Jakarta, Prohealth.id – Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Wamen PPPA), Veronica Tan menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam menyediakan ruang yang aman, sehat, dan menyenangkan bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang.
Hal ini mengingat salah satu hak anak adalah hak untuk bermain. Pasalnya, dengam anak belajar melalui permainan, ia bisa mengembangkan keterampilan motorik, kognitif, sosial. Selain itu melalui permainan, anak-anak belajar nilai-nilai, seperti kerja sama, kreativitas, dan pengambilan keputusan. Veronica menekankan olahraga dan permainan tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga menjadi sarana untuk membangun karakter, kepercayaan diri, dan melatih ketangguhan anak. Oleh karena itu, ia mendorong kolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam membangun ekosistem yang ramah anak.
Permainan bagi anak selain secara fisik juga termasuk secara digital. Untuk itu, ia menegaskan pentingnya melindungi anak dari berbagai bentuk informasi yang tidak layak, seperti kekerasan, pornografi, radikalisme, dan lainnya. Hal ini adalah bagian dari pemenuhan hak mereka. Ruang digital yang ramah anak bukan berarti anak tidak boleh menggunakan teknologi. Justru sebaliknya, orangtua belajar membatasi dan mengarahkan mereka pada konten yang positif dan mendukung proses belajar.
Sementara itu secara terpisah, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Taruna Ikrar, menyampaikan keprihatinan atas meningkatnya perokok anak. Kebiasaan merokok pada anak mencederai hakikat anak untuk bermain.
Taruna menyebut, kondisi ini akibat strategi pemasaran produk tembakau yang menyasar generasi muda, terutama di era digital saat ini. “Industri tembakau memanfaatkan teknologi dan strategi pemasaran yang cerdas untuk menjerat generasi muda, maka kita pun harus melawan dengan inovasi yang tak kalah cerdas dan kolaborasi yang kokoh,” tegas Taruna Ikrar pada Mei 2025 lalu.
Menurutnya, data prevalensi perokok usia 10–18 tahun di Indonesia masih tergolong tinggi, yaitu mencapai 7,4 persen pada tahun 2023. Ini berarti lebih dari 3,2 juta anak dan remaja telah terpapar bahaya rokok. Bahkan, penggunaan rokok elektronik di kalangan remaja melonjak drastis dari 1,2 persen pada 2016 menjadi 10,9 persen pada 2018.
“Setiap batang rokok atau vape yang dihisap oleh generasi muda adalah potensi nyawa yang hilang, masa depan yang terancam, dan sumber daya bangsa yang tereduksi,” ungkapnya dikutip dari situs BPOM.

Sebagai langkah nyata, Kepala BPOM mengusulkan pembentukan Duta Anti Rokok di setiap sekolah. Duta tersebut bertugas mengedukasi teman sebaya, mendampingi proses berhenti merokok, serta menciptakan kampanye anti rokok dengan cara yang kreatif di lingkungan sekolah.
Untuk itu, BPOM memperkenalkan RIKO-Game Edukasi Anti Rokok. RIKO adalah aplikasi berbasis digital yang dapat diunduh melalui Google Play Store, sebagai alat bantu edukatif yang dirancang khusus untuk pelajar.
“Kami tidak sekadar mengajak, tetapi mendesak setiap komponen pendidikan – kepala sekolah, guru, komite sekolah – untuk menjadikan pencegahan rokok sebagai gerakan sistematis dan berkelanjutan,” ujar Taruna Ikrar dengan penuh semangat.

Mouhamad Bigwanto dari SEATCA menyampaikan pentingnya gamifikasi dalam edukasi anti rokok. Gamifikasi ini dapat menjadi salah satu langkah untuk menangkal bujuk rayu industri rokok yang seringkali mempromosikan produknya secara tidak langsung melalui jalur bantuan dana pendidikan/beasiswa.
“Lewat beasiswa, industri rokok menjadikan siswa sebagai target industri supaya loyal pada brand dan memberi kesan industri seperti seseorang yang dermawan,” ujar Mouhamad Bigwanto.
Bigwanto juga menjelaskan munculnya tren baru, yaitu rokok elektronik, yang makin membujuk generasi muda dengan ribuan rasa. Produk rokok elektronik seolah menawarkan gaya hidup, membuat komunitas lewat aplikasi game, memberi giveaway, dan melakukan placement di toko-toko. Ia prihatin dengan munculnya manipulasi berupa fakta nutrisi dari industri rokok elektronik untuk menunjukkan produknya seperti produk makanan dan minuman.
Selanjutnya, Reza Indragiri Amriel menyampaikan kelompok orang yang terpapar rokok. “Ada 3 kelas perokok. Kelas pertama adalah mereka yang mengisap rokok. Lalu kelas kedua adalah mereka yang tidak merokok, tapi terkena asap rokok. Sementara kelas ketiga adalah mereka tidak merokok dan tidak terkena asap rokok, namun terkena residu rokok yang menempel di tempat umum,” ujarnya.
Lebih jauh, Reza menjelaskan bahwa merokok ada kaitannya dengan bullying di sekolah. Dia menjelaskan korban bullying menjadikan rokok sebagai obat dan penawar dari trauma yang mereka terima.
Di sisi lain, rokok juga digunakan oleh pelaku bullying untuk tampil keren dan gagah. Untuk itu, kehadiran edukasi anti rokok semakin mendesak dan perlu untuk mencegah semakin banyaknya orang yang terpapar rokok. Sekalipun tidak merokok secara aktif bahaya yang mungkin timbul akibat paparan tersebut masih sangat nyata.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post