Jakarta, Prohealth.id- Sebagai pembaca setia harian KOMPAS dan juga berita-berita online, Silvester Mbete memiliki kekhawatiran para calon dokter yang berpotensi mengalami gangguan mental akan menambah beban kesehatan publik. “Seram sekali ya, ratusan calon dokter spesialis punya masalah kesehatan mental,” ujar Silvester yang merupakan seorang lansia usai membaca koran dan berita online.
Pria berusia 63 tahun yang memiliki penyakit komorbid asma memang akrab dengan dunia medis dan rumah sakit. “Pantas saja, dulu pernah ada dokter yang cerita, semacam curhat waktu saya konsultasi. Katanya menjadi dokter spesialis itu berat. Orang tuanya di kampung sampai jual rumah, jual sawah, semua aset. Sementara perjalanan studi berat dan kadang finansial yang didapatkan tidak sebanding dengan apa yang dia sudah keluarkan,” ujar Silvester.
Kementerian Kesehatan memang melakukan skrining kesehatan jiwa pada mahasiswa program pendidikan dokter spesialis (PPDS) di 28 rumah sakit vertical pada 21, 22, dan 24 Maret 2024 lalu. Skrining pada 12.121 PPDS ini menggunakan kuesioner Patient Health Questionnaire -9.
Hasil skrining pun menunjukkan sebanyak 22,4 persen mahasiswa PPDS terdeteksi mengalami gejala masalah kesehatan mental yaitu depresi. Secara lebih rinci dari jumlah itu, ada 0,6 persen di antaranya mengalami gejala depresi berat; 1,5 persen dengan depresi sedang-berat; 4 persen depresi sedang; dan 16,3 persen dengan gejala depresi ringan. Tak hanya itu, sekitar 3 persen dari responden dari PPDS mengaku ingin mengakhiri hidup atau ingin melukai diri sendiri. Hasil skrining juga menemukan mahasiswa PPDS yang mengalami masalah kesehatan ini paling banyak berasal dari RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, RS Hasan Sadikin Bandung, dan RS Sardjito Yogyakarta.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Senin (15/4/2024), memerintahkan penanganan kepada peserta PPDS ini. Utamanya bagi yang terdeteksi bergejala depresi berat. Tindakan cepat tanggap ini tak lepas dari misi Kementerian Kesehatan yang sedang menggencarkan penambahan jumlah dokter spesialis di Indonesia.
Prohealth.id mencatat, sejak 2023 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menyiapkan lebih dari 2000 beasiswa untuk program pendidikan dokter spesialis (PPDS), subspesialis, dan kedokteran keluarga layanan primer (KKLP) pada tahun 2023. Beasiswa ini bertujuan untuk memenuhi kekurangan dokter spesialis di Indonesia.
Tampak anomali, saat ini Kemenkes menyebut untuk melayani 277 juta rakyat Indonesia, baru tersedia 46.200 dokter spesialis. Artinya, masih kekurangan sekitar 31.481 dokter spesialis. Berdasarkan target rasio per 1.000 penduduk saat ini rasio dokter belum terpenuhi di Indonesia, termasuk juga untuk pemenuhan dokter spesialis.
Misalnya, dokter spesialis jantung baru 5 provinsi, dokter spesialis anak 3 provinsi, dokter spesialis penyakit dalam 6 provinsi, dokter spesialis obgyn 11 provinsi, dokter spesialis bedah 6 provinsi, dokter anestesi 4 provinsi, dokter patologi klinik 7 Provinsi, radiologi 1 provinsi, dokter spesialis patologi anatomi belum ada, dokter spesialis bedah toraks, kardiak, dan vascular (BTKV) 1 provinsi, dokter spesialis paru 1 provinsi, dokter spesialis urologi 3 Provinsi, dokter spesialis saraf 7 provinsi, dokter spesialis bedah saraf 3 provinsi, dokter spesialis ortopedi dan traumatologi 3 provinsi.
