Pemerintahan baru Prabowo-Gibran masih memakai menteri yang sama untuk bidang kesehatan. Sejumlah pihak menilai langkah ini sebagai keberlanjutan dari program Presiden Joko Widodo. Namun, Presiden baru mempunyai prioritasnya sendiri.
Tim Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) memetakan program kesehatan Prabowo – Gibran. Empat yang terbesar adalah; makan bergizi gratis, pemeriksaan kesehatan gratis, peningkatan kualitas rumah sakit tipe D menjadi tipe C, dan pengentasan tuberkulosis (TBC). Ini karena Indonesia adalah negara dengan beban TBC nomor dua terbesar di dunia. Sementara lainnya yang beririsan dengan kesehatan seperti renovasi sekolah, sekolah unggulan dan terintegrasi, dan lumbung pangan.
Solusi tunggal untuk mengatasi semua masalah kesehatan yang terjadi di Indonesia itu tidak memungkinkan. Sebab situasi Indonesia sangat beragam. Semakin terpencil wilayah yang menjadi target sasaran maka akan membutuhkan dana yang semakin besar.
Chief Executive CISDI Diah Satyani Saminarsih telah mencatat bahwa setiap program kesehatan yang ada perlu perencanaan yang matang. Terutama dalam menentukan target sasaran dan kebutuhan dana.
“Karena makin jauh makin terpencil target sasaran tersebut, biasanya dana yang dibutuhkan pun akan bertambah dengan makin besar,” ucapnya dalam konferensi pers “Bedah Prioritas Kesehatan 100 Hari Pertama Prabowo – Gibran” secara daring pada 22 Oktober 2024 lalu.
Bukan Sekadar Komitmen Politik
Menurutnya, Prabowo – Gibran perlu menjelaskan keseluruhan programnya. Seperti soal pemeriksaan kesehatan, integrasi layanan primer, maupun pengentasan TBC.
Misalnya komitmen untuk memberantas TBC sebenarnya bisa dengan meningkatkan layanan kesehatan primer. Sehingga pengentasan TBC bisa termonitoring dengan baik. Apalagi upaya pemberantasannya membutuhkan dua hal yakni komitmen politik dan komitmen anggaran. Sementara untuk layanan kesehatan bisa masuk ke Kementerian, Dinas, dengan penguatan di Puskesmas dan BPJS Kesehatan.
Diah menegaskan ada sisi yang tidak boleh terlupakan yaitu memastikan layanan tersebut membutuhkan komitmen politik dari pemerintah dalam mekanisme pembiayaan.
“Lawannya adalah privatisasi ketika pemerintah justru membuka keran investasi seluas-luasnya dari sektor swasta sehingga komitmen terhadap layanan kesehatan sebagai layanan publik dilupakan,” ungkap dia.
Mengutip laporan CISDI, Diah menyebutkan produksi serta distribusi tenaga medis dan tenaga kesehatan harus lebih merata. Hal ini guna memperkuat layanan kesehatan primer. Perlu keberpihakan dalam menjalankan layanan di daerah pedesaan dan terpencil.
Kader kesehatan yang jumlahnya sangat banyak itu harus mendapatkan peningkatan kapasitas. Tujuannya, agar bisa melakukan screening dengan tepat dan benar. Ini mengingat masih banyak orang menderita TBC tetapi belum bisa tertangani akibat belum mendapatkan diagnosa dengan tepat. Pelatihan dan peningkatan kapasitas ini sangat penting untuk memastikan sistem pendukung dalam makan bergizi gratis agar menyambung ke sekolah.
“Kalau misalnya makan bergizi gratis itu akan dilaksanakan di sekolah maka perlu ada data anak-anak atau murid-murid yang berpotensi kurang gizi.”
Keterlibatan Masyarakat dan Keberpihakan
Pendiri CISDI ini memandang perlu keterlibatan masyarakat guna memberikan masukan atau kritik dalam pembuatan kebijakan. Sehingga, program kesehatan Pemerintah ke masyarakat sejak perencanaan sampai implementasinya sesuai. Apalagi tengah penurunan atau penyempitan ruang masyarakat sipil saat ini.
Tumpang tindih regulasi dan kesimpangsiuran dalam kewenangan antara pemerintah di tingkat nasional dengan daerah turut dia soroti. Karena hal tersebut akan membutuhkan banyak waktu untuk saling menyelaraskan.
Sementara Kementerian dan Lembaga bertambah sehingga keterbatasan fiskal menjadi tantangan dan seringkali masalah kesehatan harus kalah dalam hal ini. Karena itu, CISDI mendorong kepastian komitmen politik dan anggaran pembangunan kesehatan selama lima tahun ke depan dan keberpihakan kepada masyarakat rentan yang rentan secara ekonomi, rentan secara pendidikan, dan rentan secara geografis.
Eliminasi Tuberkulosis
Pemerhati Politik Kesehatan Ahmad Fuady berkomentar atas temuan kasus tuberkulosis (TBC) baru. Menurutnya hal itu tidaklah buruk. Ia beralasan, banyak kasus tuberkulosis tidak tercatat dalam laporan. Akibatnya, orang yang sudah terinfeksi tidak diobati dengan baik. Temuan kasus itu bertujuan mencegah infeksi terjadi di rumah tangga dan orang di sekitar pasien tuberkulosis tersebut.
