Jakarta, Prohealth.id – Laporan terbaru dari organisasi pengawas industri tembakau Stopping Tobacco Organizations and Products (STOP) menjelaskan, bahwa industri tembakau mengambil peluang semasa pandemi virus corona (Covid-19) untuk memengaruhi kebijakan, seperti yang tertulis dalam siaran pers Every Country Affected: The Tobacco Industry Used the COVID-19 Pandemic to Build Influence With Governments in 80 Countries.
Keseluruhan laporan yang telah dianalisis oleh Global Tobacco Industry Interference Index 2021, menunjukkan bahwa industri berupaya menggunakan lobi dan donasi untuk mengaitkan respons terhadap pandemi. Head of Global Research and Advocacy for the Global Center for Good, Mary Assunta menjelaskan, bahwa kesehatan yang seharusnya menjadi pertimbangan utama semua kebijakan semasa pandemi, itu sering dikesampingkan demi kepentingan komersial industri. “Biaya kesehatan lebih tinggi dan pendapatan pajak yang berpotensi lebih sedikit untuk mendanai pemulihan,” katanya.
Setidaknya ada sekian jumlah negara yang pemerintahnya menganggap penting industri tembakau atau rokok untuk upaya pemulihan ekonomi semasa pandemi, di antaranya Bangladesh, Brasil, Yordania, Malaysia, Selandia Baru, Peru, Sudan. Adapun seluruh negara yang belum menandatangani Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau (FCTC), yaitu Argentina, Dominika, Indonesia, Swiss, Amerika Serikat.
Seharusnya, kata Assunta, Pemerintah harus meminta industri supaya tidak ikut campur dalam kebijakan. “Sudah saatnya (juga) semua negara melarang kegiatan CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) terkait (industri) tembakau,” ujarnya.
Sampai sekarang Indonesia memang belum menandatangani FCTC, artinya belum ada lagi hal yang memperkuat aturan hukum terkait pengendalian tembakau. “Kalau sudah meratifikasi itu (FCTC), ketika pemerintah mau menyusun kebijakan tidak boleh duduk satu meja dengan pabrik rokok. Jadi, tegas garis pemisahnya,” kata ekonom Faisal Basri.
Tapi pun, kenaikan cukai agaknya salah satu upaya konkret yang bisa terus dilakukan untuk mendorong harga rokok makin mahal. Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Dartanto menjelaskan, bahwa konsumsi rokok akan menurun jika ada kenaikan cukai. Tetapi, kata dia, penurunan konsumsi tidak akan sama besarnya dengan kenaikan cukai. Ia mencontohkan, dengan simulasi skenario kenaikan cukai rokok kretek 24 persen, namun konsumsinya akan turun 17 persen. Tapi itu hanya parsial dengan konsumsi rokok saja.
“Sebenarnya konsumsi itu kan enggak turun seperti ini juga, karena masih ada pertumbuhan ekonomi dan lain-lain,” katanya saat seminar daring bertema Diseminasi Riset: Dampak Makroekonomi Kebijakan Cukai Tembakau, pada 21 Oktober 2021.
Semasa pandemi, beberapa hasil riset menunjukkan konsumsi rokok tak menurun. Center for Economic and Development Studies (CEDS), Universitas Padjajaran, menguraikan data, bahwa belanja rokok selama pandemi cenderung meningkat. Laporan itu telah dijelaskan dalam seminar daring bertema Menakar Kembali Pentingnya Cukai Rokok Bagi Ekonomi Kesehatan Indonesia, pada 12 Agustus 2021.
Kecenderungan meningkatnya belanja rokok semasa pandemi itu meninjau hasil riset yang dilakukan oleh Komite Nasional Pengendalian Tembakau pada Mei hingga Juni 2020 terhadap 621 responden di 25 provinsi. Adapun 49,8 persen responden memiliki total belanja rokok yang tetap. Sedangkan, 13,1 persen responden peningkatan belanja rokok selama Covid-19.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menemukan angka yang lebih tinggi, bahwa, 20,1 persen responden meningkatkan belanja rokok selama pandemi. Adapun 46,7 persen responden memiliki total belanja rokok yang tetap. Penelitian itu dilakukan tahun 2020 terhadap 4.584 responden dari 34 provinsi.
Tahun 2020 pula, riset CEDS Universitas Padjajaran terhadap 579 responden dari 17 provinsi, bahwa belanja rokok menjadi satu dari empat belanja rumah tangga yang menggunakan Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLTDD), ini signifikan 99 persen. Jika laki-laki menjadi pengambil keputusan untuk penggunaan BLTDD, sebanyak 12,5 persen responden akan menggunakan bantuan itu untuk belanja rokok.
Penulis: Bram Setiawan
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post