Jakarta, Prohealth.id – Permasalahan anak makin banyak selama pandemi Covid-19 terutama yang berkaitan dengan kesehatan dan perlindungan hak anak.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait menjelaskan jumlah anak di Indonesia yang usianya di bawah 18 tahun ada sebanyak 89 juta, tersebar di 13 ribu pulau. Banyak diantara mereka tidak mendapatkan akses kesehatan dan akses menikmati pembangunan yang sudah dilakukan Indonesia selama 76 tahun ini.
Arist menambahkan, jumlah anak balita terlantar berdasarkan data Kemensos sebanyak 4,1 juta jiwa. “Itu sebelum Covid-19 dan angkanya sampai Agustus 2021 ada 23.767 anak terkonfirmasi menjadi yatim piatu, sepanjang 1,5 tahun kita menghadapi serangan Covid-19 ini,” kata Arist pada sesi webinar “Perlindungan Terhadap Anak Yang Terdampak COVID-19” di Jakarta, (2/9/2021) lalu.
Data terkonfirmasi lainnya berasal dari Jawa Timur. Hingga akhir Agustus 2021 ditemukan 7.569 anak yang terpisah dari keluarganya akibat serangan virus corona. Tak hanya itu masih juga ditemukan data terkonfirmasi dari pemerintah Jawa Barat sebanyak 8.678 anak menjadi yatim piatu. “Kemudian data minggu lalu, laporan dari Kalimantan Timur terkonfirmasi ada 4.670 anak menjadi yatim dan yatim piatu,” ujarnya.
Di Banten juga tak berbeda. Di daerah yang dekat degan ibu kota, ditemukan sebanyak 2.790 anak terlantar. “Ini terkonfirmasi melalui data Satgas Covid-19 yang ada di Provinsi Banten,” terang Arist.
Hanya saja, di DKI Jakarta kondisinya masih abu-abu. “Sampai hari ini, belum didapatkan informasi itu, walaupun kita sudah masuk ke wilayah Jabodetabek yang kita temukan ada 4.670 anak, tetapi DKI Jakarta belum,” katanya.
“Saya tidak tahu, apakah ratusan atau ribuan. Bahkan dipresentasikan ternyata ada 9.700-an orang yang terpapar Covid-19,” imbuh Arist menambahkan.
Sementara data dari Kementerian Sosial (2021) tentang orang meninggal, sebanyak 3 persen dari pasien yang meninggal adalah 177 anak. Ini bukan hanya di DKI Jakarta. “Itu artinya ada 23.767 yang terkonfirmasi anak kehilangan pengasuhan dan anak terlantar,” katanya.
Berdasarkan data empiris, terutama proses pemantauan yang dilakukan secara maraton, Arist menjelaskan bahwa ada banyak anak yang korban. Hal lain yang perlu diantisipasi, yakni anak menjadi korban perdagangan untuk tujuan seksual komersial dan perbudakan seks.
“Bahkan kami mencatat sangat potensial terjadi pinah agama, dan siapa yang akan mengasuh anak dan seterusnya,” terang Arist.
Tak hanya itu, ada anak yang menjadi korban eksploitasi ekonomi dan atau kekerasan seksual, dan pelanggaran hak anak lainnya, termasuk penelantaran dan anak putus sekolah.
KEHILANGAN HAK PENGASUHAN
Menurut Arist Merdeka, pandemi telah menjadikan anak sangat potensial kehilangan hak atas pengasuhan. “Itu dampak dari anak yatim atau piatu yang 23 ribu dan belum lagi 4,1 juta balita terlantar, sesuai data dari Kemensos,” katanya.
Juga sangat potensial jika anak-anak yatim piatu akan dikawinkan atau mengalami pernikahan dini. Ini sedang terjadi di lingkungan kita.
Lalu Arist menanyakan, apa solusi atau intervensi pemerintah terhadap anak yang yatim piatu, karena mereka kehilangan hak pengasuhan. Oleh karena itu, Komnas PA terus menerus mendorong agar pemerintah, baik pemerintah daerah dan pemerintah kabupataen atau kota melakukan program reunifikasi dan rehabilitasi sosial anak.
“Ini penting untuk menyediakan pengasuhan alternatif berbasis keluarga, bukan berbasis panti,” terangnya.
Arist menambahkan, “Jangan lagi dikembalikan ke panti, tapi harus dicari keluarga alternatif yang bisa memberikan hak pengasuhan supaya anak tidak menjadi korban kedua kali. Termasuk perdagangan anak untuk tujuan seks komersial dan sebagainya.”
Hal ini harus dilakukan sebagai upaya untuk menyediakan keluarga alternatif. Keluarga ini harus disiapkan berdasarkan asesmen layak atau tidak, karena itu merupakan hak anak. “Karena itu asesmen untuk mencari keluarga alternatif sangat penting,” ujarnya.
Namun jangan lupa, ketika reunifikasi dan rehabilitasi sosial anak dilakukan, pemerintah harus hadir untuk memberikan stimulus, khususnya biaya kehidupan, sehingga anak bisa terlindungi dengan baik.
“Ini yang belum terjadi. Sampai hari ini, data belum terkonfirmasi dengan baik,” kata Arist.
Seperti DKI Jakarta, menurut Arist, hingga hari ini, tidak ada konfirmasi mengenai data tentang anak terlantar, bahkan data pasien meninggal akibat Covid-19, seolah-olah dirahasiakan untuk tidak dipublikasikan ke publik. “Tetapi tak apa-apa, itu adalah hak pemerintah daerah. Paling tidak, saya tidak ingin mencari jumlah angkanya yang banyak, karena satu orang menjadi yatim piatu, itu harus dilindungi agar tidak menjadi korban,” papar Arist.
Selain itu, ada anggapan bahwa masyarakat secara sosial telah memberikan solusi terbaik, yakni memberlakukan perkawinan anak. Mereka menganggap hal itu sebagai upaya menyelesaikan anak terbebas dari yatim piatu.
Ketika banyak anak belum mendapatkan hak-haknya, Komnas PA berdasarkan Konvensi PBB tentang hak anak dan UU Perlindungan Anak terus mendorong pemerintah untuk menyiapkan keluarga alternatif, sebagai bagian dari Reunifikasi atau mengembalikan anak dalam situasi yang lebih baik.
“Yang wilayah terdepannya adalah rumah tangga dan bukan kepada panti. Karena ada 4,1 juta anak balita terlantar. Itu saja tanggungjawab pemerintah untuk memenuhi hak konstitusi anak yang ada di Indonesia,” tandasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post