Jakarta, Prohealth.id- Koalisi organisasi masyarakat sipil mendorong pemerintah Indonesia untuk memastikan pemenuhan hak-hak kelompok rentan dalam draf Pandemic Agreement. Pengakuan kerentanan hingga pelibatan bermakna masyarakat dalam pencegahan dan respons pandemi menjadi salah satu masukan utama koalisi.
Pada 2-3 Mei 2024, sebanyak 16 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi bertemu di Jakarta untuk merumuskan sikap yang harus diambil pemerintah Indonesia dalam perundingan Pandemic Agreement di Jenewa, Swiss. Koalisi ini digagas dan dikoordinasikan oleh Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI).
Saat ini, negara-negara dunia sedang terlibat dalam perundingan Pandemic Agreement, yaitu perjanjian untuk memperkuat kerja sama antarnegara dalam pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi. Perundingan ini dinaungi sebuah badan yang merepresentasikan 194 negara anggota WHO bernama Intergovernmental Negotiating Body (INB).
“Pandemic Agreement menyangkut hajat hidup semua orang. Namun proses negosiasi utamanya hanya melibatkan pemerintah, sehingga kritik terbesar proses yang dilaksanakan INB adalah kurangnya pelibatan masyarakat sipil,” kata Founder dan CEO CISDI Diah Satyani Saminarsih.
Pada Februari 2023, INB sudah merilis rancangan awal atau disebut zero draft berjudul “WHO Convention, Agreement, or Other International Instrument on Pandemic Prevention, Preparedness, and Response” (WHO CA+ on PPPR). Rencananya, INB akan membawa draf terakhir mereka saat gelaran World Health Assembly ke-77 di Jenewa, Swiss, pada akhir Mei 2024.
Selama proses negosiasi berlangsung, koalisi organisasi masyarakat sipil di Indonesia mempunyai beberapa catatan perihal draf Pandemic Agreement. Koalisi berharap masukan yang sudah disampaikan kepada pemerintah setelah pertemuan pada awal Mei lalu bisa mendorong kesepakatan adil antarnegara dalam menghadapi pandemi berikutnya.
Pada prinsipnya, koalisi sepakat mendorong perwakilan Indonesia untuk mengupayakan posisi yang berasaskan prinsip kesetaraan (equity), inklusi sosial, dan responsif gender. Prinsip kunci ini hendaknya menjadi pertimbangan delegasi Indonesia untuk mewujudkan reformasi tata kelola pandemi global yang berkeadilan dan merefleksikan kebutuhan individu dan/komunitas terdampak, termasuk mereka yang berada di negara-negara dalam konflik.
“Ada hal yang terlewat atau menghilang dari Pandemic Agreement, yaitu tentang kesetaraan gender. Tidak disinggung dalam draf. Seolah-olah pandemi itu berdampak secara proporsional kepada semua kelompok,” kata Nur Jannah dari Yayasan Inisiatif Perubahan Akses menuju Sehat (IPAS), salah satu organisasi anggota koalisi.
Berikut beberapa catatan spesifik dari koalisi organisasi masyarakat sipil perihal draf Pandemic Agreement:
Pertama, koalisi mendesak definisi masyarakat rentan (persons in vulnerable situations) dalam draf Pandemic Agreement direvisi. Dalam draf yang ada saat ini, masyarakat rentan hanya disebutkan sebagai kelompok yang rentan mengalami infeksi. Koalisi berharap Pandemic Agreement bisa mengidentifikasi dengan rinci kelompok rentan berdasarkan faktor disabilitas, gender, status masyarakat adat, kelas sosial ekonomi, lokasi geografis, konflik dan lainnya. Revisi pada definisi masyarakat rentan ditujukan untuk memastikan klausul aksesibilitas responsif terhadap situasi dan kebutuhan kelompok rentan yang beragam.
Kedua, koalisi mendorong Pandemic Agreement dapat menjamin akses layanan kesehatan reproduksi, layanan kesehatan primer, dan kesehatan mental khususnya bagi perempuan dan minoritas gender selama pandemi.
