Jakarta, Prohealth.id – Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) dengan dukungan WHO Indonesia melaksanakan survei komunitas di 59 kabupaten/kota di 15 provinsi di Indonesia.
Survei ini dilaksanakan pada Juni- Agustus 2021 itu menyertakan 748 responden di 187 desa/kelurahan melalui metode survei telepon. Metode survei telepon dipilih untuk mengetahui informasi dari level akar rumput tentang persepsi masyarakat mengenai kebutuhan layanan kesehatan saat ini, perilaku mencari pertolongan kesehatan, hambatan mendapatkan perawatan yang mempengaruhi permintaan layanan, adaptasi layanan dan disrupsi layanan kesehatan berbasis masyarakat selama pandemi. Hasilnya, ada 64 persen responden yang mengaku ada perubahan dalam layanan fasilitas kesehatan (faskes) dalam tiga bulan terakhir.
Dalam riset ini CISDI merinci beberapa persoalan pandemi terhadap kesehatan, termasuk gangguan terhadap layanan kesehatan esensial, tingginya rasa takut terinfeksi Covid-19, kekhawatiran efek samping vaksin, dampak ekonomi pandemi terhadap masyarakat, hingga stigma yang kerap dihadapi kader kesehatan.
Olivia Herlinda selaku Direktur Kebijakan CISDI, menyatakan ada beberapa temuan CISDI yang mengafirmasi tingginya kecemasan publik akibat faskes yang sulit dicapai masyarakat selama pandemi.
Pertama, survei menemukan layanan kesehatan dasar yang dibutuhkan tetapi tidak dapat diakses.
Kedua, akses untuk persalinan, pemeriksaan kehamilan, imunisasi, dan kontrasepsi/keluarga berencana menjadi layanan yang dilaporkan paling dapat diakses ketika dibutuhkan oleh masyarakat. Kader kesehatan dan bidan desa memiliki peranan penting dalam menjaga layanan-layanan tersebut dapat diakses oleh masyarakat.
“Selama pandemi Covid-19, beberapa wilayah melakukan penyesuaian dengan melakukan layanan berbasis door to door atau layanan keliling yang dilakukan oleh kader kesehatan dan bidan desa,” jelas Olivia pada kegiatan CISDI, Senin (25/10/2021).
Pada sisi lain sejumlah layanan kesehatan darurat, operasi yang bersifat pilihan, pengobatan penyakit kronis, dan kesehatan mental justru menjadi layanan yang dilaporkan paling tidak dapat diakses oleh masyarakat ketika dibutuhkan. Tidak tersedianya layanan tersebut di fasilitas kesehatan terdekat atau fasilitas kesehatan mengalami kelebihan kapasitas menjadi alasan yang dilaporkan oleh responden. Temuan lain yang juga memprihatinkan, adalah wilayah Papua masih menjadi provinsi dengan layanan kesehatan yang tidak terpenuhi.
Diah Saminarsih selaku Senior Advisor on Gender and Youth for The Director-General of WHO dan Pendiri CISDI, menyebut survei yang dilakukan WHO Indonesia dan CISDI ini menjadi penting untuk digunakan sebagai landasan strategi-strategi selanjutnya, baik untuk komunikasi atau kebijakan kesehatan karena layanan kesehatan esensial adalah pintu utama akses kesehatan masyarakat.
“Karenanya, dibutuhkan pendekatan whole-society dan whole-of-government untuk mewujudkan hal tersebut,” kata Diah.
Shalala Ahmadova sebagai Incident Manager for COVID-19 WHO Indonesia, menyatakan survei yang dilakukan WHO menunjukkan 94 persen layanan kesehatan mengalami gangguan saat pandemi. Di saat yang sama, perilaku masyarakat untuk mencari layanan kesehatan juga berubah karena rasa takut, stigma, dan misinformasi.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi Aceh Iman Murahman mengakui sangat tertarik dengan pendekatan ke warga. Rencana anggaran kesehatan memang salah satunya melalui pendekatan ke warga. Namun kepercayaan pada upaya penanganan wabah tidak terjadi di wilayah Aceh.
“Puskesmas berada di bawah kontrol pemerintah daerah masing-masing sehingga saat kita membuat program, itu juga tidak terjadi karena kita (dinas kesehatan daerah) tidak punya kekuatan membuat reward dan punishment, supaya mereka (puskesmas) menjalankan program pemerintah pusat itu,” jelasnya.
Berdasarkan temuan survei, CISDI merekomendasikan pemerintah untuk:
Pertama, pemerintah harus memperkuat dan mengoptimalisasi kesiapsiagaan dan ketangguhan puskesmas dengan memastikan aksesibilitas, ketersediaan, dan kecukupan layanan kesehatan esensial, logistik, obat, alat kesehatan, dan tenaga kesehatan terlatih.
Kedua, pemerintah wajib mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk tenaga kesehatan dan kader kesehatan, baik berupa dukungan APD, pelatihan, supervisi dan bimbingan teknis berkala, dan insentif finansial.
Ketiga, pemerintah harus memperkuat dan membangun manajemen pandemi di tingkat masyarakat, termasuk surveilans serta komunikasi risiko dan informasi kesehatan yang integratif, responsif dan efektif, dengan mengikutsertakan tenaga kesehatan, kader kesehatan, dan aktor masyarakat.
Keempat, pemerintah wajib melakukan mobilisasi sumber daya untuk mendukung masyarakat bertahan hidup dalam situasi pandemi.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post