Jakarta, Prohealth.id – Dikutip dari kajian yang dikeluarkan oleh Forum Mahasiswa Ekonomi Indonesia (FMEI), tidak ada alasan lagi untuk tetap bertahan mengonsumsi rokok.
Berdasarkan data dari World Population Review, Indonesia memiliki smoking rate yang tinggi yakni mencapai 37,90 persen pada 2022. Angka tersebut mengejutkan karena jauh melebihi rata-rata smoking rate dunia yang berkisar pada 21,98 persen.
Tak hanya itu, Indonesia juga mendapatkan gelar sebagai negara dengan smoking rate laki-laki tertinggi dibandingkan negara-negara lainnya karena sampai menyentuh 70,50 persen. Sedangkan smoking rate perempuan di Indonesia hanya 5,30 persen.
“Besarnya persentase masyarakat yang merokok di Indonesia perlu menjadi perhatian bersama agar dampak yang diakibatkannya dapat ditanggulangi,” ungkap tim peneliti dalam kajian yang dikutip pada Rabu (23/11/2022).
Selama ini untuk menekan angka perokok, pemerintah cenderung hanya mengandalkan kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok. Instrumen kebijakan ini dipakai pemerintah karena rokok memenuhi kriteria sebagai barang yang dikenakan cukai karena memiliki efek negatif sehingga patut diawasi dan dikendalikan konsumsinya.
Terbukti, World Health Organization (WHO) memperkirakan, lebih dari 7 juta orang meninggal setiap tahun akibat konsumsi rokok serta 1,2 juta orang meninggal hanya karena terkena paparan asap rokok.
Rokok memang menyebabkan beberapa penyakit serius dan tidak menular. Sebut saja; kanker, penyakit kardiovaskular, stroke, dan penyakit paru kronis, bagi mereka yang menjadi perokok aktif. Sementara para perokok pasif yang hanya terpapar asapnya saja berpotensi mengalami sakit serupa. Khusus untuk bayi, anak, dan remaja, paparan asap rokok bahkan bisa menyebabkan kematian. Banyaknya dampak kesehatan yang mengakibatkan kematian membuat penerimaan ekonomi atas produk tembakau perlu dikaji ulang.
Memang Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengamini bahwa cukai hasil tembakau memiliki tren naik tiap tahun. Artinya, CHT memang berkontribusi besar pada pendapatan uang tunai (cash) negara. Hanya pada tahun 2016 saja, berdasarkan data Kemenkeu yang menunjukkan terjadi penurunan pendapatan CHT.
Meskipun pendapatan negara dari cukai hasil tembakau selalu meningkat, tetapi masih terdapat kesenjangan pendapatan cukai. Seperti yang disampaikan oleh Ross H dalam kajiannya Lost Funds: A Study on the Tobacco Tax Revenue Gap in Indonesia (2021), dia menemukan ada kesenjangan penerimaan cukai di Indonesia terutama cukup besar di tahun 2021. Pasalnya, kesenjangan penerimaan cukai ini disebabkan pemerintah tidak menaikkan cukai sigaret kretek tangan (SKT), dan rumitnya sistem cukai sepuluh layer.
“Kerumitan dan ketidaksesuaian sistem cukai di Indonesia dapat menjadi penyebab hilangnya penerimaan cukai. Perbaikan sistem kebijakan cukai bisa mencegah administratif yang tidak efisien dan keterjangkauan rokok,” tulis tim peneliti FMEI dalam dokumen kajian.
Selain dari pendapatan CHT, olahan tembakau juga berperan dalam pasar internasional. Pada tahun 2020, tercatat nilai ekspor industri pengolahan tembakau mencapai US$1,087 miliar atau sekitar Rp16,8 triliun. Namun, akibat pandemi Covid-19 membuat nilai ekspor industri pengolahan tembakau menyusut.
