Jakarta, Prohealth.id – Inisiator LaporCovid-19 Irma Hidayana mengapresiasi respons pemerintah yang akhirnya membatalkan vaksin gotong royong individu berbayar.
Namun hal itu, menurut Irma belum cukup, karena Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2021 yang mengatur soal pelaksanaan vaksinasi Covid-19 gotong royong individu berbayar belum dicabut oleh Menkes Budi Gunadi Sadikin.
“Saya kira kita masih harus waspada dan tetap mendesakkan dicabutnya PMK tersebut agar di kemudian hari tidak disalahgunakan dan digunakan kembali sebagai basis hukum untuk menyelenggarakan vaksinasi berbayar,” kata Irma dalam konferensi pers daring Koalisi Warga Akses Kesehatan, Minggu (18/7/2021).
Hal itu menurut Irma didasarkan atas kebijakan pemerintah yang selalu menunjukkan hal berbeda dengan apa yang dilakukan. “Tidak selalu sama dengan kebijakan riil yang diambil di lapangan,” katanya.
Oleh karena itu, Irma mengingatkan presiden dan jajarannya untuk segera mencabut PMK Nomor 19/2021 dan menggantinya dengan PMK yang baru dengan menghilangkan unsur vaksinasi berbayar.
“Kami juga ingin menyampaikan bahwa vaksin berbayar tidak etis,” kata Irma
Tidak etis menurut Irma karena ditengah keterbatasan vaksin. Meskipun pemerintah mengaku telah memiliki alokasi vaksin sebanyak 480 juta dosis, namun perlu dikawal pola distribusinya. Pasalnya, fakta di lapangan menunjukkan vaksin masih sulit dijangkau masyarakat.
“Jadi masih banyak orang yang ingin di vaksin tapi belum bisa divaksin, karena vaksinnya tidak ada”, terang Irma.
Khusus di kota-kota besar seperti Jakarta, Irma mengatakan tidak sulit untuk mendapatkan informasi terkait sentra vaksinasi. Upaya yang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan DKI atau dinas kesehatan di beberapa provinsi lainnya sudah cukup baik.
“Namun yang terjadi di luar jakarta tidak demikian. Bahkan di pinggiran Jakarta ketika orang mendaftar, mengakses untuk vaksin di lokasi-lokasi yang telah ditentukan itu masih kesulitan,” ungkap Irma.
Kesulitannya bukan hanya saat mendaftar, tetapi juga dibatasi oleh kuota. Sudah jadi rahasia umum, di sejumlah kota terjadi pembatasan kuota. “Kuotanya kebanyakan habis,” katanya.
GOTONG-ROYONG
Irma berpendapat, ketika PT Kimia Farma sempat mengajukan agar apoteknya digunakan sebagai lokasi untuk vaksinasi berbayar sebagaimana amanat PMK no.19/2021, hal itu menimbulkan kecemburuan sosial. “Ini menyerobot antrean ibaratnya,” katanya.
Oleh karena itu, apabila memang ingin membantu dan mendorong percepatan herd immunity sesuai harapannya pemerintah, Irma mengusulkan agar PT Kimia Farma bersama apotek-apatek lain segera membuka diri secara gotong royong untuk menyukseskan vaksinasi gratis.
“Karena yang diberikan gratis oleh pemerintah dosis vaksinnya saja. Tetapi tenaga kesehatan, nakes dan mereka yang bekerja secara administratif untuk menyukseskan vaksinasi ditanggung oleh penyelenggara,” ujar Irma.
Ini sekaligus wujud kontribusi dari perusahaan-perusahaan yang selama ini getol mengkampanyekan vaksinasi berbayar. Menurut Irma, jika ingin berkontribusi, seharusnya mereka merelakan toko, apoteknya, termasuk mendedikasikan karyawannya membantu pemerintah dalam mempercepat vaksinasi.
“Khusus pelibatan karyawan tentu saja dengan memberikan insentif sebagai bentuk kontribusi mereka,” kata Irma.
Hal itu sangat mungkin dilakukan, mengingat banyak negara telah menggelar vaksinasi di sejumlah pusat layanan kesehatan, seperti apotek dan klinik, yang semuanya dilakukan secara gratis.
“Ketika semua penduduk telah divaksinasi, bolehlah mereka menjual vaksin itu dengan syarat vaksin sudah surplus dan stok vaksin berlebih, maka vaksinasi Covid-19 boleh dibuka untuk pelayanan berbayar,” terang Irma.
PPKM DARURAT
Irma juga mengapresiasi permintaan maaf pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan selaku Koordinator PPKM Darurat Provinsi Jawa-Bali. Namun, Irma mengatakan, permintaan maaf tak cukup tanpa adanya aksi nyata dalam menekan laju penularan Covid-19.
