universitas Respati Indonesia, Prof. Dr. drg. Tri Budi W Rahardjo, M.S.; dan Guru Besar Universitas Padjajaran, Prof. Dr. dr. Kusnandi Rusmil, Sp.A(K).
Discussion about this post