Jakarta, Prohealth.id – Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menetapkan Status Keadaan Tertentu Darurat Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada hewan ternak melalui Surat Keputusan Kepala BNPB Nomor 47 Tahun 2022. Padahal perayaan Lebaran ini kemungkinan akan ditetapkan pada 11 Juli 2022 mendatang.
“Menetapkan: Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana tentang penetapan status keadaan tertentu darurat penyakit mulut dan kuku,” bunyi Surat Keputusan Kepala BNPB Nomor 47 Tahun 2022.
Surat tersebut ditanda tangani oleh Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto S.Sos., M.M., dengan menetapkan enam poin.
Pertama, menetapkan Status Keadaan Tertentu Darurat Penyakit Mulut dan Kuku.
Dua, penyelenggaraan Penanganan Darurat pada masa Status Keadaan Tertentu Darurat Penyakit Mulut dan Kuku sebagaimana dimaksud pada diktum kesatu dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tiga, adalah penyelenggaraan Penanganan Darurat sebagaimana dimaksud pada diktum kedua dilakukan dengan kemudahan akses sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai penanggulangan bencana.
Empat, kepala daerah dapat menetapkan status keadaan darurat penyakit mulut dan kuku untuk percepatan penanganan penyakit mulut dan kuku pada daerah masing-masing.
Lima, segala biaya yang dikeluarkan sebagai akibat ditetapkannya Keputusan ini dibebankan pada APBN, Dana Siap Pakai yang ada pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dan sumber pembiayaan lainnya yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Enam poin keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan sampai dengan tanggal 31 Desember 2022, dengan ketentuan apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.
Penyebaran PMK Kian Meluas
Saat penetapan Status Keadaan Tertentu Darurat PMK pada hewan ternak, angka penularan PMK per Jumat (1/7/2022) pukul 12.00 WIB telah mencapai 233.370 kasus aktif yang tersebar di 246 wilayah kabupaten/kota di 22 provinsi, menurut data dari Isikhnas Kementan.
Lima wilayah provinsi dengan kasus tertinggi adalah mulai dari Jawa Timur 133.460 kasus, Nusa Tenggara Barat 48.246 kasus, Jawa Tengah 33.178 kasus, Aceh 32.330 kasus dan Jawa Barat 32.178 kasus.
Berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan PMK, jumlah total akumulasi kasus meliputi 312.053 ekor hewan ternak yang sakit, 73.119 ekor hewan ternak dinyatakan sembuh, 3.839 ekor hewan ternak dipotong bersyarat dan sebanyak 1.726 ekor hewan ternak mati karena PMK.
Sebagai bentuk upaya penanganan darurat wabah PMK, pemerintah terus meningkatkan percepatan pelaksanaan vaksinasi untuk hewan ternak guna meningkatkan kekebalan dan mencegah terjadinya kematian. Adapun jumlah hewan ternak yang telah divaksin telah mencapai 169.782 ekor.
Sebelumnya, enteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa pemerintah akan melarang hewan hidup terutama sapi untuk bergerak di daerah yang terdampak PMK.
“Pertama untuk daerah berbasis level mikro seperti di penanganan Covid di PPKM, ini akan diberikan larangan hewan hidup dalam hal ini sapi untuk bergerak di daerah level kecamatan yang terdampak penyakit mulut dan kuku atau kita sebut dengan daerah merah,” ujar Airlangga.
Selain itu, pemerintah juga akan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penanganan PMK. Pemerintah juga melakukan pengadaan vaksin yang khusus untuk tahun ini, itu sekitar 28 atau 29 juta dosis dan seluruhnya akan dibiayai dengan dana dari KPCPEN.
Dia menjelaskan Presiden Jokowi sudah memberikan arahan untuk mempersiapkan obat-obatan, vaksinator, dan mekanisme keluar masuk peternakan. Menurut Airlangga, pengawasan biohazard melalui disinfektan penting untuk terus dilakukan. “Selanjutnya terkait dengan pergantian terutama terhadap hewan yang dimusnahkan ataupun dimatikan paksa, pemerintah akan menyiapkan ganti terutama untuk peternak UMKM sekitar Rp10 juta per sapi,” ucap Airlangga.
Sementara itu, Kepala BNPB Suharyanto dalam keterangannya mengatakan bahwa pihaknya akan segera berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait dan turun langsung ke lapangan untuk mengatasi permasalahan PMK di Tanah Air sehingga masalah tersebut dapat diselesaikan dapat waktu dekat.
“Setelah ini akan dilaksanakan rapat-rapat koordinasi dan turun ke daerah, khususnya daerah-daerah yang merah, sehingga mohon dari aparat pemerintah daerah, para gubernur, bupati, wali kota menyiapkan sehingga kita bisa bersama-sama menangani penyakit mulut dan kuku pada ternak di negeri kita ini secepat mungkin,” tandasnya.
Ssesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk melakukan lockdown tingkat mikro apabila 50 persens kecamatan dari suatu provinsi tersebut terinfeksi PMK atau masuk ke dalam zona merah. Artinya, tidak ada mobilisasi hewan ternak antar desa, kecamatan, sampai provinsi di zona tersebut untuk mengurangi potensi penularan.
