Jakarta, Prohealth.id – Kelangkaan obat dan vitamin untuk menanggulangi Covid-19 menjadi sorotan Komisi VI DPR RI terhadap sejumlah BUMN bidang farmasi.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Martin Manurung meminta BUMN Farmasi mengambil posisi terdepan dalam mengatasi masalah kelangkaan serta melambungnya harga vitamin dan obat-obatan Covid-19 di pasaran. Dia mendapati, suplai obat-obatan dan vitamin sangat terbatas.
“Kita dengar suara dari masyarakat, termasuk di dapil kita masing-masing, suplai obat-obatan dan vitamin sangat terbatas. Jikapun ada, harga vitamin dan obat Covid-19 saat ini sudah melambung tinggi,” ujar Martin saat memimpin Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI DPR RI dengan jajaran Dirut BUMN Bidang Farmasi, yang digelar secara hybrid dari Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (7/7/2021).
Politisi dari Partai NasDem ini berharap BUMN farmasi yang memproduksi obat Covid-19 seperti PT Kimia Farma, Indofarma, Biofarma, dan Phapros harus mengambil posisi terdepan dalam mengatasi masalah kelangkaan obat-obatan dan vitamin tersebut. Salah satunya dengan memproduksi secara besar-besaran obat-obatan khusus untuk covid-19 dan vitamin-vitamin. Bahkan jika perlu, membanjiri pasar. Sehingga problem kelangkaan tersebut bisa diselesaikan secara lengkap.
Martin juga mengapresiasi langkah pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk vitamin dan obat Covid-19. Hal itu menjadi salah satu solusi untuk mengatasi melambungnya vitamin dan obat-obatan Covid-19.
Meski demikian, dia tetap berharap adanya penegakan hukum, apabila kelangkaan dan melambungnya harga obat-obatan dan vitamin itu terjadi akibat adanya spekulasi atau penumpukan dari pihak-pihak tertentu.
Anggota Komisi VI DPR RI, Sonny T Danaparamita juga meminta BUMN sektor farmasi untuk melakukan pengawasan obat-obatan di saat pandemi Covid-19. Sonny menegaskan BUMN sektor farmasi tidak hanya sebatas menyediakan obat-obatan saja, tetapi juga melakukan pengawasan terhadap peredaran obat di masyarakat.
“Saya menyoroti terdapat beberapa permasalahan yang belakangan ini ramai menjadi perbincangan, yaitu mengenai kelangkaan obat-obatan. Kalaupun ada, harganya sudah tidak dapat lagi dibeli oleh masyarakat,” kata Sonny dalam keterangan tertulis.
Sonny menyatakan terkait pengawasan obat, agar secara internal apotek milik BUMN dan apotek yang menjadi mitra kerja BUMN harus bisa selektif dalam menyalurkan obat.
Dia pun meminta jika menemukan oknum yang terindikasi membeli obat untuk ditimbun dan dijual lagi dengan harga mahal, untuk segera dilaporkan. Sonny mengutuk keras tindakan oknum yang memanfaatkan situasi pandemi ini, dengan menimbun dan mempermainkan harga obat yang akhirnya membuat kelangkaan di masyarakat.
“Namun mengutuk saja tidak cukup. Saya minta BUMN bekerja sama dengan aparat hukum untuk menjaga agar jangan sampai ada permainan harga atas berbagai obat yang telah disediakan oleh BUMN farmasi,” ujar Sonny.
Politisi PDI Perjuangan itu juga meminta BUMN sektor farmasi ikut berkontribusi dan bergotong royong dengan membuka seluas luasnya ruang untuk mengadakan vaksinasi gratis. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kerumunan akibat membludaknya antusiasme masyarakat yang ingin divaksin.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama PT Kimia Farma Tbk Verdi Budidarmo menyebut, ada beberapa penyebab yang membuat obat-obat Covid-19 langka di pasaran.
Misalnya, adanya keterlambatan bahan baku obat redemsivir dari India yang kini tengah menutup semua kegiatan atau lockdown.
“Memang jadi masalah barang jadi redemsivir, memang redemsivir dari 7 perusahaan farmasi ini impor di India tapi india masih lockdown, upaya dari kami, produk redemsivir dilakukan pengembangan dalam negeri yang akan diproduksi Kimia Farma dan Phapros dan lauching September sekarang belum ada,” ujar Verdi.
Kemudian, lanjut Verdi, dalam proses distribusi terdapat beberapa aturan yang memang obat-obatan hanya tersedia di pelayanan kesehatan seperti puskesmas hingga Rumah Sakit. Sehingga, terangnya, beberapa obat-obatan tidak tersedia di apotek.
“Jadi ada beberapa yang dikeluarkan tidak dalam bentuk izin edar, tapi dikeluarkan dalam Emergency Use Access (UEA). Jadi ada regulasi yang menyatakan, untuk yang EUA hanya didistribusikan di rumah sakit, sehingga tidak disediakan di apotek, seperti Favipirapir tidak tersedia di apotek karena izin yang dikeluarkan EUA,” tutur Verdi.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Indo Farma Tbk Arief Pramuhanto mengakui produksi obat-obat covid-19 tersebut belum maksimal.
Misalnya, pada Oseltamivir yang mana perseroan bisa memproduksi hingga 10 juta butir, sementara pada bulan Juni baru memproduksi sebanyak 6 juta.
Kemudian, pada Invermectin yang baru memproduksi 8 juta butir per bulan. Dia menyebut, mulai Agustus perseroan bisa memproduksi Invermectin sebanyak 16 juta butir.
“Kalau dari sisi distribusi, kami akan memprioritaskan daerah hitam dan merah. Jadi outlet-outlet yang daerah itu kita prioritaskan,” ucap Arief.
Penulis: Irsyan Hasyim
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post