Meski demikian, Kemenkes mencatat masih ada tiga provinsi dengan jumlah dokter spesialis yang memadai bahkan berlebih. Tiga provinsi itu adalah; Jakarta, Bali, dan DIY. Sementara provinsi yang hampir semua jenis spesialisnya tidak ada yaitu NTT, Papua, Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat.
Sejak 2021 Kemenkes sudah menyediakan 600 beasiswa dokter spesialis. Lalu pada 2022 kuota beasiswa meningkat menjadi 1.676 terdiri dari beasiswa Kemenjes dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Naik lagi pada 2023 menjadi 2.170 beasiswa dari Kemenkes dan LPDP. Kemenkes pun sudah melaksanakan penerimaan beasiswa PPDS, subspesialis, dan KKLP periode pertama. Ada 583 beasiswa sudah diberikan dan peserta sudah mulai kuliah, dan sekarang di periode kedua bertambah lagi 417 beasiswa untuk PPDS, subspesialis, dan KKLP. Untuk beasiswa LPDP, pada periode 1 pemerintah telah menyalurkan 401 beasiswa, dan periode 2 sudah 599 beasiswa.
Untuk memperkuat kebutuhan tersebut, Kementerian Kesehatan menginisiasi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) berbasis Pendidikan Penyelenggara Utama (RSP-PU). Pada September 2023 lalu, ketika uji publik rancangan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2024 tentang Kesehatan, diusulkan RSP-PU mengutamakan pemenuhan dan pemerataan di daerah yang kekurangan dokter spesialis. Sementara di sisi lain PPDS berbasis RSP-PU akan berjalan bersama dengan PPDS yang saat ini sudah berjalan di Universitas. Pemerataan lulusan dokter spesialis tersebut adalah untuk mengatasi kekurangan dokter spesialis agar penempatan tidak hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Seleksi terhadap PPDS lapisan pertama adalah oleh Kementerian Kesehatan secara terpusat dan mengedepankan meritokrasi, transparansi, kesetaraan, dan integrasi. Setelah lulus residen akan mendapat Surat Ijin Praktek (SIP) spesialis dari Pemerintah Daerah dan didayagunakan di daerah asal atau Daerah Terpencil Perbatasan dan Kepulauan (DTPK).
Direktur Penyediaan Tenaga Kesehatan dra. Oos Fatimah Rosyati pernah mengatakan pemetaan ini bertujuan untuk mendapatkan data kebutuhan atau kekurangan dokter spesialis dari berbagai daerah kabupaten/kota dan juga lulusan college-based ataupun university-based diharapkan memiliki kualitas yang sama.
Berkaca dari dinamika tersebut, lansia komorbid seperti Silvester yang membutuhkan layanan medis dari dokter spesialis merasa lebih insecure. “Kasihan sekali, harusnya ada intervensi pemerintah membantu para calon dokter tersebut,” kata pria yang berdomisili di Bogor tersebut.
Mengenali Kerentanan Masalah Kejiwaan
Prohealth.id menemukan laporan eksklusif masalah kesehatan mental dokter juga pernah diluncurkan di Australia. Dalam riset National Mental Health Survey of Doctors and Medical Students dari Beyondblue pada tahun 2013 di Australia menemukan bahwa masalah kesehatan mental memang rentan dialami tenaga medis yaitu dokter. Hasil survei ini menyatakan, khusus untuk murid kedokteran, depresi ringan paling banyak dialami pelajar putri ketimbang pelajar putra. Kondisi ini disebabkan karena lingkungan kerja dokter dan kehidupan mahasiswa kedokteran yang penuh dengan persaingan dan tantangan. Akibatnya, mahasiswa kedokteran mengalami masalah kesehatan mental seperti; stres, depresi, bahkan punya pikiran untuk bunuh diri.
Selain perempuan, mahasiswa kedokteran dari wilayah rural atau representasi kelompok ras tersebut juga lebih rentan mengalami masalah kesehatan mental. Oleh karena itu, penting memberikan pelayanan medis dan perawatan bagi calon dokter yang sudah menunjukkan gejala depresi.
