Jakarta, Prohealth.id – Rokok elektronik kian menjadi tren di kalangan anak-anak maupun remaja tanpa menyadari adanya ancaman kesehatan di masa depan.
Saat ini ketentuan rokok elektronik memang belum ada dalam aturan hukum tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012). Namun, Kementerian Keuangan telah menetapkan rokok elektronik sebagai barang kena cukai. Hal tersebut karena rokok elektronik berupa cairan dan alat pemanas dalam kesatuan hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL).
“Maka rujukan yang diambil adalah Undang-Undang tentang cukai. Sifat konsumsi barang tersebut perlu dikendalikan dan peredaran diawasi,” kata Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Suyanto, kepada Prohealth.id, Minggu, (18/7/2021).
Berarti, ucap dia, perlakuan untuk rokok elektronik harus sama seperti barang kena cukai lainnya, misalnya minuman beralkohol. “Artinya, tidak dapat dipasarkan atau beriklan sembarangan,” ucapnya.
Agus menjelaskan, tantangan bukan hanya pemasaran rokok elektronik yang masif. Namun karena adanya anggapan bahwa rokok elektronik bisa menjadi pengganti tembakau. “Sebaliknya, justru rokok elektronik tidak lebih aman dari rokok konvensional (tembakau),” ujarnya.
Menurut dia, variasi perisa rokok elektronik dalam likuid (cairan) bentuk manipulasi informasi yang mengabaikan kandungan zat kimia.
“Penambahan perisa dengan rasa-rasa yang populer mengindikasikan pada kelompok mana produk tersebut mengarah. Inilah pentingnya regulasi yang komprehensif melarang rokok elektronik,” katanya.
Agus mengatakan, jika merujuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka hak konsumen atas informasi yang jelas dalam rokok elektronik telah tercampak. Sebab, kata dia, konsumen tidak mendapat hak atas informasi. Ia menjelaskan, kandungan dalam rokok elektronik yang juga berisi nikotin memiliki dampak kecanduan.
“Rokok elektronik juga mengabaikan hak atas keamanan dan keselamatan mengonsumsi produk. Kandungan kimiawi berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan,” katanya.
SELAYANG PANDANG ROKOK ELEKTRIK
Mengutip keterangan di situs web Kementerian Kesehatan, rokok elektronik termasuk salah satu hasil produksi tembakau lainnya (HPTL) atau sintetiknya. Adapun HPTL ini dengan atau tanpa nikotin dan penambah rasa. Cara menggunakan, yakni mengisap uap atau cairan dari alat pemanas elektronik.
Rokok elektronik dikenal dengan berbagai sebutan setiap produk di pasaran. Berbagai rokok elektronik atau akrab disebut rokok elektrik ini di antaranya; yaitu vapour, vape, ecig, e-juice, e-liquid,personal vaporizer (pv), e-cigaro, electrosmoke, green cig, smartsmoke, smart cigarette, Heated Tobacco Products (HTP).
Rokok elektronik pertama kali ditemukan di Amerika Serikat tahun 1963. Sebutan produk tersebut, a smokeless non-tobacco cigarette atau rokok tanpa asap tembakau. Pada 1988 diluncurkan Heated Tobacco Products yang diperkenalkan oleh perusahaan R. J. Reynolds dengan merek Premier. Pada 2014, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menemukan sebanyak 466 merek rokok elektrik dengan 8.000 jenis penambah rasa atau perisa.
Rokok elektrik dibuat untuk memasukkan nikotin dan zat kimia ke dalam tubuh tanpa pembakaran tembakau. Namun, tetap memberikan sensasi merokok bagi pengguna. Ada pula rokok elektrik yang memanaskan tembakau, sehingga menghasilkan aerosol. Rokok elektrik tersebut mengandung nikotin serta bahan kimia lainnya yang hampir sama dengan rokok dibakar.
Kajian Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2015 menyatakan kandungan aerosol rokok elektronik mengandung zat adiktif. Ada pula tambahan bahan yang bersifat karsinogenik atau memicu penyakit kanker.
Sebuah artikel dalam Meditek yaitu jurnal kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana yang berjudul Kajian Efek Rokok Elektrik terhadap Kesehatan (2019), menjelaskan bahwa rokok elektronik kian diminati. Pengisap rokok elektrik atau vape beranggapan kebiasaan baru itu bisa membantu untuk berhenti merokok tembakau. Anggapan itu makin populer dengan persepsi alternatif rokok elektrik dianggap aman dari risiko. Sayang, pandangan itu keliru, karena ada banyak komposisi cairan dalam rokok elektronik.
Rokok elektrik terdiri atas tiga komponen, yaitu plastic cartridge yang berfungsi sebagai alat pengisap. Adapun cartridge yang berisi cairan. Ada pula atomizer yang berfungsi untuk menguapkan cairan. Komponen ketiga yaitu, baterai.
Cairan yang digunakan untuk menghasilkan uap rokok elektrik mengandung propilenglikol atau gliserin, bahan aromatik, dan nikotin cair dalam berbagai pemusatan. Ketika seseorang mengisap alat dan aliran udara terdeteksi oleh sensor, maka atomizer yang bersentuhan dengan cartdrige menjadi aktif, sehingga menguapkan larutan nikotin. Aerosol nikotin yang dihasilkan diisap oleh pengguna rokok elektronik.
