Geger, mungkin itu kata yang tepat menggambarkan kekagetan masyarakat di dunia maya merespon pengumuman Presiden Joko Widodo berusaha mewariskan kebijakan kesehatan masyarakat dengan mengendalikan konsumsi produk tembakau.
Dalam Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 25 tahun 2022 tertuang Rancangan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012 dengan pemrakarsa Kementerian Kesehatan mencantumkan beberapa pokok materi muatan.
Pertama, penambahan luas prosentase gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada kemasan produk tembakau.
Kedua, menambahkan ketentuan rokok elektronik.
Ketiga, pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau di media teknologi informasi.
Keempat, pelarangan penjualan rokok batangan.
Kelima, pengawasan iklan, promosi, sponsorship produk tembakau di media penyiaran, media dalam dan luar ruang, dan media teknologi informasi.
Keenam, penegakan dan penindakan.
Ketujuh, media teknologi informasi serta penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Dari ketujuh poin ini, satu poin yang membuat geger adalah tentang pelarangan penjualan rokok batangan. Kondisi ini terjadi karena Presiden Joko Widodo mengumumkan secara langsung melalui saluran resmi Sekretariat Presiden, bahwa pelarangan ini untuk menjaga kesehatan masyarakat.
“Di beberapa negara [penjualan rokok ketengan/batangan] sudah dilarang,” kata Jokowi dikutip dari siaran resmi Sekretariat Presiden, Selasa (27/12/2022).
Jokowi mengakui selama ini kebijakan penjualan rokok atau produk tembakau di Indonesia memang masih longgar. Hal ini tercermin berdasarkan data dalam kurun sepuluh tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah perokok anak usia 10-18 tahun. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, bahkan dapat dikategorikan kondisi darurat perokok anak.
Data Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) tahun 2018 menyebutkan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun naik dari 7,2 persen pada 2013, menjadi 9,1 persen pada 2018. Padahal RPJMN 2014-2019 menargetkan perokok anak harus turun menjadi 5,4 persen pada 2019.
Selain aturan penjualan batangan, aturan lain yang memasuki fase urgensi adalah pengendalian iklan dan sponsorship. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey 2019 sebanyak 65,2 persen pelajar melihat iklan rokok di tempat penjualan, 60,9 persen pelajar melihat iklan rokok di luar ruang, 56,8 persen pelajar melihat iklan rokok di televisi dan 36,2 persen pelajar melihat iklan rokok di internet.
Rumusan Kepres No 25 tahun 2022 ini bisa menjadi langkah terakhir Jokowi untuk menuntaskan pengendalian perokok anak dengan melakukan finalisasi dan ketuk palu bagi revisi PP 109 tahun 2012 yang terabaikan lebih dari 4 tahun.
Asal tahu saja, penundaan revisi PP 109/2012 menunjukkan kegagalan pemerintah melindungi anak Indonesia. Berdasarkan catatan Prohealth.id, proses revisi PP 109/2012 sudah direncanakan pada 2018 merujuk Keppres No. 9/2018.
Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari menjelaskan penyelesaian revisi PP 109/2012 tak kunjung terjadi. Sebagai pemrakarsa, Kementerian Kesehatan seharusnya bekerja ekstra keras menjadi garda terdepan melindungi kesehatan masyarakat. Sayangnya, pemerintah terkesan abai terhadap pengendalian konsumsi rokok di Indonesia. Oleh karena itu, Lisda menjelaskan bahwa kunci utama menebus kegagalan tersebut adalah dengan segera merevisi PP 109/2012.
Konsumsi rokok batangan yang dominan
Keputusan Jokowi melarang rokok batangan selaras dengan temuan Center of Human and Development ITB-Ahmad Dahlan. Peneliti CHED ITB-AD, Roosita Meilani Dewi dalam konferensi pers ‘PMK Cukai Hasil Tembakau 2023: Untung dan Rugi’ menyatakan, konsumsi rokok batangan merupakan contributor terbesar pada angka perokok di Indonesia.
“Pada kelas masyarakat menengah tengah, menengah atas dan kaya, relatif tidak terpengaruh oleh konsumsi rokok satu batang per hari,” jelas Roosita.
Selain ingin menuntaskan janji RPJMN menurunkan prevalensi perokok anak, Presiden Jokowi sudah menargetkan dalam pendapatan cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2023 mencapai Rp232,5 triliun. Target ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 130/2022 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2023. Penetapan target ini tentunya dirumuskan setelah memutuskan untuk menaikkan cukai rokok rata-rata 10 persen pada 2023 dan 2024.
Menurut Abdillah Ahsan, Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), pengendalian produk tembakau khususnya rokok melalui cukai atau pelarangan penjualan ketengan tidak akan mencederai pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi akan terjamin dengan masyarakat yang sehat dan kualitas hidup yang panjang.
“Kesehatan masyarakat itu tidak boleh dikorbankan demi penerimaan negara atau pertumbuhan industri rokok,” ujar Abdillah.
Berdasarkan temuan Dr. Soewarta Kosen melalui dokumen ‘Economic Cost of Tobacco’, ada kerugian ekonomi sampai Rp378,75 triliun sakit akibat rokok, dibandingkan dengan penerimaan cukai rokok yang sangat kecil hanya Rp103,02 triliun.
Kondisi Indonesia Darurat Rokok terbukti dalam data Riskesdas tahun 2013, yang menemukan perokok tertinggi di Indonesia disumbang dari kelompok penduduk miskin sebanyak 27,3 persen, dibandingkan kelompok penduduk berpenghasilan menengah ke atas atau yang terkaya dengan persentase 19,5 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 juga menyebut, konsumsi rokok mendominasi konsumsi rumah tangga termiskin.
Dari sisi kesehatan, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) menemukan dampak jangka panjang rokok terhadap anak adalah mengalami stunting.
Untuk itu, Abdillah yakin bahwa pengendalian penjualan eceran dan cukai rokok merupakan solusi untuk pengendalian perokok. Langkah taktis yang seharusnya segera diambil pemerintah adalah melakukan simplifikasi pula terhadap golongan cukai rokok (layer).
Akankah kebijakan pengendalian tembakau ini berubah? Menurut Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH., Ketua Umum Komite Nasional Pengendalian Tembakau, segala sesuatu masih mungkin terjadi dalam dua tahun ke depan. Apalagi, iklim tahun politik menambah nuansa ketidakpastian terhadap kebijakan kesehatan masyarakat.
Oleh karenanya, hanya ada satu cara untuk menjamin kebijakan pengendalian konsumsi tembakau berlangsung secara optimal yakni memperkuat sosialisasi dan kesadaran publik terhadap urgensi melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya rokok.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post