Saat ini kesadaran sebagian masyarakat akan gizi masih sangat kurang sehingga menyebabkan faktor kesehatan menurun. Pencegahan stunting merupakan salah satu prioritas pemerintah saat ini. Upaya ini berupaya untuk memberikan kesempatan terbaik bagi anak-anak Indonesia untuk tumbuh dan berkembang, bersama dengan keterampilan emosional, sosial, dan fisik yang diperlukan untuk belajar dan tumbuh.
Dokter dan Ahli Gizi Masyarakat, Dr. dr. Tan Shot Yen, M. Hum, mengatakan di tanah air yang sangat kaya panen, Indonesia berlimbah hasil tangkapan makanan laut seperti ikan. Di Indonesia, para petani juga rajin bercocok tanam. Namun sangat disayangkan masyarakat Indonesia masih membeli makanan dalam kemasan. Maka dari itu, masi ada kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia tentang kesehatan dan pendidikan sehingga mereka abai dengan pola makan yang sehat dan bergizi.
“Yang paling penting nomor satu adalah kita bangun literasi dan edukasi bangsa ini, jangan sampai pihak lain menguntungkan dari kebodohan masyarakat Indonesia ini karena masyarakat kita sendiri masih enggak mengerti pangan”. ungkap Dr. dr. Tan Shot Yen, M. Hum, dalam acara Live Instagram Prohealth.id, Kamis, 29 Desember 2022 lalu.
Sementara itu, Duta Sustainable Develompment Goals (SDGs) Indonesia BidangPendidikan dan Inovasi, Billy Mambrasar mengatakan kebersihan, kesehatan, dan kesadaran ini bersumber dari pendidikan dasar di rumah. Ketika seseorang dilahirkan dalam keluarga terdidik, maka kesadaran akan kesehatan sudah ada sejak dini. Misalnya mandi, mencuci tangan, dan makan dengan komposisi gizi lengkap. Sekalipun bayi masih dalam kandungan, seorang ibu yang berpendidikan harus memiliki kesadaran untuk memastikan agar anak dalam kandungan mendapat gizi yang cukup.
Dia juga menceritakan masih banyak masyarakat di daerah karena kurangnya kesadaran tentang pendidikan dan tentang kesehatan mengakibatkan generasi yang lahir dari kelompok masyarakat tersebut berada dalam jerat permasalahan kesehatan yang sama.
“Jadi, dia lahir dari orang tua kurang terdidik karena dari orang tua yang kurang terdidik kemudian faktor kesehatan dan gizinya berkurang, jadi dia lemah secara kognitif. Lalu kemudian dia termarjinalkan secara ekonomi. Kemudian berulang lagi pernikahan dini dan dalam lingkungan yang sama, dan berulang terus mengalihkan generasi yang sama dalam siklus yang sama. Nah, inisiatif yayasan kita bisa ini untuk memberi properti cycle. Jadi siklus tersebut kita coba putuskan mata rantai masalah tersebut agar bisa menciptakan generasi baru, indonesia baru yang berbeda,” ungkap Billy dalam acara PROCAST: Prohealth Podcast beberapa waktu yang lalu.
Bersamaan dengan hal itu, Billy juga menjelaskan tentang karya-karya yang ia raih sesuai target kesehatan dalam salah satu dari 17 agenda SGDs. Dia menjamin harus ada irisan antara tujuan SGDs dengan kegiatan yang dikerjakan melalui Yayasan Kitong Bisa.
“Yayasan ini telah memberikan akses pendidikan kepada anak-anak under village sudah ribuan yang kita didik. Dan tentunya ketika kita didik secara kognitif ada juga pendidikan kesehatan yang kita lakukan di sana seperti gizi makanan, pangan,” ujar Billy.
“Lalu kemudian 2 tahun lalu kami membuat pendidikan vaksinasi massal, karena vaksinasi itu penting untuk menjaga sanitasi dan pendidikan,” sambung lulusan Harvard University tersebut.
Menurut data Studi Status Gizi Indonesia tahun 2021, masalah stunting di Indonesia belum juga tertangani dengan baik. Adapun Provinsi dengan angka stunting tertinggi adalah Sulawesi Barat (39,7) dan Nusa Tenggara Timur (38,7). Hal ini disebabkan karena kurangnya kesadaran para orang tua, pola asuh orang tua hingga kurangnya edukasi pihak tertentu kepada ibu-ibu
Dalam bidang pendidikan dan inovasi, Billy sudah mengunjungi 30 provinsi lebih dari 100 kota/kabupaten sebagian besar yaitu Indonesia Timur. Menurutnya, di Indonesia Timur terdapat masalah yang pelik. Dia menjelaskan tentang faktor-faktor utama yang menyebabkan masalah sehingga membuat mata rantai kemiskinan yang berkepanjangan dan susah terputuskan.
Faktor pertama, adalah kesulitan geografis di daerah. Hal tersebut memicu kompleksitas pembangunan. Kesenjangan aksesibilitas geografis ini belum berhasil membuat fasilitas kesehatan karena belum menemukan titik bangun fasilitas kesehatan yang tepat karena masih membutuhkan metodologi.
Faktor kedua, kapasitas dari pemerintah daerah. Ketika masyarakat tidak menyadari pentingnya kesehatan, lalu pemerintah setempat juga tidak peduli dan tidak sadar maka kondisi kegagalan masyarakat makin kompleks. Permasalahan ini kerap kali berujung sebatas komplain kepada pemerintah pusat, padahal pemerintah daerah sendiri yang memegang anggaran terbesar.
Faktor ketiga adalah SDM. Pasalnya, ada kesadaran dari dokter, perawat, dan guru untuk mengedukasi masyarakat sekitar. Namun jika SDM tersebut masih kurang maka upaya menciptakan kesehatan akan kembali sia-sia. Billy menyebut keterbatasan SDM ini dikarenakan sejumlah profesi tersebut jarang mau tinggal di daerah-daerah yang jauh tanpa fasilitas yang cukup dan hidup berkecukupan dengan niat memberikan pendidikan dan kesadaran.
Faktor terakhir yang keempat, masalah disparitas ekonomi. Di Jakarta masalah dispritas ekonomi itu cukup signifikan tinggi dibandingkan dengan provinsi terluar terutama wilayah dengan APBD dan PAD yang kecil. Beberapa wilayah bahkan tidak memiliki pendapatan asli daerah dan dengan anggaran yang kecil, otomatis pemerintah memperoleh dana alokasi umum (DAU) yang juga jumlahnya masih kurang.
“Maka itu, sumber daya manusia, pendidikan, dan kesehatan tidak dapat dipisahkan. Jika kesehatannya kurang bahkan dari kandungan, maka secara indikator kesehatan asupan gizinya kurang nutrisi kemudian menghasilkan bayi-bayi yang stunting. Maka itu, fungsi kognitif sudah terhambat sehingga kualitas pendidikannya ada keterbatasan,” kata Billy.
“Nah, kalau kita lihat struktur komposisi anggaran APBN 2023 bahkan 2022 dan 2021 kita download ke belakang pendidikan kesehatan itu menjadi 3 besar alokasi paling tinggi untuk kesehatan sendiri itu sekitar Rp169 triliun di tahun 2023. Pendidikan paling tinggi yaitu Rp630 triliun. Jadi pendidikan dan kesehatan itu 2 yang yang mendapat alokasi dan perhatian khusus. Karena goal Presiden Jokowi menciptakan generasi emas di tahun 2045. Maka dari 2030 ke 2045 generasi muda Indonesia akan menjadi demografik terbesar,” tegasnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post