Menurut Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional, DR. dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ yang juga Pengurus Perhimpunan Dokter Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa pada Desember 2023 mengatakan kesehatan mental memang merupakan masalah yang cukup serius di Indonesia bahkan di seluruh dunia. Oleh karenanya, WHO sudah memiliki roadmap yakni Mental Health Action Plan 2013-2030. Peta jalan itu menargetkan, tingkat bunuh diri akan berkurang 15 persen pada tahun 2030 di wilayah Asia Tenggara.
Kasus yang cukup umum ditemukan memang di kalangan remaja, namun tak tertutup di kelompok usia lainnya. Dalam kesempatan tersebut, dr. Nova membagikan tips-tips pencegahan bunuh diri termasuk cara mengukur risiko bunuh diri.
Sementara itu, Aully Grashinta Dosen Ilmu Psikologi Universitas Pancasila menyatakan bahwa tak hanya tenaga medis, siapapun sebenarnya berpotensi mengalami depresi terutama ketika dia berada pada atau sedang mengikuti tahap pendidikan tertentu.
“Jadi sebenarnya yang depresi mungkin tidak saja dokter spesialis tetapi juga teman-teman yang PhD (doctor). Seringlah itu kalau kita lihat di berbagai media sosial,” kata Aully kepada Prohealth.id, Selasa (16/4/2024).
Namun pembeda yang menjadi perhatian khusus karena para calon dokter-dokter spesialis ini akan langsung berhadapan dengan masyarakat yang membutuhkan bantuan kesehatan. Akibatnya, jika sebagian dari calon dokter mengalami depresi maka menjadi lebih sulit mengurus pasien.
Oleh karenanya perlu ada rincian dalam menemukan permasalahan utama yang menjadi faktor depresi para calon dokter. Misalnya, kata Aully, mungkinkah calon dokter memiliki beban dan tuntutan yang lebih secara sosial. Entah karena status sudah menikah, atau karena masalah ekonomi, dan lainnya.
“Sehingga sangat perlu kemampuan untuk meregulasi diri dengan sangat baik, meregulasi waktu dan sebagainya. Sehingga tuntutan dirinya untuk menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan basic rumah tangga berjalan seiringan dengan tugas-tugas mengerjakan studinya studinya ini yang sering banyak menjadi faktor memicu depresi.”
Contoh faktor lain, perlu dicari tahu jika ada calon dokter spesialis yang terbebani dengan hal-hal non-akademik. Misalnya dalam urusan membina hubungan dengan senior, memenuhi permintaan senior. Sehingga meski dalam ruang akademik, perlu ada penelusuran tentang beban non-akademik yang mempengaruhi.
“Nah, banyak juga orang itu yang menjadi dokter atau mengambil spesialis itu karena dorongan, bukan karena memang betul-betul ingin itu juga menjadi pengaruh,” ujar Aully.
Ia memberi contoh, desakan dari orang tua kepada calon dokter agar menjadi dokter spesialis. Atau desakan dan stigma dari dunia pekerjaan medis yang saat ini menuntut kedokteran spesialis. “Hal-hal seperti itu juga bisa menyebabkan beban yang luar biasa sehingga faktor-faktor itu kemudian mempengaruhi seseorang bisa menjadi stres,” ujarnya.
Catatan: Jika seseorang berada dalam kondisi berbahaya yang mengancam keselamatan nyawa, segera telepon nomor layanan darurat 119 atau menuju ke IGD di RS terdekat. Untuk hotline pencegahan bunuh diri di Indonesia yang aktif, bisa hubungi :
LISA (Love Inside Suicide Awareness) Suicide Prevention Helpline:
Bahasa Indonesia +62811 3855 472
Bahasa Inggris +62811 3815 472
Layanan LISA tersedia 24 jam.
Penulis: Gloria Fransisca KL & Syifa Maulida
Editor: Irsyan Hasyim
Discussion about this post