Tingginya pengeluaran
Penggunaan produk tembakau menyebabkan munculnya biaya ekonomi yang disebabkan dari penyakit yang dihasilkan, kematian, dan investasi yang hilang. Menurut The World Bank Group (2018) dalam Policy Implications Technical Brief yang berjudul “The Economics of Tobacco Taxation and Employment in Indonesia”, menyatakan diperkirakan pengeluaran kesehatan akibat merokok di Indonesia sekitar US$1,2 miliar. Angka ini mewakili 8 persen dari total pengeluaran publik untuk kesehatan dan 3,3 persen dari total pengeluaran kesehatan.
Kementerian Kesehatan (2018) juga membenarkan adanya kerugian akibat konsumsi rokok dalam aspek kesehatan. Selama 2013, pemerintah menanggung kerugian dari beban kesehatan akibat rokok sebesar Rp 378,75 triliun. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan penerimaan negara yang pernah diperoleh dari CHT tiap tahunnya. Akumulasi angka kerugian yang dimaksud berasal dari beban pembelian rokok, hilangnya produktivitas akibat sakit, disabilitas dan kematian prematur di usia muda serta biaya berobat akibat penyakit-penyakit terkait tembakau.
Selain aspek kesehatan, penggunaan tembakau berdampak juga terhadap tingkat kemiskinan.
Badan Pusat Statistik (BPS), memperlihatkan bahwa pengeluaran untuk rokok per kapita dalam sebulan merupakan pengeluaran terbesar kedua pada tahun 2021, setelah pengeluaran untuk makanan dan minuman jadi. Sedangkan pada tahun 2016, pengeluaran untuk rokok masyarakat berada di urutan ketiga terbesar setelah pengeluaran untuk makanan dan minuman jadi serta padi-padian. BPS menyatakan rokok kretek filter merupakan komoditas penyumbang terbesar kedua terhadap kemiskinan.
“Dengan menjadi pengeluaran terbesar kedua, menunjukkan konsumsi rokok masyarakat justru menguat meskipun persentase tiap tahun pengeluaran rokok di masyarakat fluktuatif,” sambung tim peneliti.
Selain itu, pengeluaran rokok yang cukup besar di perdesaan dapat menjadi penyebab kemiskinan akibat rokok terjadi melihat banyaknya masyarakat di bawah garis kemiskinan yang ada di perdesaan.
Rekomendasi peneliti
Untuk mendukung penuntasan masalah kesehatan dan kerugian ekonomi akibat rokok, tim peneliti merumuskan beberapa rekomendasi bagi pemerintah.
Pertama, pentingnya menghitung biaya ekonomi yang ditimbulkan dari penggunaan tembakau. Menurut tim peneliti, perhitungan yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2013 tidak lagi bisa menjadi landasan kuat untuk menerapkan kebijakan saat ini. Namun, pertimbangan akan besaran biaya yang ditimbulkan dari penggunaan tembakau sangat penting agar tercipta sasaran yang tepat dalam menerapkan kebijakan cukai tembakau.
Kedua, tidak menjadikan CHT sebagai penopang pendapatan negara. Hal ini sudah terbukti dari berbagai temuan dan analisis bahwa pendapatan negara tidak sebanding dengan pengeluaran yang dibutuhkan dari penggunaan tembakau. Dibutuhkan penyelarasan sasaran pendapatan cukai dengan potensi biaya yang ditimbulkan sehingga dampak negatif dari penggunaan tembakau dapat ditanggulangi dan tidak mengganggu kegiatan ekonomi produktif lainnya.
Ketiga, pentingnya merancang kebijakan strategis dari penerapan cukai tembakau. Besar dan kompleksnya permasalahan yang diciptakan dari penggunaan tembakau di kalangan masyarakat menjadi sinyal bagi setiap masyarakat untuk ikut peduli. Kebijakan strategis dari penerapan sistem cukai yang efektif, penegakan hukum bagi tembakau ilegal, dan peningkatan kepedulian masyarakat perlu didorong dengan serangkaian langkah-langkah strategis.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post