Berdasarkan pantauan Prohealth.id, pada 22 Agustus 2022 lalu, Komisi IX DPR RI menerima audiensi dari perwakilan Komisi Nasional Pengendalian Tembakau bersama beberapa organisasi lain yang aktif mengupayakan Indonesia bebas asap rokok.
Pada audiensi tersebut mengemuka beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, khususnya terkait perokok usia muda, dampak merokok bagi lingkungan dan harapan pembatasan peredaran rokok melalui kenaikan cukai rokok.
“Dari hasil masukan, saran dari bapak-bapak dan ibu-ibu pemerhati rokok dari banyak organisasi kepada kita Komisi IX, memang kenyataannya di lapangan demikian, dimana anak-anak dan remaja sekarang sudah banyak yang merokok. Rokok ini sumber penyakit. Kita lihat dari hasil evaluasi bahwa biaya berobat (penyakit) karena rokok ini jauh lebih besar daripada cukai rokok,” jelas Anggota Komisi IX DPR RI Suir Syam di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta.
Syam menyatakan persetujuannya terkait pembatasan peredaran rokok yang salah satunya adalah melalui mekanisme kenaikan cukai. Menurutnya harga rokok saat ini masih cukup terjangkau oleh anak usia sekolah yang kini marak menjadi perokok pemula. “Komisi IX terutama komisi kesehatan dan tenaga kerja bersama-sama dengan bapak-ibu para penggiat supaya ada kesadaran anti rokok di negara kita ini,” tandas Syam.
“Meminta kepada pemerintah, mudah-mudahan nanti Pak Presiden mengambil kebijakan untuk bagaimana (jumlah) perokok ini bisa jauh menurun. Mungkin bisa Saja dengan meningkatkan harga rokok dengan cara cukai rokok yang besar, mungkin 90 persen. Saya yakin anak-anak enggak akan bisa membeli (rokok). Sekarang rokok kita murah jadi anak-anak sekolah pun bisa membelinya,” tambah politisi Partai Gerindra itu.
Pada kesempatan tersebut, Ketua Umum Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany menyampaikan harapannya agar anggota dewan dapat mendesak pemerintah untuk menaikan cukai rokok serta menggunakan dana cukai tersebut untuk substitusi tani tembakau dan cengkeh serta mendidik alih profesi pekerja rokok. Selain itu guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) tersebut juga berharap para legislator dapat mengawal penggunaan dana pajak rokok daerah di dapil masing-masing.
“Kami juga berharap bapak-ibu sekalian ketika kunjungan ke dapil masing-masing daerah agar ikut memantau agar dana pajak rokok daerah, ada (anggaran) sekitar Rp19-20 triliun sekarang ini pada 2022 dibagi rata ke seluruh pemda yang minimal 50 persen untuk kesehatan. Supaya mereka bisa menggunakan dana itu untuk penguatan kawasan tanpa rokok, melindungi anak-anak di dapil masing-masing agar jangan menjadi pecandu rokok yang akan menurunkan daya saing kita pada 100 tahun kemerdekaan,” ujar Hasbullah Thabrany.
Selain Komnas Pengendalian Tembakau, hadir pada kesempatan tersebut beberapa perwakilan dari organisasi lain seperti Yayasan Kanker Indonesia, Yayasan Jantung Indonesia, Wanita Indonesia Tanpa Tembakau, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives. Hadir pula Sumarjati Arjoso, anggota dewan periode 2014-2019 yang juga Ketua Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (TCSC-IAKMI) serta Elida Marpaung, yang mewakili pengurus Ikatan Dokter Indonesia.
Selang sepekan setelah audiensi tersebut, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) dan Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) bekerja sama dengan 59 organisasi massa menyelenggarakan konferensi pers yang bertajuk “Dukungan 59 Organisasi Massa pada Kenaikan Cukai Hasil Tembakau untuk Kendali Konsumsi”.
Dalam konferensi pers tersebut, organisasi massa menyampaikan urgensi kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau dan penyederhanaan strata tarif cukai rokok sebagai strategi yang paling efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia.
Salah satu pernyataan sikap berbagai organisasi massa ini, yaitu mendorong agar harga rokok menjadi semakin mahal agar dapat melindungi seluruh lapisan masyarakat baik anak-anak maupun masyarakat miskin dari keterjangkauan rokok.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post