Pada akhir Desember 2022 lalu, dalam kunjungannya ke Kabupaten Subang, Jawa Barat, Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan ada rencana melarang penjualan rokok secara batangan. Rencana tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023.
Pada Bagian 6 Keputusan tersebut, terdapat Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Salah satu agenda Peraturan itu adalah melarang penjualan rokok secara batangan. Tujuannya, untuk melindungi anak menjadi perokok dan menjaga kesehatan masyarakat.
Rencana tersebut mendapat dukungan dari kelompok masyarakat sipil, antara lain Komnas Pengendalian Tembakau, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Beberapa alasan dukungan terhadap rencana tersebut adalah melindungi anak dari bahaya rokok dan mencegah rumah tangga miskin membeli rokok agar anggaran rumah tangga dapat dialihkan untuk memenuhi gizi keluarga.
Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Prof. Hasbullah Thabrany mengatakan meskipun pemerintah sudah menaikan cukai rokok, kebijakan tersebut belum cukup untuk mengendalikan konsumsi rokok bila rokok masih bisa dibeli secara batangan. Karena itu, penjualan rokok secara batangan harus dilarang.
“Meskipun cukai rokok dinaikkan yang dapat menaikkan harga rokok, kebijakan itu kurang efektif karena penjualan rokok secara batangan. Penjualan rokok secara batangan juga melemahkan efektivitas peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok,” katanya.
Hasbullah juga menolak anggapan bahwa pelarangan penjualan rokok batangan akan memberatkan orang miskin yang biasa membeli rokok secara batangan. Menurut Hasbullah, penjualan rokok secara batangan justru merupakan jebakan bagi masyarakat miskin terus berada dalam kemiskinan.
Apalagi, survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) selalu menemukan bahwa konsumsi tertinggi pada rumah tangga termiskin adalah untuk beras dan rokok. Konsumsi rokok pada rumah tangga termiskin mengalahkan anggaran untuk membeli bahan makanan untuk memenuhi gizi keluarga dan pendidikan anak.
Prof. Hasbullah menerangkan, terkait penolakan terhadap rencana pelarangan penjualan rokok secara batangan yang disebutkan dapat memiskinkan masyarakat, semua pihak harus menggali lebih baik apakah penolakan itu berdasarkan fakta atau asumsi semata.
“Lebih dari Rp200 triliun habis dibakar untuk menikmati rokok dan konsumennya kebanyakan adalah masyarakat miskin. Bagi kami, pelarangan penjualan rokok batangan justru akan menghentikan pemiskinan, bukan memiskinkan masyarakat,” tuturnya.
Pelindungan Anak
Pelarangan penjualan rokok batangan juga untuk mencegah anak-anak membeli rokok. Rokok yang dijual secara batangan dapat dibeli oleh anak-anak karena uang saku mereka mencukupi. Pembelian rokok secara batangan juga membuat peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok tidak efektif mencegah anak-anak merokok.
“Anak-anak sebagai perokok pemula yang membeli rokok secara batangan tidak terpapar gambar peringatan kesehatan,” ujar Hasbullah.
Rencana pelarangan penjualan rokok secara batangan untuk melindungi anak dari bahaya rokok juga mendapat dukungan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Wakil Ketua KPAI Jasra Putra mengatakan Indonesia saat ini berada dalam status darurat perokok anak, yang salah satunya disebabkan penjualan rokok secara batangan.
“Situasi darurat perokok anak di Indonesia harus segera diselesaikan. Karena itu, KPAI konsisten untuk mendorong percepatan perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Tidak ada toleransi untuk menormalisasi promosi rokok apalagi kepada anak-anak,” katanya.
Kepala Peneliti Pusat Penelitian Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) Risky Kusuma, Ph.D mengatakan ada potensi kekambuhan untuk merokok kembali pada anak-anak apabila mereka membeli rokok secara batangan. Karena itu, penjualan rokok secara batangan memang harus dilarang.
“Hasil riset PKJS-UI juga menemukan anak jalanan adalah kelompok rentan yang masih bisa membeli rokok secara batangan dengan harga sekitar Rp2.000. Secara densitas, penjualan rokok secara batangan juga berada di sekitar wilayah sekolah. Hal ini menunjukkan harus segera dibuat kebijakan yang melarang penjualan rokok secara Batangan untuk melindungi anak-anak,” tuturnya
Survei PKJS-UI pada 2021 juga menunjukkan bahwa 85,5 persen pejual rokok batangan masih akan tetap menjual rokok meskipun telah diberlakukan pelarangan penjualan rokok secara batangan. Pada dasarnya, pedagang sudah siap dengan aturan yang akan melarang penjualan rokok secara batangan.