“Kita ingin melihat permintaan maaf itu dibarengi dengan aksi nyata. Langkah yang luar biasa dalam menyelesaikan atau menekan dan mengendalikan angka penularan Covid-19 di tingkat komunitas,” kata Irma
Salah satu cara sederhana, yakni menekan laju mobilitas warga untuk menurunkan laju penularan di tingkat komunitas, menurut Irma merupakan pilihan tepat untuk bisa mengacu ke tahapan selanjutnya.
“Dengan pembatasan gerak masyarakat, setidaknya 2 minggu atau 2 x 2 minggu akan memudahkan petugas tracing dan gerakan testing semakin lebih efektif,” katanya.
Jika hal itu dilakukan, niscaya jumlah pasien yang berujung di rumah sakit akan berkurang jumlahnya. Namun disaat yang bersamaan, intervensi vaksinasi harus tetap dilakukan secara serempak.
“Harus dipastikan setiap warga negara memiliki akses yang sama dalam vaksinasi,” katanya.
675 WARGA MENINGGAL SAAT ISOMAN
Di kesempatan yang sama, Irma Hidayana melaporkan banyaknya warga yang meninggal saat melakukan isolasi mandiri. Beberapa diantaranya sempat mengalami penolakan dari sejumlah rumah sakit.
“Teman-teman tim data di Laporcovid menemukan sejak Juni sampai hari ini terdapat setidaknya 675 warga yang melakukan isoman dan meninggal dunia,” katanya.
Sementara itu, dalam kurun waktu belum genap sebulan, tenaga kesehatan yang meninggal dunia akibat terpapar Covid-19 mencapai 206 orang. Jika dibandingkan secara keseluruhan, sejak pandemi melanda Indonesia satu setengah tahun lalu, menurut Irma, sebanyak 1371 tenaga kesehatan telah kehilangan nyawanya.
“Selain itu, kami mendapatkan informasi soal kesulitan mendapatkan akses untuk mendaftar vaksinasi. Masih susah di beberapa daerah,” terang Irma.
TERKESAN DIADU DOMBA
Laporcovid-19 menyaksikan maraknya represifitas aparat ketika pemerintah menertapkan PPKM Darurat. “Kita memiliki masalah yang luar biasa serius, karena kita sesama masyarakat seperti dibenturkan,” kata Irma.
Irma kemudian bertanya, apakah PPKM darurat akan dilanjutkan? Jika dilanjutkan, harus diingat bahwa ada banyak narasi yang harus diperhatikan. “Seperti, enak saja PPKM darurat dilakukan, terus kami gimana? Makan apa? Kami dirumah gak bisa ngapa-ngapain,” katanya.
Saat ini, sejumlah elemen masyarakat sipil menyerukan pengetatan demi mengurangi mobilitas warga seiring meroketnya kasus positif Covid-19. “Seolah-olah ini adalah dua hal yang berbeda. Seolah-olah ketika mendesak pemerintah mengadakan pengetatan mobilitas warga akan bertentangan dengan masyarakat yang menganggap pengetatan akan mengahalangi mereka,” terang Irma.
Irma mengimbau agar mereka tidak dibenturkan dengan sesama masyarakat. Saat ini pemerintah telah memiliki dasar hukum, berupa UU Kekarantinaan Kesehatan yang menjamin bahwa pengetatan wilayah, karantina wilayah seharusnya diikuti dengan pemenuhan kebutuhan dasar.
“Jadi apa yang selama ini dilakukan ketika wilayah-wilayah dibatasi, wilayah disekat, saya asumsikan itu mengimplementasikan sebagian dari UU Karantina Kesehatan,” kata Irma.
Hanya saja, ketika implementasi ditegakkan, justru masyarakat jadi korban seiring belum terpenuhinya kebutuhan dasar mereka. “Bantuan sosial belum cair dan apakah bantuan sosial itu bisa dikategorikan sebagai bantuan pemenuhan dasar?” tanya Irma.
Irma lalu mengingatkan, bahwa beberapa waktu lalu ketika pandemi merebak di Jakarta, pemerintah justru menaikkan tarif dasar listrik. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB ) juga diberlakukan.
“Pada saat itu, tarif listrik justru naik. Ini kan luar biasa menyiksa warga sendiri,” kata Irma.
Jadi seharusnya ketika penyekatan terjadi di banyak titik di Jawa hingga Bali, Irma menyerukan tentang pentingnya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.
“Sehingga masyarakat yang diam di rumah, tidak bepergian kemana-mana dan itu mengurangi risiko penularan di komunitas. Ini sekaligus memberi rasa nyaman, rasa aman terhadap kebutuhan ekonomi, pemenuhan kebutuhan sehari-hari keluarga,” tandasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post