Jakarta, Prohealth.id – Angka perundungan anak di media digital sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan dan harus menjadi perhatian semua pihak untuk melakukan upaya dalam menanggulanginya salah satunya dengan menggunakan media sosial.
Sebuah survei dari Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2018 tentang penetrasi internet dan perilaku pengguna internet mengungkapkan bahwa 49 persen dari 5.900 responden mengaku pernah diintimidasi secara daring, dimana Twitter menjadi medium terjadinya cyberbullying atau perundungan media sosial dengan kasus terbanyak 42 persen.
Adapun upaya melindungi masyarakat melalui Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sudah diberlakukan. Namun upaya preventif secara mandiri oleh netizen juga perlu ditingkatkan, misalnya jangan menerima pertemanan dari orang yang tidak dikenal, membagikan informasi pribadi, hindari meng-install aplikasi dari tempat tidak resmi, hindari menggunakan fitur check-in, serta jangan mudah terprovokasi, dan bereaksi agresif. Bila sudah terjadi tindak perundungan digital, simpan pesan atau email sebagai bukti digital, log off dari situs atau tempat terjadi, blokir pesan dan jangan menanggapi mereka.
Margus Solnson, Head of Political, Press and Information Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia mengatakan saat ini korban perundungan digital anak-anak semakin banyak dan berdampak panjang, mulai dari depresi hingga bunuh diri. Jejak digital memang sulit dihilangkan, karenanya cyberbullying jauh lebih kejam dibandingkan perundungan yang lingkupnya dapat dilokalisasi. Oleh karena itu dia meminta jika sudah sangat meresahkan, korban dan keluarga harus segera melaporkan kejadian tersebut pada orang dewasa, orangtua atau pihak berwajib.
Margus menekankan teknologi digital berkembang pesat dan sangat membantu kehidupan kita, termasuk dan terutama proses belajar serta pekerjaan. Namun hal tersebut harus disikapi dengan bijaksana, karena teknologi mengandung potensi positif maupun negatif.
Dia berharap sesi ini mampu memberikan pencerahan dan motivasi untuk menggunakan kekuatan IoT melawan perundungan digital pada anak. Oleh karena itu, Margus berharap agar generasi muda pada khususnya mau menunjukkan kemampuan dengan mengikuti kompetisi EU Social DigiThon yang bertujuan menghasilkan platform digital pencegahan perundungan anak di dunia digital.
Ruby Alamsyah, Pendiri dan CEO Digital Forensic Indonesia (DFI) serta Penggagas Indonesian Cyber Crime Combat Center (IC4) menyadari bahwa angka pengguna internet di Indonesia semakin meningkat, namun banyak yang belum paham etika atau perilaku dalam mengidentifikasi hal-hal negatif dari internet. Oleh karena itu, penting bagi orangtua untuk memahami digital parenting, mendampingi, mengontrol dan mengawasi, membatasi jam main online.
“Aktifkan parenting control, pilihkan platform yang boleh dimainkan, dan sekaligus memberi pemahaman bagi anak untuk melindungi dirinya,” ujar Ruby.
Beberapa kategori cyberbullying adalah harassment alias pesan mengandung penghinaan, impersonation atau membuat akun palsu seseorang untuk mempermudah pelaku melancarkan aksinya, cyberstalking alias menguntit dan meneror, pencemaran nama baik, pemerasan, trolling alias membuat komentar yang menyakitkan, outing atau pura-pura menjadi teman tetapi kemudian mempermalukan korban, hingga doxing alias menyebarluaskan informasi pribadi secara online.
“Untuk melindungi anak kita, orangtua jangan melimpahkan tanggung jawab bergawai kepada anak, namun tetap mengawal dan mengawasi penuh terhadap apa yang diberikan kepada anak. Think before click, think before post. Ingat, internet adalah ranah publik,” tegas Ruby.
Lantas, bagaimana cara mengatasi cyberbullying pada anak jika dilihat dari potensi teknologi?
Menurut Fita Indah Maulani, Sekretaris Jenderal Asosiasi Internet of Things Indonesia (ASIOTI) teknologi selalu membawa dampak sosial. “Sering terjadi kesenjangan antar generasi, orang tua dianggap tidak melek teknologi sementara anak jauh lebih terampil bergawai,” ungkapnya.
Berdasarkan survei oleh Deloitte, Internet of Things (IoT) menduduki peringkat teratas dalam penggunaan teknologi. Internet of Things (IoT) adalah sebuah konsep dimana sebuah obyek tertentu memiliki kemampuan untuk mengirimkan data melalui jaringan tanpa adanya interaksi dari manusia ke manusia, atau pun dari manusia ke perangkat komputer. IoT utamanya mengoptimalkan fungsi komponen internet dan perangkat fisik, yaitu sensor dan aktuator.
Salah satu contoh IoT yang lekat dengan kehidupan kita adalah teknologi GPS atau Global Positioning System, dan smartphone yang bisa digunakan untuk remote TV atau AC. Bahkan CCTV juga dapat difungsikan untuk mengirimkan informasi – misalnya terjadinya kecelakaan di jalan raya – untuk langsung dihubungkan ke rumah sakit agar mengirimkan ambulans.
“Teknologi IoT memungkinkan kita terakses dengan setiap benda yang terhubung dengan internet, kapan pun dan dimana pun. Selain menjadi solusi di berbagai sektor kehidupan, IoT juga sangat berpotensi untuk diterapkan dalam upaya pencegahan tindak cyberbullying anak, misalkan untuk sistem keamanan sekolah,” tuturnya.
Fitur IoT dapat ditempatkan di area pribadi seperti kamar tidur atau kamar mandi, dengan mengaktifkan fungsi deteksi panas tubuh serta tingkat desibel untuk mengirimkan data dengan makna tertentu. Dalam konteks cyberbullying, teknologi ini akan mengirim sinyal kepada orang tua atau guru sekolah melalui komputer atau perangkat seluler, manakala sensor mendeteksi anomali di tingkat desibel yang tidak wajar, yang disebabkan oleh perundungan atau intimidasi.
Anak-anak dapat juga dilengkapi dengan wearable yang mampu mendeteksi sensor, baik itu GPS tracker atau panic button alert berupa jam tangan atau kalung, yang dapat difungsikan saat terdesak.
”Lindungi anak kita di dunia digital, salah satunya dengan tidak membagi foto atau menginformasikan keberadaan anak di media sosial. Kita tidak pernah tahu bahwa mungkin saja ada follower yang tidak dikenal, yang adalah pelaku kejahatan,” tutup Fita.
Oleh karena itu, jika masyarakat memiliki ide cemerlang terkait bagaimana IoT dapat diaplikasikan untuk menangkal cyberbullying, sampai 29 Oktober 2021 bisa mendaftar dan mengikuti Kompetisi EU Social DigiThon. Kompetisi ini terbuka bagi masyarakat umum, mulai dari siswa sekolah menengah, hingga perusahaan rintisan berbasis teknologi dan inkubator, baik secara individu maupun kelompok.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post