Sayangnya, argumen ini kerap dipandang tak cukup kuat karena diadu dengan narasi-narasi kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi. Padahal kondisi kesehatan masyarakat perlu diperkuat untuk mencegah angka kematian dini.
Jika tak percaya, Robby Indra Wahyuda adalah salah satu buktinya. Dia meninggal dunia di usia 27 tahun akibat merokok sejak SD. Mantan pegawai Dinas Pendidikan di Samarinda ini menceritakan dalam buku ‘Kita Adalah Korban’, dia merokok sejak kelas 6 SD dan tidak diketahui oleh satu pun anggota keluarganya.
Hingga akhirnya yang paling awal tahu Robby merokok adalah kakaknya sendiri. Sayang, sang kakak tidak pernah menyampaikan hal itu ke orang tua. Alasannya, jika orang tua tahu, Robby pasti dimarahi.
“Saya tidak bisa mengatakan apa yang saya alami ini tidak akan terjadi di orang lain. Mungkin banyak yang menyepelekan rokok. Ada yang sudah tua dan merokok tapi terlihat sehat-sehat saja. Tapi saya? Di usia memasuki 27 tahun sudah mengalami penyakit separah ini,” kata Robby seperti yang dikutip Prohealth.id dari buku ‘Kita Adalah Korban’, Senin (9/8/2021).
Robby divonis oleh dokter kanker stadium 3. Aksi yang diambil adalah pengangkatan pita suara. Setelah 3 bulan, Robby bukan makin sembuh, tapi makin parah. Dengan ikhlas, dia memaklumi dan menerima penyakit tersebut.“Proses sakit yang saya alami cepat sekali. Ada gejala batuk, serak, sulit ngomong,” tuturnya.
Vonis dari dokter mengatakan bahwa kanker itu sudah menyebar dalam tubuh Robby. Semakin hari semakin tidak bisa bersuara. Sedih, tentu saja menjadi perasaan paling dominan yang menyelimuti dia. Robby merasa tidak punya harapan, dia tidak bisa apa-apa lagi. Berbicara dengan normal sudah tidak bisa. Dia mulai merasa tidak berguna. Hal kecil yang bisa dia lakukan hanya menulis.
“Saat saya merokok, saya nggak percaya ada penyakit paru-paru. Merokok mati. Nggak merokok mati. Lebih baik merokok sampai mati. Dan kini saya mendekati kematian,” ujar Robby mencurahkan isi hati melalui akun Facebook.
Bukan hanya Robby, sang ayah saya pun juga sangat sedih dengan kondisi Robby sebelum sang putra akhirnya memasuki maut yang menelan jiwanya.
“Rasa sakit hati ada. Kenapa anak saya yang bisa jadi korban. Padahal dia
masih muda. Masih banyak kesempatan untuk berkarya.” ungkap ayah Robby dengan pilu.
KENAIKAN CUKAI JADI SOLUSI PENGENDALIAN ROKOK
Robby hanya satu dari sekian banyak korban akibat konsumsi rokok yang tak terkendali. Aksesibilitas Robby merokok sejak kelas 6 SD menandakan pada usia yang masih sangat muda, Robby sudah bisa membeli rokok sendiri secara sembunyi-sembunyi. Mau tak mau, pengendalian rokok menjadi sangat darurat agar tak lagi mengancam nyawa anak-anak, remaja, dan pekerja usia muda seperti Robby.
“Memang, tujuan utama cukai rokok adalah pengendalian konsumsi,” ujar Vid Andrison, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia beberapa waktu yang lalu.
Mengendalikan konsumsi, demikianlah tujuan utama pengenaan cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT). Fungsi lain diakui oleh Vid Andrison adalah untuk menambah penerimaan negara.
Dalam beberapa pekan terakhir, usulan untuk menaikkan cukai rokok pun kembali mencuat. Tak heran jika sejumlah asosiasi industri rokok mulai bising menyuarakan penolakan.
