Jakarta, Prohealth.id – Kunjungan Kerja (Kunker) Komisi IX DPR RI ke RSUD Dr. Zainoel Abidin di Aceh justru menemukan masalah krusial terkait penanganan korban kekerasan seksuak.
Awalnya, kunker tersebut diagendakan dengan tujuan mendengarkan sejumlah kendala yang dihadapi oleh pasien. Salah satunya adanya beberapa kasus korban Tindak Pidana Penganiayaan dan Kekerasan Seksual (TPKS) yang tidak dapat ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Sesuai aturan, BPJS Kesehatan tidak dapat menanggung biaya bagi korban yang mengalami tindak pidana penganiayaan dan kekerasan seksual. Hal itu menjadi tanggung jawab LPSK. Namun apabila korban tidak melapor maka hal ini menjadi utang yang tidak tertagih dan menjadi beban dari penerimaan rumah sakit.
Direktur RSUD Dr. Zainoel Abidin, Isra Firmansyah menyatakan tidak ter-cover nya pelayanan kesehatan bagi korban tindak pidana penganiayaan dan kekerasan seksual ini memang telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang jaminan kesehatan.
Anggota Komisi IX DPR RI Nurhayati pun menyoroti mengenai Perpres 82/2018 tersebut dan meminta agar Komisi IX mendalami kembali aturan tersebut terutama terkait dengan penganggarannya.
“Saya tadi menyarankan kepada Komisi IX untuk mendalami bahwa Perpres Nomor 82/2018 ini berdasarkan undang-undang yang mana mengacunya? Dan apakah sudah diatur tentang penganggarannya untuk Ini? Sedangkan untuk Perpres tentunya harus ada aturan berikutnya. Nah ini menurut Ketua (Tim Kunjungan Kurniasih Mufidayati) tadi akan diundang LPSK beserta BPJS, kita juga ingin mengetahui, karena kita ketahui bahwa dalam TPSK itu sudah diatur. Nah harusnya penganggarannya sudah jelas,” tutur Nurhayati melalui keterangan tertulis pada 16 Juli 2023 lalu.
Asal tahu saja, berdasarkan Perpres 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan pada pasal 52 huruf r memang menyatakan bahwa pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme dan tindak pidana perdagangan orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak dijamin BPJS. Namun layanan kesehatan ini diatur dalam UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah dengan UU No 31 Tahun 2014.
Dalam UU tersebut, disampaikan bahwa korban dapat mengajukan permohonan kepada LPSK untuk mendapatkan layanan pengobatan atau perobatan. Untuk itu, Politisi F-PPP itu ingin mengundang BPJS dan LPSK untuk mendalami lebih lanjut terkait dengan aturan yang ada dalam Perpres 82 serta mengetahui penganggaran bagi korban tindak pidana penganiayaan dan kekerasan seksual yang dikelola oleh LPSK.
Jika berdasarkan UU Perlindungan Saksi dan Korban, Perpres 82, maka Komisi IX menginginkan anggaran yang dikucurkan kepada LPSK harus serius dan harus bisa menutupi jumlah daripada korban-korban kekerasan dan penganiayaan.
“Nah, ini yang kami ingin tahu selama ini LPSK bagaimana penganggarannya untuk para korban ini dan bagaimana kita bisa melihat kedepannya bahwa korban-korban ini bisa ada pembiayaannya apakah bisa melalui BPJS kesehatan atau ketenagakerjaan,” jelasnya.
Legislator Dapil Jawa Barat XI itu pun menyatakan bahwa DPR RI dan Komisi IX sejalan dengan adanya UU TPKS yang telah menjadi UU inisiatif DPR RI. Sehingga, DPR berkomitmen untuk terus memberikan perlindungan bagi korban tindak pidana penganiayaan dan kekerasan seksual terutama kaum perempuan dan anak-anak yang sering menjadi korban dalam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga.
“Sekarang ini korban kekerasan atau penganiayaan itu terlihatnya sedikit. Hal ini karena banyak rumah sakit akhirnya melaporkan bahwa ini adalah bukan tindak kekerasan atau penganiayaan tetapi adalah mungkin ada kejadian-kejadian yang memang mengharuskan mereka berobat. Sehingga yang kami rasa adalah, kami menginginkan pemerintah serius dalam menangani kekerasan terutama terhadap wanita dan perempuan dan anak-anak,” tegasnya.
Discussion about this post