“Jawa Timur sudah termasuk dalam zona merah. Terkait hewan kurban, saya ulangi lagi apabila kebutuhan tidak terpenuhi di satu daerah, tidak perlu mobilisasi hewan ternak antar daerah. Hal ini untuk menguatkan pelaksanaan lockdown,” jelas Suharyanto, Kepala BNPB.
Sama halnya dengan Satgas COVID-19, Satgas PMK terdiri dari seluruh unsur terkait seperti Dinas Peternakan, Dinas Kesehatan, Dinas Pehubungan, Diskominfo, BPBD, TNI/Polri, Persatuan Dokter Hewan, mahasiswa, dan unsur organisasi kemasyarakatn yang terkait kesehatan hewan.
Solusi Masa Depan dengan One Health
Team Leader, Australia Indonesia Health Security Partnership John Leigh mengatakan penyakit baru yang marak beredar di dunia selama 20 sampai 30 tahun terakhir adalah penyakit yang berasal dari hewan. Menurutnya sangat penting bagi semua negara untuk melakukan pendekatan terpadu yakni pemantauan kesehatan manusia, kesehatan hewan, dan kesehatan lingkungan.
“Kita berharap dapat mencegah lebih banyak lagi kejadian penyakit jika kita dapat memantau kondisi hewan di sekitar kita. Bukan berarti kita memantau semua hewan di seluruh dunia tetapi di mana manusia berinteraksi dengan hewan,” katanya.
Adanya interaksi antara manusia dan hewan menimbulkan risiko tinggi menyebarnya beberapa patogen dari hewan ke populasi manusia. Sehingga diperlukan pemantauan terhadap keduanya.
Namun Leigh menilai masih sangat sedikit sumber daya dan faktor penunjang lainnya yang bisa melakukan pemantauan tersebut.
“Sayangnya sangat sedikit sumber daya yang diberikan untuk kegiatan tersebut. Sama halnya di dalam hewan ternak ada sangat sedikit SDM dan faktor penunjang lainnya yang bertugas memantau kesehatan hewan dibandingkan dengan kesehatan manusia,” ucap Leigh.
Dia menilai butuh lebih banyak pendanaan untuk memantau kesehatan hewan, sehingga sistem pemantauan menjadi terpadu. Ada SDM yang memantau penyakit pada hewan, dan ada SDM yang memantau penyakit pada manusia.
Oleh karena itu, rencana pengembangan sistem One Health tidak hanya penting untuk mencegah pandemi, tetapi untuk mengatasi masalah keamanan pangan. Seperti resistansi antimikroba di mana antibiotik digunakan secara luas di bidang pertanian dan kemudian patogen menjadi kebal serta bahaya bagi kesehatan manusia.
“Kita memerlukan pendekatan gabungan yang melibatkan sektor pertanian dan sektor kesehatan manusia untuk mencegah hal ini. Begitupun dengan berbagai masalah lingkungan untuk menangani efek polusi, mencegah polusi, dan menghindari efek perubahan iklim,” ucap Leigh.
One Health menjadi salah satu cara untuk mengatasi beberapa masalah mendesak yang mempengaruhi dunia saat ini, mencegah pandemi berikutnya, mencegah resistensi antimikroba, dan memastikan bahwa setiap negara memiliki keamanan dan ketahanan pangan.
Oleh karena itu, One Health dibangun dengan sistem mencegah penyakit pada hewan berpindah ke manusia. Wakil Menteri Kesehatan dr. Dante Saksono Harbuwono pun mengatakan One Health menjadi salah satu upaya mencegah terjadinya outbreak di masa mendatang.
“One Health menjadi salah satu perhatian kita semua supaya tidak terjadi outbreak di masa datang dan tidak menjadi penyakit baru di masa yang akan datang,” katanya pada konferensi pers usai Side Event One Health.
Dante menekankan One Health bukan mengatasi penyakit yang sebelumnya ada dalam manusia tapi ada dalam hewan yang pindah ke manusia. Oleh karenanya, semua masyarakat harus terus berbenah diri, melakukan evaluasi, dan melakukan implementasi untuk membuat sistem ini menjadi isu yang penting di semua negara, terutama negara-negara yang kaya dengan keanekaragaman hewani dan hayati seperti Indonesia.
Meski demikian, yang kini menjadi tantangan dalam implementasi One Health adalah kolaborasi dan finansial. Dia mengatakan, kolaborasi penting supaya lintas departemen dan lembaga lebih memperhatikan One Health. Sehingga diharapkan One Health menjadi isu prioritas di beberapa tempat yang memang menunjukkan fluktuasi peningkatan kasus tinggi yang disebabkan oleh hewan.
Terkait finansial, dr. Dante menjelaskan memang masih menjadi pembahasan di beberapa tempat atau pertemuan. “Jadi memang ini harus dikolaborasikan untuk One Health,” ucap dr. Dante.
Selain itu yang perlu diperhatikan, lanjutnya, adalah penularan penyakit dari hewan liar ke hewan yang ada di pemukiman manusia. Hal tersebut menjadi bahaya ketika menular ke manusia. Adapun yang tak kalah penting adalah penguatan surveilans. Sistem surveilans untuk penyakit-penyakit yang berasal dari hewan ini menjadi salah satu indikator kuat yang harus diperbaiki.
“Kalau nanti di tingkat pusat sudah teridentifikasi penyakit berdasarkan surveilans yang kuat, maka kebijakan One Health bisa diimplementasikan ke tingkat desa,” tutur dr. Dante.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post