Eliminasi tuberkulosis merupakan salah satu prioritas Prabowo – Gibran dan ada sekitar delapan triliun untuk penuntasannya. Namun apa itu cukup? Kalau untuk menurunkan angka tuberkulosis dalam 100 hari itu tentu tidak realistis.
Guna menurunkan angka tuberkulosis butuh deteksi kasus sebanyak-banyaknya. Sasarannya harus jelas dan siapa yang paling berpotensi terinfeksi. Kalau sasarannya jelas maka ini akan efisien. Jika tidak demikian maka pengeluarannya akan besar. Akibatnya, delapan triliun untuk jangka waktu satu tahun ke depan mungkin sangat terbatas.
Harus ada pelaporan usai temuan kasus, guna melanjutkan proses pengobatan. Baik obat untuk tuberkulosis maupun untuk terapi preventif. Terapi preventif adalah untuk ke orang dengan risiko tertular seperti kontak erat baik di rumah maupun di tempat kerja. Untuk penanganan TBC ini juga bukan sekadar ada temuan kasus lalu lapor dan mendapat pengobatan. Tetapi juga untuk pengobatannya harus selesai sampai tuntas.
“Banyak orang tidak menyelesaikan pengobatan karena mereka terstigmatisasi dan terdiskriminasi,” tutur akademisi tersebut.
Dalam kampanye kesehatan harusnya tak hanya menyasar mereka yang sudah paham dan mengalami TBC. Justru harus menyasar juga para pekerja dan proteksi sosial.
Perlu penguatan dari sisi perencanaan untuk preventif dan promotif kesehatan. Sementara selama ini yang terjadi justru lebih banyak ke penyediaan alat. Padahal penyediaan alat harus selaras dengan ketersediaan sumber daya manusia sehingga alatnya bisa akurat.
“Ini harus dipikirkan semuanya. Bukan sekadar penyediaan alat. Harus melakukan targeted screening dan memberikan inovasi pembiayaan,” ujar Ahmad.
Di samping itu harus menentukan yang menjadi prioritas utama. Misalnya dalam screening kanker. Karena kanker itu ada banyak maka butuh menentukan jenis kanker yang akan di-screening. Tidak perlu semua harus terlaksana, karena yang utama itu mempunyai daya ungkit. Kementerian Kesehatan juga harus bisa berkolaborasi dalam penyusunan indikator dan memantau situasi kesehatan.
“Tidak bisa menjalankan sebuah program secara mutlak dari atas ke bawah. Kita tidak berada dalam ruang yang lagi sentralistik. Tetapi justru harus berkolaborasi. Begitu pun program-program itu harus mempunyai bukti ilmiahnya.”
Indonesia mempunyai pajak untuk produk tak sehat. Potensi pemasukan negara dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) di 2023 sampai hampir 5,5 triliun dan 2024 hampir 6 triliun.
“Pemasukannya selama ini untuk orang-orang yang sudah sakit. Bagaimana kita bisa menggeser ini sehingga bisa dialokasikan lebih banyak untuk promotif dan preventif sehingga masyarakat tidak jatuh sakit?” tanya dia.
Ruang Fiskal Terbatas, Ambisi Tinggi
Sedangkan Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) menilai pemerintahan Prabowo – Gibran ambisius. Pasalnya, anggaran yang sangat besar ini berada di tengah ruang fiskal yang terbatas.
Makan bergizi gratis mencapai Rp71 triliun dan menjadi porsi anggaran terbesar karena merupakan janji politik atau janji kampanye. Lalu anggaran di fungsi kesehatan khususnya di Kementerian Kesehatan totalnya kurang lebih Rp13 triliun yang mencapai hampir Rp20 persen dari anggaran Kementerian Kesehatan.
“Karena itu penting untuk mendetailkan target yang jelas. Jangan sampai ingin semuanya dilakukan tetapi ternyata capaiannya nanti mimpi,” ucap Gunadi Ridwan dari Seknas Fitra.
Dia melanjutkan bahwa Fitra melihat target output di nota keuangan di 2025 itu memang tidak terlalu detail menjelaskan 100 Hari Prabowo-Gibran.
“Memang alokasi anggaran di fungsi kesehatan ini cakupannya sebenarnya lebih luas. Jadi tidak seperti yang di detail 100 Hari.”
Dalam 100 hari ada sejumlah hal yang perlu mendapat perhatian. Seperti kepatuhan terhadap regulasi, efektifitas anggaran, transparansi dan akuntabilitas, dampak program bagi masyarakat, dan integritas lintas sektor.
Anggaran juga hendaknya jangan menerobos Undang-Undang 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara di mana ingin meningkatkan defisit di atas tiga persen dari PDB ataupun hutang di atas 60 persen dari PDB.
Menurutnya, di sektor yang mengamati kebijakan publik, ini cukup berbahaya. Problemnya ketika kita menambah hutang artinya beban atau ruang fiskal kita di masa yang akan datang akan lebih sempit.