Hasil riset tersebut menjawab informasi yang tidak tepat yang beredar di masyarakat bahwa pedagang rokok menolak rencana pelarangan penjualan rokok secara batangan karena dapat mempengaruhi penjualan mereka. Pernyataan tersebut tidak tepat karena ekonomi akan terus berputar dan rokok bukan satu-satunya barang yang dijual oleh warung atau toko.
Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K) mengatakan rokok menyebabkan banyak kerugian kepada anak, baik anak yang merokok aktif maupun menjadi perokok pasif. Apalagi, rokok juga dapat menjadi pintu masuk adiksi yang lain bagi anak-anak.
“Kami prihatin dengan kondisi saat ini sehingga turut mendesak pemerintah untuk melarang penjualan rokok secara batangan. Penjualan rokok yang mudah membuat peluang anak menjadi perokok semakin tinggi. Karena itu, perlu ada upaya bersama bila ingin menjadikan anak-anak sebagai generasi yang unggul di masa depan,” katanya.
Menurut Piprim, para dokter dan profesi bidang kesehatan lainnya sudah menyatakan secara gamblang tentang bahaya merokok bagi kesehatan dan bagi anak-anak. Namun, pengambil kebijakan adalah para politisi, sehingga politisi memiliki peran yang lebih besar dalam melindungi kesehatan masyarakat dan anak-anak.
“Menjadi ironis saat politisi menggalakkan penurunan angka stunting, tetapi rokok tidak dikendalikan. Karena rokok tidak dikendalikan, anggaran rumah tangga tergerus, anak yang kecanduan rokok menggunakan uang jajannya untuk membeli rokok daripada untuk membeli jajanan atau makanan yang bergizi,” tuturnya.
Upaya Intervensi
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan rencana pelarangan penjualan rokok secara Batangan pasti mendapat intervensi dari berbagai pihak yang mendukung industri rokok, termasuk dengan menyebut rencana tersebut dapat memiskinkan masyarakat. Karena itu, Tulus menduga rencana pemerintah tersebut kemungkinan tidak akan berjalan mulus.
“Pernyataan Presiden tentang rencana pelarangan penjualan rokok batangan harus kita apresiasi. Namun, kami menyayangkan presiden kurang elaboratif dalam pernyataannya yang hanya menyebut soal kesehatan masyarakat. Pernyataan Presiden seharusnya juga bisa menyebut dampak buruk rokok tidak hanya pada kesehatan,” katanya.
Menurut Tulus, seharusnya Presiden secara tegas dapat menyampaikan bahwa rencana pelarangan penjualan rokok secara batangan merupakan salah satu upaya untuk mengurangi prevalensi stunting di Indonesia. Artinya, bila penjualan rokok secara batangan dilarang, maka akan berdampak positif bagi upaya pengurangan angka stunting.
Tulus mengatakan secara filosofis dan normatis, pelarangan penjualan rokok secara batangan memang harus dilakukan. Rokok sebagai salah satu produk tembakau merupakan salah satu barang kena cukai. Sebuah barang dikenai cukai karena dianggap tidak normal dan dapat berdampak buruk sehingga penjualan dan konsumsinya perlu dikendalikan. Karena itu, penjualan rokok secara batangan menjadi kontradiktif dengan filosofi barang kena cukai yang harus dikendalikan.
“Di banyak negara, tidak ada rokok yang dijual secara batangan. Karena itu, secara normatif Indonesia memang harus melarang penjualan rokok secara batangan karena merupakan salah satu barang kena cukai yang harus dikendalikan, dan secara empirik juga lazim dilakukan karena banyak negara melarang penjualan rokok secara batangan,” katanya.
Terkait dengan penolakan berbagai pihak dengan menyebut rencana tersebut dapat menimbulkan kemiskinan baru, Tulus menilai pernyataan tersebut kontradiktif dengan realitas yang selama ini terjadi. Faktanya, justru rumah tangga termiskin terjebak dalam kemiskinan karena konsumsi rokok menempati urusan teratas pembelanjaan keluarga.
Karena itu, rencana pelarangan penjualan rokok secara batangan juga menjadi salah satu upaya untuk mengentaskan kemiskinan, yaitu mencegah rumah tangga termiskin untuk membeli rokok secara batangan. Pengendalian konsumsi rokok dapat menjadi salah satu instrumen dalam mengendalikan kemiskinan.
“Jadi pelarangan penjualan rokok secara batangan secara ideologis pragmatis adalah upaya untuk melindungi masyarakat miskin. Apalagi rumah tangga termiskin mayoritas adalah penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan. Sebagai penerima bantuan, seharusnya mereka tidak boleh merokok yang dapat mengganggu kesehatan mereka,” katanya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post