Jakarta, Prohealth.id — Pemerintah masih gencar menggelar vaksinasi namun masyarakat koalisi tetap mengingatkan pentingnya vaksin berkembang dari masyarakat umum ke masyarakat adat dan kelompok rentan.
Hamid Abidin, Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia, salah satu perhimpunan nirlaba dan independen yang bergiat memperkuat aktivitas filantropi demi keadilan sosial dan pembangunan berkelanjutan menjelaskan, selain fokus pada masyarakat di kota-kota, pemerintah harus perbanyak vaksinasi bagi masyarakat yang berada di lokasi terpencil, minim akses informasi, atau menyandang disabilitas. Dia menilai hal ini bukan hal mudah dan banyak tantangan di lapangan.
Hamid mengungkapkan tantangan vaksinasi terutama adalah minimnya ketersediaan data yang terbarui dan terverifikasi. Program vaksinasi ini membuka mata kita mengenai betapa lemahnya ketersediaan data kependudukan kelompok disabilitas, masyarakat adat, warga di pedalaman, dan berbagai kelompok rentan lain.
“Karena itu, kami menyerukan agar pemerintah menggunakan program vaksinasi Covid-19 sebagai momentum untuk secara serius membenahi data kependudukan,” kata Hamid Abidin melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Kamis (2/9/2021).
Dalam diskusi Philanthropy Learning Forum, Hamid mengemukakan kesulitan mendapatkan data saat menggelar vaksinasi bagi masyarakat adat dan kelompok rentan.
Hamid memerinci bahwa ntuk masyarakat adat, saat ini belum ada data resmi yang menyebut berapa jumlah mereka. Saat ini, belum ada terminologi yang disepakati bersama siapa yang disebut masyarakat adat. Aturan tentang masyarakat adat, hingga kini masih dalam bentuk rancangan undang-undang. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memperkirakan jumlahnya kisaran 40-70 juta jiwa.
Data penyandang disabilitas yang ada di berbagai lembaga pemerintah juga bisa berbeda-beda dan entah data mana yang lebih akurat. Jika merujuk pada Sistem Informasi Manajemen Penyandang Disabilitas (SIMPD) Kementerian Sosial, jumlah penyandang disabilitas yang terekam per 13 Januari 2021 mencapai 209.604 orang. Namun, di sisi lain, Kementerian Kesehatan menargetkan jumlah penyandang disabilitas yang akan menerima vaksin hingga akhir tahun ini mencapai 564 ribu orang. Terdapat perbedaan yang cukup jauh, selisih 354.396, antara data disabilitas menurut Kementerian Sosial dan data target disabilitas penerima vaksin menurut Kementerian Kesehatan.
Keterbatasan dan kerancuan data ini menyulitkan koalisi masyarakat sipil yang mendorong penyelenggaraan vaksinasi bagi masyarakat rentan. Data yang dipasok Dinas Sosial di daerah, menurut Buyung Ridwan Tanjung, salah satu pendiri Organisasi Harapan Nusantara (OHANA), sering kali tidak valid. Data dari pemerintah biasanya adalah data lama, yang digunakan berulang kali ketika ada program untuk disabilitas, tanpa ada upaya memperbarui apakah seseorang telah meninggal atau pindah domisili.
“Karena itu, kami mengumpulkan data dari komunitas, yang secara langsung berinteraksi dengan penyandang disabilitas, orang per orang. Menurut pengalaman kami, data dari komunitas lebih mewakili situasi riil di lapangan,” kata Buyung.
Contoh pembaruan data dari komunitas terjadi saat program vaksinasi digelar di Bantul, Yogyakarta, pertengahan Agustus 2021. Ketika itu, OHANA mencatat keberadaan 119 penyandang disabilitas berdasar data yang dikumpulkan komunitas. Sementara data versi Dinas Sosial menunjukkan jumlah disabilitas di Bantul adalah lebih dari 300 orang. Pada kenyataannya, saat vaksinasi dilaksanakan, penyandang disabilitas yang benar-benar datang menjalani vaksinasi adalah mereka yang sesuai dengan data yang dihimpun komunitas.
Kasus serupa terjadi di Jember, Jawa Timur. Data dari pemerintah berbeda dari kenyataan di lapangan. “Alhasil, yang dipakai adalah data yang dikumpulkan oleh komunitas,” kata Hamid.
Pada Agustus lalu 15 penyandang disabilitas tanpa NIK di sebuah panti ODGJ di Tasikmalaya, Jawa Barat, awalnya tak mendapat vaksin saat kepolisian dan dinas sosial setempat menggelar vaksinasi. Namun setelah ada jaminan dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), baru petugas mau menyuntik mereka dengan vaksin.
Persoalan data yang tak memadai juga menimpa kelompok rentan di perkotaan. Menurut Timotheus Lesmana, Ketua Sentra Vaksinasi Serviam dan Wakil Ketua Dewan Penasihat Filantropi Indonesia (PFI), para pemulung–sebagai bagian dari kelompok rentan–belum terdata karena tidak memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Walau surat edaran dari Kementerian Kesehatan Nomor HK.02.02/III/15242/2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 bagi Masyarakat Rentan dan Masyarakat yang Belum Memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) berlaku, namun urusan di lapangan tidak serta-merta beres.
Ketika Timotheus dan tim Serviam keliling untuk menggelar vaksinasi di kalangan pemulung, banyak dari mereka yang tak punya NIK. “Tapi, saat vaksinasi dilaksanakan, petugas Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tidak ada yang hadir untuk mencatat warga tanpa NIK yang datang,” kata Timotheus Lesmana.
Tanpa kehadiran petugas Dinas Dukcapil, maka tak ada kepastian kelompok rentan yang datang untuk vaksinasi benar-benar bisa mendapatkan NIK. “Kami ingin data yang terkumpul itu dipantau. Kelompok rentan harus dipastikan mendapat NIK sebagai hak warga negara,” sambung Timotheus.
Keterbatasan data juga dialami masyarakat adat, Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Tak sedikit warga masyarakat adat yang tak memiliki NIK dan tak pernah memeriksakan kesehatan di puskesmas atau rumah sakit.
“Ada banyak warga yang seumur hidup belum pernah diperiksa di layanan kesehatan. Sehingga riwayat kesehatan mereka tak diketahui,” kata Rukka.
Metta Dharmasaputra, Co-founder dan CEO Katadata menilai program vaksinasi ini dapat menjadi momentum untuk memperbaiki data kependudukan. Selama ini, berbagai bantuan sosial dan program pemerintah lain tidak dapat berjalan optimal karena keterbatasan data. Pelaksanaan program vaksinasi seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk secara serius memperbaiki data kependudukan.
Demi mendorong capaian program vaksinasi, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksinasi bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan berkoordinasi menambal keterbatasan data melalui pengumpulan data dari berbagai komunitas. Gotong royong sangat dibutuhkan.
Jika persoalan data bisa diatasi, dikumpulkan oleh komunitas, maka pasokan vaksin bisa dicari. Misalnya dengan bekerja sama dengan TNI/Polri yang menjadi kuasa ketersediaan vaksin di daerah. “Tanpa ada data yang memadai, susah bagi kita untuk mendatangkan vaksin,” kata Metta.
Dia menegaskan harapan pendataan tidak bisa terlalu ditimpakan pada dukcapil setempat karena keterbatasan sumber daya. Koalisi berharap, berbagai organisasi berjejaring turun tangan mengumpulkan data komunitas rentan yang membutuhkan vaksinasi.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post