Padahal menaikkan cukai rokok tak bisa berjalan tanpa melalui proses simplifikasi dulu. Menurut Vid, sistem cukai tembakau di Indonesia masih sangat kompleks karena tarif satu batang rokok terpengaruh oleh golongan produksi, rasa, teknik produksi, dan ada juga harganya berbasis golongan dan teknik produksi.
“Efek dari 4 golongan ini akhirnya tujuan pengendalian tembakau tidak efektif,” terang Vid beberapa waktu yang lalu.
Dia menyebut kompleksitas sistem cukai tembakau di Indonesia menjadi pangkal penyebab tujuan cukai untuk pengendalian tembakau menjadi tidak optimal. Selain konsumsi yang tak terkendali, Vid juga menyatakan dengan sistem cukai yang kompleks pun terbukti membuat penerimaan negara kurang optimal.
Implikasi lainnya, kata Vid Andrison, sistem cukai yang kompleks mendorong praktik penghindaran pajak yang bersifat legal karena ada celah hukum yang dimanfaatkan. Oleh sebab itu, langkah simplifikasi tarif cukai akan mengurangi konsumsi tembakau dan meningkatkan penerimaan negara.
“Semakin banyak tier yang ada dalam jenis rokok kenaikan harga semakin kecil, kalau semakin banyak tier, semakin banyak harga maka yang di paling atas akan menahan laju harga sehingga rokok selalu terjangkau. Jadi dengan simplifikasi, harga rokok tinggi, insentif menciptakan merek baru pun berkurang karena cost semakin besar.” terang Vid secara rinci.
Dia juga menyatakan jika variasi harga semakin terbatas dan cenderung tinggi maka otomatis konsumsi terkendali karena orang mulai enggan untuk mengonsumsi rokok.
URGENSI MENAMBAH PENERIMAAN NEGARA
Saat ini, pandemi Covid-19 memberi dampak yang signifikan bagi perekonomian dunia, tak terkecuali Indonesia. Oleh sebab itu, Bank Dunia dalam laporan yang rilis Juni 2021 lalu mengeluarkan salah satu rekomendasi untuk memperkokoh kondisi fiskal dengan langkah reformasi kebijakan fiskal yakni penyederhanaan atau simplifikasi struktur tarif cukai tembakau.
Vid mengakui proses simplifikasi di Indonesia melalui masa yang tidak mudah. Terbukti proses simplifikasi cukai ini sebenarnya sudah direncanakan dan tertuang dalam beleid Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 77/ 2017 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020-2024. Sayangnya, menurut Vid proses eksekusi atas PMK tersebut terselenggara secara tahunan, sehingga kerap kali pada tahun-tahun politik kebijakan ini akhirnya tak dieksekusi.
Berkaca dari paparan Vid, Analis Kebijakan pada Pusat Kebijakan Pendapat Negara, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febri Pangestu menjelaskan, kompleksitas sistem cukai memang memberikan alternatif pada konsumen untuk beralih pada rokok yang lebih murah. Oleh sebab itu dia sepakat bahwa proses simplifikasi adalah solusi untuk mengendalikan konsumsi.
“Kalau struktur tarif cukai banyak tier, memang akan memberi alternatif bagi konsumen untuk switching atau down trading, untuk berpindah ke tier yang lebih murah. Pada tahun terakhir, memang ada kecenderungan seperti itu,” ujar Febri.
TAK ADA KEPASTIAN DARI PEMERINTAH
Febri mengakui pada 2014 dan 2019, cukai rokok tidak naik. Dia menyebut ada kondisi lain yang membuat pada dua tahun tersebut tidak dilakukan kenaikan tarif cukai.
“Pemerintah tidak termakan dengan industri rokok, tiap tahun pemerintah konsisten menaikkan cukai selain dua tahun itu,” ujarnya.
Namun ketika Febri disinggung mengenai kapan waktu Pemerintah akan melaksanakan simplifikasi cukai, Febri tak banyak menjawab. Dia hanya menyatakan harapan agar hal tersebut segera terlaksana.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post