Ketiga, koalisi mendorong ada keadilan akses terhadap obat, vaksin, alat kesehatan untuk pencegahan dan respons pandemi. Saat ini, masih ada ketimpangan relasi kuasa antara negara maju dengan berkembang yang mempengaruhi proses transfer teknologi kesehatan antarnegara. Koalisi mendorong muatan Pandemic Agreement dapat memastikan adanya keadilan akses terhadap teknologi kesehatan yang dapat membantu pencegahan dan respons pandemi.
Perundingan Pandemic Agreement semestinya dapat memutuskan mekanisme Pandemic Access and Benefit Sharing System (PABS), yaitu pemanfaatan sampel patogen serta peningkatan akses obat, vaksin, dan alat kesehatan menjadi adil, adaptif, dan responsif. Selama ini mekanisme PABS menjadi salah satu topik yang alot dibahas dalam perundingan. Negara maju enggan diwajibkan untuk memberikan obat, vaksin, dan alat kesehatan sebagai kompensasi terhadap negara berkembang yang telah memberikan sampel patogen. Sedangkan negara berkembang merasa bahwa mekanisme ini dapat memastikan keadilan akses terhadap obat, vaksin, dan alat kesehatan.
Dalam konteks lebih luas, koalisi mendorong negara-negara yang terlibat dalam perundingan sepakat untuk mengoptimalkan pemanfaatan pembiayaan yang bersumber dari berbagai fasilitas pendanaan global. Pandemic Agreement dapat mempererat peran Pandemic Fund sebagai platform pembiayaan global untuk pencegahan dan persiapan pandemi.
Di dalam negeri, koalisi memandang perlu adanya klausul tentang penguatan pembiayaan domestik untuk penguatan ketahanan sistem kesehatan nasional menghadapi pandemi. Instrumen pembiayaan inovatif termasuk di dalamnya, namun harus disertai dengan mekanisme pengawasan yang adekuat dan partisipatif. Misalnya, penggunaan mekanisme debt swap atau pengalihan utang untuk investasi sektor kesehatan oleh Global Fund yang dapat dimanfaatkan pemerintah Indonesia untuk memperkuat ketahanan sistem kesehatan.
Terakhir, koalisi melihat pentingnya klausul mengenai pembentukan komite implementasi dan kepatuhan yang independen sebagai bagian dari mandat Conference of the Parties (COP). Nantinya, komite tersebut juga harus memungkinkan masyarakat sipil dan kelompok rentan menjadi perwakilan yang mengawasi kepatuhan negara dalam penerapan Pandemic Agreement.
Koalisi telah menyampaikan sejumlah catatan tersebut kepada Kementerian Kesehatan dan Kementerian Luar Negeri. Melalui masukan ini, koalisi berharap pelibatan masyarakat sipil dalam upaya pencegahan dan respons pandemi tidak hanya sebatas formalitas.
Selain berkomunikasi dengan kementerian, CISDI akan membawa masukan koalisi masyarakat sipil ini lewat beberapa acara sampingan (side events) tingkat global yang diselenggarakan di Jenewa, Swiss.
Dua acara sampingan berupa diskusi diselenggarakan secara luring pada 28 dan 29 Mei 2024. Acara pertama membahas kondisi global dalam mencapai target kesehatan untuk semua (universal health coverage atau UHC) pada 2030. Adapun diskusi kedua membahas pelibatan masyarakat sipil secara global dalam tata kelola sektor kesehatan.
Koalisi berharap pemerintah Indonesia dapat menyampaikan masukan-masukan ini dalam dalam proses negosiasi yang akan berakhir pada 24 Mei mendatang. Menengok pembelajaran dari pandemi, sudah sepatutnya Pandemic Agreement menjadi prioritas utama pemerintah saat ini serta diteruskan oleh pemerintahan berikutnya karena menyangkut keberlangsungan kesehatan dunia.
Editor: Irsyan Hasyim
Discussion about this post