Dilansir dari wawancara media kepada Presiden Joko Widodo, beliau menegaskan bahwa rencana aturan tersebut diusulkan demi menjaga kesehatan masyarakat Indonesia. Selain pelarangan penjualan rokok batangan, Keputusan Presiden (Keppres) tersebut turut menekankan pada beberapa hal, seperti pengawasan secara ketat untuk penjualan produk tembakau, penambahan luas persentase gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada kemasan produk tembakau, ketentuan mengenai rokok elektronik, pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau di media penyiaran, media teknologi informasi, media dalam dan luar ruang, serta penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Pelarangan penjualan rokok batangan memang sudah seharusnya diterapkan di Indonesia, mengingat prevalensi perokok anak dan remaja di Indonesia masih menjadi urgensi yang patut untuk segera ditangani. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan bahwa persentase perokok anak usia 10-18 tahun di Indonesia terus mengalami peningkatan dari 7,2 persen pada tahun 2013 menjadi 9,1 persen pada tahun 2018. Padahal, target menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 8,7 persen pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2024 sudah di depan mata. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2021 mengatakan apabila hal ini tidak segera diatasi, prevalensi perokok anak diproyeksikan dapat terus membiak hingga 30 persen pada tahun 2030. Belum adanya regulasi khusus yang mengatur pembatasan penjualan rokok secara eceran per batang di Indonesia membuat perokok aktif lebih sulit untuk berhenti merokok dan dapat memunculkan perokok baru anak-anak maupun remaja.
Penjualan rokok secara batangan membuat anak masih dengan mudah menjangkau rokok. Hal ini akan menjadi ancaman dan hambatan dalam pencapaian RPJMN 2024. Hasil studi Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) pada tahun 2021 menunjukkan bahwa masih terdapat 8.371 warung rokok eceran di DKI Jakarta, dimana secara rata-rata terdapat sekitar 15 warung rokok eceran setiap 1 km2 berdasarkan luas wilayah dan terdapat kurang lebih 1 warung rokok eceran setiap 1.000 penduduk. Kondisi yang lebih memprihatinkan lagi, terdapat kurang lebih 8 warung rokok eceran di setiap area sekitar sekolah di DKI Jakarta, bahkan 61,2 persen diantaranya berlokasi kurang dari 100 meter dari area sekolah. Realita ini menunjukkan bahwa anak dan remaja di Indonesia dikepung oleh barang berbahaya setiap saat.
Pelarangan penjualan rokok batangan menjadi sangat penting karena warung rokok eceran yang masih sangat padat dan dapat dengan mudah diaksesterutama oleh anak-anak dengan harga hanya Rp1.500 per batang. Ironinya, terdapat 11,3 persen warung pernah melakukan promosi rokok batangan berupa gratis produk lain serta terdapat 58,1 persen warung memperbolehkan konsumen untuk membeli rokok batangan secara berhutang. Rokok pun menjadi produk dengan penjualan tertinggi dibandingkan komoditas lain, seperti sembako maupun jajanan. Bujuk rayu industri rokok memang semakin masif dilayangkan dari berbagai sisi untuk menarik konsumen, terlebih kepada para anak dan remaja yang menjadi target untuk terus melanggengkan bisnis industri ini.
Tidak hanya mengancam anak dan remaja, secara luas konsumsi rokok juga berkaitan dengan penurunan kesejahteraan keluarga dan dapat memengaruhi kualitas sumber daya manusia (SDM). Hal ini turut didukung pernyataan Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani, yang mengutarakan bahwa konsumsi rokok menjadi konsumsi rumah tangga terbesar kedua setelah beras, bahkan melebihi konsumsi protein, seperti telur dan ayam. Temuan Dartanto et al. (2019) juga menunjukkan bahwa keluarga penerima bantuan sosial justru memiliki kecenderungan merokok lebih tinggi jika dibandingkan dengan keluarga bukan penerima bantuan sosial. Harga rokok yang masih terjangkau termasuk penjualan secara batangan membuat masyarakat pra-sejahtera ini tetap mempertahankan pembelian rokok dan sangat sulit berhenti merokok. Hal ini tentu saja akan membuat mereka tetap terjebak dalam kemiskinan, terlebih jika timbul masalah kesehatan akibat perilaku merokoknya, baik dalam produktivitas maupun biaya pengobatan yang harus dikeluarkan. Akibatnya, kesejahteraan keluarga tidak akan terwujud jika mereka terus membakar uang dan tetap loyal mengonsumsi produk mematikan tersebut.
Harapan kedepannya, Keppres No. 25 Tahun 2022 tentang pelarangan penjualan rokok batangan ini dapat segera direalisasikan di tahun 2023 sebagai bentuk upaya penekanan kerugian yang ditanggung dari bahaya akibat rokok dan merupakan salah satu cara pengendalian untuk menurunkan prevalensi perokok di Indonesia, khususnya meminimalisir dampak bagi masyarakat dengan tingkat perekonomian menengah ke bawah dan melindungi kelompok anak dan remaja dari bahaya akibat konsumsi rokok. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, perlu mendukung opsi pelarangan penjualan rokok secara batangan pada revisi Peraturan Pemerintah (PP) 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan sebagai bentuk upaya memperkuat kebijakan dalam melindungi masyarakat, terutama anak-anak dan remaja, terhadap bahaya konsumsi rokok bagi kesehatan yang justru belum bisa berjalan optimal.
Sampai saat ini, belum ada tindak lanjut dari proses revisi PP 109 Tahun 2012 oleh pemerintah. Padahal, proses revisi ini menjadi sangat penting mengingat peraturan yang sudah terlalu usang, sementara produk rokok terus berkembang, iklan, promosi, dan sponsor rokok semakin masif, prevalensi perokok anak semakin meningkat, dan semakin padatnya warung-warung yang menjual rokok secara batangan. Perlu ada regulasi terbaru yang lebih kuat dalam kebijakan pengendalian konsumsi rokok di Indonesia. Indonesia sendiri saat ini masih belum meratifikasi World Health Organization Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC). Maka, PP 109/2012 sebagai salah satu payung hukum kebijakan pengendalian konsumsi rokok yang harus segera direvisi, diantaranya memasukkan regulasi pelarangan penjualan rokok batangan.
Selain dari perencanaan kebijakan, implementasi di lapangan juga menjadi hal yang patut diperhatikan bersama. Indonesia masih menghadapi berbagai macam tantangan dan kebijakan tidak mampu berjalan optimal apabila tidak adanya dukungan pemerintah untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Pemerintah harus tegas menindaklanjuti terkait pengawasan dan sanksi apabila larangan penjualan rokok batangan ini akan dijalankan. Keterlibatan pemerintah daerah pun turut menjadi kunci kesuksesan dari implementasi kebijakan ini. Kebijakan ini diharapkan dapat segera direalisasikan dan pemerintah harus siap menutup celah sebanyak-banyaknya untuk menghindari keterjangkauan masyarakat, khususnya anak-anak dan remaja terhadap pembelian rokok secara batangan. Kita perlu terus mendukung dan mengawal proses regulasi ini, jangan sampai rencana baik pemerintah dalam meningkatkan perlindungan terhadap kesehatan masyarakat sekadar angan belaka.
Penulis: Fadhilah Rizky Ningtyas, S.K.M, Peneliti Muda Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI)
Discussion about this post