Jakarta, Prohealth.id – Jasra Putra selaku Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) masih kaget dengan maraknya penjualan rokok ketengan di berbagai warung saat turun ke lapangan.
Satu tahun berjalan, Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan yang mengatur pengendalian industri rokok masih belum mendapatkan implementasi. PP 28 yang mana tertuang larangan-larangan untuk keamanan anak itu masih terganjal implementasi dan membutuhkan komitmen bersama antara lembaga.
Jasra menyebut, hadirnya aturan PP No 28 Tahun 2024 tersebut belum terasa secara spesifik bagi anak-anak Indonesia. Hal ini karena adanya temuan masih mudahnya anak mengakses rokok. Sudah terbukti anak-anak masih mudah mengakses rokok ketengan.
“Kami melihatnya hak anak atas kesehatan masih minim. Seperti contoh lain orang yang berjualan rokok kan seharusnya jaraknya 500 meter dari area pendidikan, tapi nyatanya itu masih belum terlaksana,” katanya saat acara bersama Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, pada kamis (24/7/2025).

Lembaga KPAI dalam hal ini menemukan masih banyaknya kabupaten atau kota yang masih memberi ruang iklan industri rokok. Ia menambahkan baik kabupaten atau kota harus menjadi kota layak anak (KLA) dan bebas rokok. Sayang, beberapa kabupaten atau kota masih belum memiliki aturan kawasan tanpa rokok (KTR). Sebab temuan-temuan tersebut KPAI merekomendasikan tujuh poin yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat.
“Saya mendorong untuk aturannya segera diselesaikan, ketika perda direvisi misal KTR itu harus berpihaknya pada anak-anak,” tegasnya.
Ia mengingatkan, jangan sampai keberpihakan aturan nanti berpeluang bergeser. Apalagi, perda-perda ini mesti bersifat implementatif yang seharusnya bisa langsung terasa oleh anak-anak kita.
Kritik Jastra bukan hanya kepada rokok konvensional. Ia juga mengkritik rokok elektrik yang penggunanya terus mengalami peningkatan. Padahal rokok ini industri candu sehingga sangat memengaruhi tumbuh kembang anak.
“Baru 23 Juli kemarin baru kita merayakan hari anak. Seharusnya setiap hari kita merayakan itu. Karena anak adalah generasi masa depan indonesia yang harus sehat secara tumbuh kembangnya,” tuturnya.
Dalam aturan PP Nomor 28 ada delapan aturan yang bertujuan untuk melindungi anak. Misalnya; aturan kemasan standar, larangan bahan tambahan, pembatasan nikotin dan tar, larangan iklan di media sosial, larangan penjualan ketengan, larangan penjualan sampai 200 meter di sekitar sekolah, larangan iklan sampai 500 meter di sekitar sekolah, dan terakhir larangan penjualan di bawah umur 21 tahun.
Tulus Abadi selaku Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Pengendalian Tembakau menilai belum semua kelompok menaati PP 28 tahun 2024. Gara-garanya masih banyaknya larangan yang perlu dilakukan koordinasi dengan kementerian atau lembaga terkait yang memerlukan waktu. Contohnya; larangan penjualan ketengan seharusnya bisa langsung diimplementasikan yang tidak memerlukan koordinasi kembali.
Tulus mengatakan pejabat yang tidak tunduk dan melaksanakan aturan seharusnya dilaporkan ke lembaga Ombudsman. Hal ini untuk mempercepat waktu implementasi dan mendorong anak indonesia meraih kesehatan secara ideal. Tantangan masih bertambah karena kurang kuatnya komitmen bersama. Kondisi ini memperparah kehadiran influencer yang mempromosikan vape, iklan di media sosial, padahal di dalam PP 28 tahun 2024 sudah dilarang.
“Ada pasal yang bisa langsung diimplementasikan, ada yang perlu waktu karena perlu transisi itu disebutkan dalam PPnya, nah ini nggak dilaksanakan dua-duanya,” ujarnya.
Akibatnya menurut Tulus, iklan-iklan industri rokok jadi punya kelonggaran dan bebas berkeliaran. Dia menyebut harus ada pengendalian akan situasi, sebab menyangkut generasi indonesia untuk anak-anak bebas dari rokok.
“Anak-anak gandrung akan media sosial atau gadget, iklan-iklan produk rokok itu menyasar ranah digital, yang secara aturan masih belum bisa menekan. Makanya, perlu bersinergi dengan Komdigi yang bertanggung jawab dalam area itu,” katanya di Kebon Sirih.
Jika implementasi PP 28 tahun 2024 masih belum signifikan, dia akan mengadukan Menteri Kesehatan ke Ombudsman terkait dengan maladministrasi. Gugatannya adalah karena pemerintah tidak melaksanakan PP tersebut.
“Bahkan tidak perlu Menkes, siapa yang menghalangi, kita somasi, karena somasi itu peringatan dari publik, bahkan saya sebut ini pelanggaran konstitusional,” ungkapnya.

Patricia Rinwigati selaku Ketua Djokosoetono Research Center FH Universitas Indonesia, memperingatkan untuk Presiden membuat kebijakan yang berbasis perlindungan anak. Mengingat PP Kesehatan termasuk kebijakan khusus anak, artinya ini adalah kebijakan yang berangkat dari perspektif anak. Dengan berjalan bersama Kementerian Kesehatan, maka implementasi PP 28 tahun 2024 bukan hanya dengan dialog saja, tapi juga aksi bersama.
“Apakah di tahun 2026 nanti akan dilaksanakan secara efektif? Terutama dalam hal Kementerian Kesehatan,” katanya.
Baik Jastra, Tulus, dan Rinwigati menunggu gebrakan yang lebih komprehensif. Khususnya untuk dapat menghasilkan bukti konkrit dari kinerja hadirnya PP No 28 Tahun 2024. Semuanya sama-sama setuju implementasi yang masih dirasa kurang akan terus merugikan anak-anak dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post