Jakarta, Prohealth.id – Upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dan kerusakan alam bisa dengan diet nasi putih.
Menurut Mulia Nurhasan, Food and Nutrition Scientist dari Center for International Forestry Research (CIFOR) menerangkan, bahwa anjuran mengurangi konsumsi nasi untuk kesehatan ini, sejalan dengan anjuran untuk ketahanan pangan yang berkelanjutan.
Mulia menyampaikan berdasarkan rekomendasi dari studi terbaru dalam The American Journal of Clinical Nutrition (2021) yang mempelajari pola konsumsi yang berkelanjutan di Indonesia adalah anjuran mengurangi konsumsi nasi bagi masyarakat.
“Kita sering gak kepikiran, bahwa pola konsumsi makanan kita memiliki dampak pada lingkungan, seperti misalnya konsumsi nasi yang sehari tiga kali, sekali makan sampai sepiring penuh nasi. Jika semua orang Indonesia punya pola makan seperti ini, negara memerlukan produksi beras yang semakin banyak. Nah, sayangnya, produksi beras menghasilkan gas rumah kaca yang cukup tinggi,” kata Mulia dalam siaran pers, Selasa (21/12/2021).
Peningkatan gas rumah kaca yang terlalu tinggi telah menyebabkan perubahan iklim. Apalagi banyak lahan sawah sudah mulai menyusut, menanam padi di lahan-lahan baru yang tidak cocok untuk tanaman padi bisa menciptakan masalah lingkungan dan sosial yang besar.
Akhirnya konsumsi nasi yang tinggi, turut memperburuk kerusakan alam dan menciptakan masalah sosial. Merujuk pada informasi dalam Our World in Data (Juni 2021) pada tahun 2020, dunia mengeluarkan sekitar 34.81 miliar ton gas CO2, 589.50 juta ton diantaranya dari Indonesia. Gas CO2 adalah gas rumah kaca yang paling banyak dihasilkan dari aktivitas manusia.
Website tersebut juga merilis hasil penelitian bahwa produksi beras per kilogramnya menghasilkan 4,45 kilogram ton gas rumah kaca. Nilai ini termasuk yang paling besar di antara tumbuhan pangan lainnya.
Umbi-umbian dan singkong, yang juga pangan pokok, menghasilkan jauh lebih kecil gas rumah kaca dari pada beras per kilogramnya. Singkong hanya menghasilkan sekitar 1,32 kilogram gas rumah kaca. Singkong dan umbi-umbian merupakan sumber karbohidrat utama di beberapa bagian Indonesia.
Namun sayang, konsumsinya sebagai pangan pokok menurun. Selain singkong dan umbi-umbian, sumber karbohidrat lain yang juga tumbuh di Indonesia juga menghasilkan gas rumah kaca jauh lebih kecil dari beras, di antaranya, kentang sekitar 0,46 kilogram, jagung sekitar 1,7 kilogram, dan pisang sekitar 0,86 kilogram.
Namun faktanya pemerintah akan membuka lahan baru melalui program food estate salah satunya di Kalimantan dan Papua. Di wilayah Kalimantan Tengah, food estate dibangun pada lahan bekas pengembangan lahan gambut (PLG) yaitu di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas dengan luas 30,000 hektare.
Menurut data WALHI, di Papua akan dialokasikan lahan food estate antara lain, sekitar 1,01 juta hektar di Merauke, 400,000 hektar di Mappi, 32,000 hektar di Boven Digoel, dan 4,650 hektar di Yahukimo yang mendapat kritik dari para aktivis lingkungan karena mengancam keragaman hayati dan hak-hak masyarakat adat.
Lahan pertanian produksi beras terbukti menghasilkan emisi methane (CH4) cukup tinggi, sehingga berkontribusi pada tingginya emisi gas rumah kaca. “Selain itu, berdasarkan penelitian, produksi beras dalam skala massal dan intensif juga cenderung menciptakan ketahanan pangan yang rentan terhadap perubahan lingkungan, seperti serangan hama dan bahkan perubahan iklim” kata Mulia, yang merujuk pada publikasi terbarunya.
Studi yang dilakukan CIFOR pada Juni 2021 bertajuk “Mengaitkan Pangan, Gizi, dan Lingkungan Hidup di Indonesia: Sebuah Perspektif mengenai Sistem Pangan Berkelanjutan”7 menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki keragaman hayati tinggi.
“Sayangnya, konsumsi makanan di masyarakat saat ini malah makin berkurang keragamannya. Cita-cita mencapai gizi seimbang dari pangan yang beragam jadi sulit dicapai karena makanan kita hanya itu-itu saja” tutur Mulia.
Selain itu, keseimbangan makanan bisa tercermin pada keragaman bahan pangan yang tersaji pada isi piring. Ketika pilihan makanan di piring kita tidak seimbang, maka kita perlu ingat bahwa isi piring ini berasal dari ekosistem di sekitar kita. “Dan ketidakseimbangan isi piring kita, akan berdampak pada ketidakseimbangan ekosistem. Hal ini karena setiap makanan yang kita tempatkan di piring kita, berasal dari sebuah proses produksi dan distribusi bahan pangan yang punya dampak lingkungan dan sosial, termasuk di antaranya, menghasilkan emisi karbon,” tutur Mulia.
Mulia menyarankan, berusaha mengkonsumsi pangan yang lestari, atau berkelanjutan (sustainable diet) menjadi penting agar setiap orang bisa berkontribusi langsung pada keberlanjutan sistem pangan, termasuk mengurangi efek rumah kaca dan bahkan perampasan hak-hak masyarakat lokal. Mengurangi makan nasi, dan menggantikan porsi yang dikurangi dengan makanan tinggi asupan zat gizi mikro, seperti berbagai jenis ikan, dan berbagai macam sayuran berwarna-warni, bukan hanya baik untuk kesehatan, tapi juga untuk kelestarian alam.
“Kita kan gak mau ya, pilihan makanan kita ikut menjadi alasan pembukaan lahan yang menyebabkan buruknya perubahan iklim dan terusirnya masyarakat adat dari tanah leluhur mereka,” tegas Mulia.
Penulis: Irsyan Hasyim
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post