KELEMAHAN PP 109 TAHUN 2021 TERHADAP ROKOK ELEKTRIK
Aturan hukum tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012). Namun peraturan itu dianggap lemah sebab, rokok elektrik belum tercakup terkait batasan.
Adapun rokok menurut PP 109/2012, adalah salah satu produk tembakau untuk dibakar dan diisap atau dihirup asapnya. Beragam jenis yang dimasud, yaitu rokok kretek, rokok putih, cerutu. Atau, yang dihasilkan dari tanaman nicotiana tabacum, nicotiana rustica, dan spesies lainnya. Bisa pula sintetis yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan.
Pengertian itu menimbulkan pertanyaan, misalnya jika bertaut Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Menurut Pasal 1 Nomor 11, bahwa KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok. Dilarang pula kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan mempromosikan produk tembakau. Tak ada kejelasan aturan detail mengenai rokok elektronik.
Namun, menurut Agus, bisa merujuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.04/2020. “Rokok elektronik dikategorikan sebagai HPTL melalui Peraturan Menteri Keuangan itu tentang perdagangan barang kena cukai. Artinya, tidak ada keraguan dalam implementasi KTR melarang rokok elektronik,” ujarnya.
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, mengatakan rokok elektronik sama saja dengan rokok konvensional. “Bahkan bisa lebih bahaya (rokok elektrik) kalau tidak diatur. Ini menjadi masalah baru di tengah masyarakat yang belum terkendali dengan rokok konvensional,” katanya saat konferensi pers bertema Menolak Revisi PP adalah Pembangkangan Visi Misi Presiden, siaran daring, 22 Juni 2021.
Oleh sebab itu, PP 109/2012 dianggap banyak kekurangan. “Kami dorong ini (PP 109/2012) diamendemen agar mengatur rokok elektronik,” ucapnya.
Soal praktik pemasaran, media sosial pun sumber informasi tentang rokok elektrik. “Ini banyak merekrut influencer (jasa pemengaruh),” kata peneliti TackSHS Project, Beladenta Amalia dalam seminar daring bertema Rokok Elektronik dan Digitalisasi Industri Tembakau, siaran daring, pada 25 Januari 2021.
Beladenta menambahkan, media sosial menjadi sumber informasi yang paling sering, setelah melihat orang lain menggunakan rokok elektrik.
Promosi rokok elektik memang hanya ditujukan untuk orang dewasa atau di atas usia 18 tahun. Hanya saja, variasi rasa rokok elektrik dibuat sangat unik, sehingga juga diminati anak-anak. “Posting (unggahan di media sosial) berkaitan gaya hidup sangat dekat dengan anak muda,” ucapnya.
Dia pun menambahkan, bahwa rokok elektronik penting masuk dalam strategi pengendalian tembakau. Hal tersebut terkait revisi PP 109/2012.
Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi perokok elektronik (vaping) itu 2,8 persen untuk semua usia. “Kelihatan kecil memang, karena populasi umum. Tapi kalau populasi remaja, jauh lebih besar angkanya,” kata Mouhamad Bigwanto, selaku TI Monitoring Focal Point Indonesia, Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA).
Bigwanto menjelaskan, pengguna rokok elektronik rata-rata berusia muda atau pelajar. “Kalau yang sudah bekerja relatif yang pendidikan tinggi, dibandingkan pengguna rokok konvensional (tembakau),” ujarnya. Para pengguna rokok elektronik ini kebanyakan tinggal di perkotaan.
Bigwanto menyoroti keunikan prevalensi antara perokok laki-laki dan perempuan. “Kalau rokok konvensional laki-laki dan perempuan beda jauh. Sementara rokok elektrik ini cenderung relatif sama,” katanya.
Dia pernah meneliti prevalensi perokok elektronik di Jakarta. Dari penelitian terhadap 767 siswa SMA di Jakarta, Bigwanto menemukan prevalensi perokok elektronik aktif 11,8 persen.
“Enam persen di antaranya dual users (perokok ganda),” kata Bigwanto yang juga Wakil Dekan 1, Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka.
Menurut dia, adanya prevalensi itu juga ditunjang ketiadaan aturan. “Enggak ada aturan sampai sekarang, sehingga produk (rokok elektronik) bebas dijual dan dipromosikan di mana saja,” katanya.
Adapun aturan yang ada sampai saat ini hanya cukai. “Tidak mendukung untuk mencegah peningkatan prevalensi anak-anak maupun dewasa,” ujarnya.
Kaum muda menyukai rokok elektronik antara lain, karena desain yang modern. Selain itu, kepulan uap tidak berbau asap, sehingga gampang disukai anak muda. Variasi rasa pun ada ribuan yang bisa dibuat makin personal kesukaan pribadi. “Pemasaran produk lewat channel (saluran) yang digemari anak muda. Industri punya kekuataan kapital luar biasa ditambah aturan yang enggak ada,” katanya.
Penulis: Bram Setiawan
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post