“Yang saat ini saja sudah sangat sempit apalagi nanti persentasenya di atas 60 persen. Memang kebijakan ini masih tarik ulur ya di kabinet Prabowo – Gibran,” tegasnya.
Efektifitas anggaran juga dia soroti karena para menteri baru itu sepertinya menginginkan anggaran besar dan anggaran besar dianggap seolah-olah bisa menyelesaikan masalah. Padahal paradigma ini keliru.
“Banyak yang mengajukan alokasi besar. Padahal tidak selalu relevan kalau anggaran besar bisa menyelesaikan target dan capaian. Karena itu penting juga untuk meningkatkan efektivitas anggaran.”
Dia turut menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas serta partisipasi. Akuntabilitas dan partisipasi berjalan stagnan karena pemerintah dalam program-programnya belum banyak melibatkan masyarakat.
Jangan lupa melihat dampak program bagi masyarakat. Seringkali investasi ataupun hutang negara tidak sesuai dengan kebutuhan atau sektor yang memang sebenarnya menjadi penting untuk dibiayai. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri. Gunadi juga mengamati postur kabinet gemoy atau kabinet gemuk karena Kementerian Lembaga yang sudah ada kemudian dipecah dan ada Kementerian Lembaga Kementerian baru.
“Bagaimana cara mengintegrasikan tugasnya antar sektor? Sebelumnya 34 saja itu agak kewalahan apalagi sekarang meningkat?”
Tantangan ekonomi tidak lepas dari pemerintahan Prabowo – Gibran. Target pertumbuhan ekonomi didorong tujuh hingga delapan persen. Ternyata kemampuannya tidak sampai ke sana.
“Di 2025 tidak sampai sana ya? Hanya 5 koma sekian di tengah kenaikan tarif pajak pertambahan nilai dan wacana untuk pembatasan Pertalite.”
Upaya mengefektifkan belanja di satu sisi bisa berdampak menurunkan daya beli. Untuk itu Pemerintah harus memperhatikan momentum dalam hal pembatasan. Tak lupa Gunadi mengingatkan soal tren pembayaran utang. Bunga utang Indonesia termasuk besar di Asia. Baik utang dalam negeri dan luar negeri. Bahkan setiap tahun trennya meningkat.
Indeks pemberantasan korupsi menurun selain alokasi anggaran lingkungan dan perubahan iklim juga menurun. Ketika Jokowi periode pertama mengalami kenaikan tetapi turun sangat drastis pada periode kedua sehingga indeks persepsi korupsi Indonesia menjadi stagnan.
Sektor ekstraktif tetap juga menjadi andalan. Seolah-olah ini menjadi pengungkit yang bisa mendobrak pertumbuhan ekonomi. Padahal daerah-daerah pengelola ekstraktif tersebut berhadapan dengan persoalan rendahnya pendidikan, kesulitan akses air bersih, rendahnya layanan kesehatan, dan bencana yang berdampak pada masyarakat dan berpengaruh pada kesehatannya.
Persoalan perubahan iklim dan dampak terhadap kesehatan masyarakat tidak menjadi konsern padahal masyarakat pesisir sangat terdampak oleh perubahan iklim. Seperti penyakit menular yang tinggi akibat banjir rob, genangan air, dan sebagainya.
Dalam hal tata kelola perlu perbaikan transformatif. Misalnya soal air bersih, sanitasi, ataupun sampah yang ditangani Kementerian Lingkungan Hidup dan Perumahan. Karena hal ini berpengaruh pada masyarakat kecil baik secara kesehatan dan sosial ekonominya.
Ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan masih belum optimal. Tenaga kesehatan per populasi masih kurang dan belum merata. Bahkan kecenderungannya lebih banyak di perkotaan ketimbang di wilayah sekitar kabupaten atau 3T (Terluar, Terdepan, dan Tertinggal). Sektor kesehatan ini belum terasa di Indonesia Timur dan ini nampak dari angka kematian ibu melahirkan yang tinggi.
“Beberapa daerah yang pernah disurvei Fitra, contohnya di Papua itu sampai ada satu keluarga itu tidak terdata dalam sistem kesehatan. Bahkan untuk berobat pun tidak punya biaya.”
Menurutnya, ruang fiskal harus diperhatikan di tengah ambisi tinggi janji politik. Penting meningkatkan tax ratio dan kepatuhan perpajakan. Sayangnya, orang-orang kaya seringkali mendapatkan relaksasi. Bahkan terakhir dua periode Jokowi itu tax amnesty. Sementara masyarakat yang masih berkutat pada soal kebutuhan konsumsi justru mengalami peningkatan pajak dan sebagainya. Pemerintah menarik yang kecil-kecil tetapi yang besarnya itu justru malah hilang.
Ambisius Pemerintahan Prabowo – Gibran harusnya punya strategi pendapatan. Misalnya mengejar pajak pertambahan nilai masyarakat. Tetapi memiliki strategi yang lebih jitu untuk mencari pendanaan alternatif.
“Instrumen perpajakan sudah cukup baik, saya pikir tinggal eksekusi dan komitmen Presidennya saja,” pungkasnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post