Jakarta, Prohealth.id – Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memberikan jaminan terhadap pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan dan indikasi medis pesertanya.
Meski demikan, hal tersebut tidak menutup kemungkinan bagi peserta untuk memperoleh fasilitas lebih dari yang dibutuhkan. Peserta dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti AKT, atau membayar selisih antara biaya yang dijamin oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan yang harus dibayarkan dengan dana pribadi atau out-of-pocket (OOP).
Terdorong dari konteks itu, Komisaris Bank Syariah Indonesia (BSI), Muhammad Arief Rosyid, yang juga merupakan program doktoral Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Universitas Indonesia (UI) melakukan kajian doktoral dengan topik tersebut.
Arief dinyatakan lulus dalam sidang terbuka promosi doktor pada Senin (17/07/2023), yang dilaksanakan di Kampus UI, Depok, Jawa Barat.
Dalam disertasinya, Arief menyampaikan gagasan rumusan kebijakan Asuransi Kesehatan Tambahan (AKT) peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dr. Muhammad Arief Rosyid ditetapkan sebagai Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM UI dengan predikat cum laude.
Menurut Arief Rosyid, berdasarkan Laporan Kerjasama Kajian Komparasi Jaminan Kesehatan Penyelenggara Negara, dari 385 responden 61,2 persen pernah menggunakan JKN, sebanyak 32,5 persen meminta naik kelas kamar rawat inap, dan 38,8 persen membayar secara OOP. Sebanyak 58,1 persen responden bahkan pernah mengeluarkan OOP dengan rata-rata Rp2,7 juta.
Persentase OOP terhadap total belanja kesehatan mengalami penurunan sejak program JKN dimulai. Meskipun demikian, skema OOP terhadap total belanja kesehatan dibandingkan persentase skema asuransi kesehatan sosial dan swasta selalu lebih tinggi dengan yang terbaru pada 2020 adalah 29,3 persen. Persentase ini lebih tinggi dibandingkan rekomendasi dari World Health Organization (WHO), yaitu kurang dari 20 persen. Hal ini merupakan tantangan bukan hanya untuk program JKN, namun juga AKT.
Untuk mendapatkan rumusan kebijakan AKT peserta program JKN yang sesuai, Arief melakukan wawancara mendalam terhadap delapan informan dan mengadakan empat kali Focus Group Discussion (FGD) dengan tiga kelompok yang terdiri atas 26 peserta. Wawancara mendalam dilakukan dengan berbagai stakeholder dan policy maker, sedangkan FGD dilakukan dengan kelompok pemberi kerja, rumah sakit, serta perusahaan AKT.
Melalui uji regresi logistik berganda model prediksi akhir, Arief menemukan karakteristik atau ciri-ciri responden yang memiliki AKT. Mereka adalah orang dengan pendidikan akhir perguruan tinggi; berusia 25–54 tahun atau dalam kategori usia produktif; serta merupakan kaum urban/kota. Kelompok ini memiliki pengeluaran per kapita (selain makan) di atas upah minimum provinsi. Kelompok dengan karakteristik tersebut cenderung dua kali atau lebih untuk memiliki AKT dibanding kelompok lainnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Arief menyebut bahwa sinergi antara program JKN dan AKT adalah model pesawat dengan destinasi tujuan akhir untuk mencapai negara sejahtera yang mewujudkan masyarakat sehat sesuai dengan Pembukaan UUD 1945.
AKT yang paling ideal untuk terlibat dalam sistem Jaminan Sosial Nasional adalah supplement atau top-up, serta menjamin pelayanan yang berbeda dengan program JKN serta program yang dijamin oleh pemerintah. Skema peran ini menjadikan program JKN sebagai penjamin pertama dan utama dari masyarakat, sedangkan AKT akan berperan untuk membayar selisih biaya ketika peserta menginginkan peningkatan pelayanan.
