Jakarta, Prohealth.id – Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional Indonesia 2018, lebih dari 9 persen penduduk Indonesia mengalami disabilitas.
Dari data tersebut sekitar 2,2 persen mengalami disabilitas berat. Namun, akses terhadap alat bantu masih terbatas, hanya mencapai 10-20 persen menurut World Health Organization (WHO).
Menyikapi hal ini, Direktur Kesehatan Usia Produktif dan Lansia Kementerian Kesehatan RI, dr. Nida Rohmawati, MPH, menyoroti pentingnya pemenuhan kebutuhan alat bantu bagi penyandang disabilitas di Indonesia.
“Akan tetapi masalah keterjangkauan harga juga menjadi hambatan utama,” ungkapnya dalam Webinar Indikator Program dan Layanan Kesehatan bagi Penyandang Disabilitas dalam Kebijakan RPJMN 2025-2045, Selasa (19/3/2024) lalu.
Nida menekankan bahwa peningkatan akses terhadap alat bantu sangat vital untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Selain itu juga untuk memenuhi hak-hak penyandang disabilitas sesuai dengan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (CRPD). Ia mengakui pemerintah masih harus mengoptimalkan strategi penyediaan alat bantu oleh pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.
“Perlu Gap Assessment menggunakan Rapid Assessment Tool for Assistive Technology (rATA tool) yang melibatkan pengumpulan data dari 400 responden untuk mengevaluasi kesenjangan dalam akses terhadap alat bantu dan hubungannya dengan faktor kesehatan dan sosial ekonomi,” jelasnya.
Selain itu, Nida menyoroti perlunya perbaikan data lintas sektor guna menghindari tumpang tindih dalam penyediaan alat bantu. Nida menyatakan pentingnya meningkatkan pemahaman yang lebih baik tentang disabilitas dan hambatannya. Utamanya di kalangan aktor lokal seperti Pusat Kesehatan Masyarakat (PSM) dan Tenaga Kesejahteraan Sosial Keluarga (TKSK). Nida berharap sinergitas dan kolaborasi multi-pihak dapat memperkuat komunitas. Tak hanya itu juga meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas dalam perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring evaluasi kegiatan.
“Diperlukan juga penguatan mekanisme koordinasi multi-pihak serta penyusunan peta jalan pemenuhan alat bantu,” lanjut Nida.
Ia juga menyoroti pentingnya replikasi praktik baik dari daerah tertentu dan integrasi inklusi disabilitas di semua layanan kesehatan. Seiring dengan itu ia berharap, pemenuhan standar dan proses fitting yang sesuai untuk alat bantu dengar dapat mengurangi kerugian negara akibat klaim alat bantu yang tidak sesuai.
Terkait dengan harga alat bantu dengar, Nida menekankan perlunya penyesuaian agar sesuai dengan standar WHO dan dapat terjangkau oleh masyarakat. Hal ini mengingat harga yang ada saat ini masih jauh dari nilai yang dapat ditanggung oleh BPJS. Selain itu ada kendala dalam peresepan alat bantu dengar, terutama terbatasnya jumlah Spesialis Telinga Hidung Tenggorokan (SpTHT) yang tersedia saat ini.
“Ini menjadi tantangan yang perlu diatasi demi memastikan akses yang lebih baik bagi penyandang disabilitas di Indonesia,” imbuhnya.
Pemerintah telah menggarisbawahi pentingnya memperbaiki akses dan kualitas layanan kesehatan bagi penyandang disabilitas di semua tingkatan, mulai dari tingkat keluarga hingga faskes primer dan rujukan.
“Hal ini merupakan bagian dari komitmen untuk mewujudkan inklusi dan keadilan dalam sektor kesehatan,” ujar Nida.
Nida juga menegaskan bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2023 mengenai Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan menjadi landasan penting dalam memperbaiki sistem pelayanan kesehatan untuk penyandang disabilitas.
Untuk penyandang disabilitas visual, ada rekomendasi khusus dari Spesialis Mata terkait dengan kebutuhan kacamata pada anak-anak dalam masa pertumbuhan. Alasannya karena kondisi mata berubah dengan cepat. Maka mungkin perlu perubahan kacamata lebih sering, terutama pada anak usia kurang dari 2 tahun.
“Kendala dalam peresepan kacamata terjadi karena terbatasnya jumlah Spesialis Mata yang tersedia,” kata Nida.
Nida juga mengungkap, harga Alat Bantu Dengar (ABD) yang sesuai dengan standar WHO memiliki 4 saluran, sering kali lebih tinggi daripada kemampuan tanggungan BPJS.
“Ini menimbulkan kendala dalam peresepan ABD karena jumlah Spesialis THT (Telinga, Hidung, Tenggorokan) yang terbatas,” jelas dia
Untuk mencapai tujuan inklusi di fasilitas kesehatan, Nida menegaskan perlunya dukungan dari Kementerian/Lembaga terkait. Penting juga dukungan dan kolaborasi dari mitra pembangunan, organisasi profesi, dan organisasi penyandang disabilitas. Nida menyatakan kolaborasi lintas sektor dan penguatan kerjasama menjadi krusial dalam menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan yang inklusif.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post