“Pesawat merupakan ilustrasi dari fasilitas pelayanan kesehatan, rumah sakit, klinik, dan puskesmas, sehingga diharapkan seluruh komponen di dalam pesawat ini harus dijaga mutunya. Seluruh penumpang mendarat dengan baik, atau ketika ada masalah dirasakan secara bersama-sama, misalnya ketika kita duduk di kursi depan akan merasakan turbulensi yang sama dengan yang dirasakan oleh penumpang yang ada di belakang,” ujar Arief dalam pidatonya.
Ia mengatakan bahwa peran AKT yang dijelaskan pada UU, Perpres, dan Permenkes masih sebatas kenaikan kelas rawat inap dan rawat jalan eksekutif. Padahal, AKT dapat menjual produk lain dengan catatan berbeda dengan yang sudah dijamin. Kebijakan AKT ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi keinginan tambahan dari masyarakat dan menjamin hak masyarakat yang merupakan peserta JKN dan AKT. Kebijakan ini harus memiliki prinsip supplementary, equity, voluntary, choices, fairness, dan right protection.
Untuk itu, Arief menyebutkan beberapa poin penting yang harus ada dalam rumusan kebijakan AKT. Pertama, pelayanan yang dijamin AKT adalah top-up yang terdiri atas akomodasi dan paket manfaat. Ini berbeda dari layanan yang sudah dijamin JKN dan program pemerintah.
Kedua, pesertanya merupakan peserta aktif program JKN, bersifat sukarela, untuk produk top-up. AKT wajib menerima peserta dengan pre-eksiting condition.
Ketiga, terkait premi, hal tersebut dihitung berdasarkan prinsip aktuaria dan bisnis AKT, serta wajib mempertimbangkan kepemilikan dan pemanfaatan program JKN melalui Defragmentasi Data Satusehat.
“Untuk pembayaran AKT, metodenya bersifat prospektif. AKT membayar selisih biaya akibat top-up menggunakan satu tagihan (one billing) yang terintegrasi Permenkes 3 2023, pasal 48 tentang selisih biaya. Adapun badan usaha yang dapat menjual AKT adalah seluruh badan usaha yang memenuhi syarat dan ketentuan di UU Perasuransian No. 40 Tahun 2014 dan Peraturan OJK Izin Perusahaan Asuransi No. 67 Tahun 2016,” kata Arief yang merupakan Komisaris Independen PT Bank Syariah Indonesia Tbk.
Sidang promosi doktor tersebut dipimpin oleh Dekan FKM UI, Prof. dr. Mondastri Korib Sudaryo, M.S., D.Sc., dengan dr. Adang Bachtiar, MPH, D.Sc sebagai Promotor; serta Prof. Dr. dr. Fachmi Idris, M.Kes. dan Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH sebagai Ko-Promotor. Adapun tim penguji dalam sidang tersebut diketuai oleh Prof. dr. Anhari Achadi, SKM, ScD, dengan anggota: Prof. Ali Ghufron Mukti, M.Sc, Ph.D.; Prof. Dr. Dra. Dumilah Ayuningtyas, MARS; Dr. drg. Julita Hendrartini, M.Kes, AAK; dan Prastuti Soewondo, S.E., MPH, Ph.D.
Turut hadir dalam promosi doktor tersebut, Wakil Ketua MPR RI, H. Ahmad Muzani, S.Sos.; Deputi bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Prof. Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si.; Sekretaris Universitas UI, dr. Agustin Kusumayati, M.Sc., Ph.D.; Direktur Utama Bank Syariah Indonesia, Dr. Hery Gunardi; Kepala Badan Pelaksana Badan Pengelola Kuangan Haji, Fadlul Imansyah; Menteri Perdagangan RI Periode 2020–2022, Muhammad Luthfi; Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Indonesia Periode 2014–2019, Prof. Drs. H. Mohamad Nasir, Ak., M.Si., Ph.D.; Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Periode 2014–2015, Prof. K.H. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, M.A., Ph.D.; dan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Periode 2006–2010 dan 2010–2015, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat.
Discussion about this post