Jakarta, Prohealth.id- Pilihan makanan kita memiliki pengaruh yang sangat besar. Tidak hanya terhadap kesehatan pribadi kita, tetapi juga terhadap bumi. Beralih ke pola makan yang berkelanjutan dapat secara signifikan memerangi perubahan iklim dan kelangkaan pangan.
Namun, penerapan perubahan tersebut dalam skala global memerlukan kehati-hatian karena saling keterkaitan jaringan pangan global kita.
Joe DeCesaro, analis data di Pusat Nasional Analisis dan Sintesis Ekologi (NCEAS) Universitas California Santa Barbara menyatakan sistem pangan dunia merupakan jaringan yang kompleks dan saling terhubung. Pergeseran permintaan pangan di satu tempat dapat berdampak luas pada orang-orang di belahan dunia lain. Bahkan, seringkali dengan cara yang tidak kita duga sebelumnya.
“Perubahan permintaan pangan di satu bagian dunia dapat memiliki implikasi lingkungan dan kesejahteraan bagi orang-orang di seluruh dunia,” katanya dalam Situs Earth.com, Senin, 25 November 2024.
Menguraikan Perubahan Pola Makan Global
Untuk menavigasi kompleksitas sistem pangan global dan memastikan populasi dan planet yang sehat, diperlukan perubahan menyeluruh dalam pola makan global kita.
DeCesaro, bersama tim peneliti internasional, memulai misi ambisius untuk memahami di mana dan bagaimana tekanan lingkungan dapat terjadi dalam perubahan pola makan global.
Para ahli menganalisis empat jenis diet – India, Mediterania, EAT-Lancet (terutama berbasis tanaman), dan pedoman diet berbasis makanan (FBDG).
Temuan tim yang terbit dalam jurnal Environmental Research Letters menunjukkan bahwa pola makan India paling bermanfaat dari keempatnya. Perkiraan pola ini mampu mengurangi tekanan lingkungan global berbasis produksi pangan secara signifikan hingga 20,9 persen.
Di sisi lain, pedoman diet berbasis makanan berpotensi meningkatkan tekanan lingkungan hingga 35,2 persen. Sistem pangan global juga berperan besar dalam perubahan lingkungan. Hal ini terkait dengan sekitar sepertiga emisi gas rumah kaca global dan lebih dari 70 persen sumber daya air tawar.
Beralih ke pola makan yang lebih berkelanjutan – menjauhi makanan yang membutuhkan banyak sumber daya seperti daging merah – dapat mengurangi tekanan lingkungan, membawa manfaat kesehatan, dan meningkatkan asupan makanan padat nutrisi seperti sayur-sayuran dan kacang-kacangan.
Siapa yang Menanggung Beban Lingkungan?
Keingintahuan tim peneliti tidak berhenti pada upaya memahami dampak perubahan pola makan. Mereka berusaha mencari tahu pihak yang akan menanggung beban lingkungan akibat perubahan pola makan ini.
“Penelitian ini awalnya berawal dari pertanyaan. Apa konsumsi yang menghasilkan tekanan produksi pangan yang dirasakan oleh orang-orang dan tempat-tempat di seluruh dunia?” DeCesaro mencatat.
“Apakah negara-negara miskin menanggung risiko lingkungan akibat memproduksi makanan bertekanan tinggi yang dikonsumsi oleh negara-negara kaya atau sebaliknya? Metode kami memungkinkan kami melacak perubahan tekanan lingkungan dari produsen ke konsumen, dan sebaliknya, dalam format standar di empat tekanan. Pekerjaan kami cukup baru dalam bidang ini.
“India dan FBDGs berasal dari rekomendasi pemerintah Mediterania banyak membahasnya karena manfaat bagi kesehatan. Dan pengembangan diet EAT-Lancet oleh para ahli di bidangnya,” kata DeCesaro.
Temuan mereka mengungkapkan bahwa kecuali FBDG, peralihan ke semua pola makan lain mengakibatkan pengurangan tekanan kumulatif global.
Diet India sangat efektif karena sama sekali tidak mengonsumsi daging merah. Sementara pedoman diet berbasis makanan umumnya menyarankan lebih banyak daging merah daripada. Namun, pengurangan tekanan global bergantung pada perubahan pola makan di negara-negara berpenghasilan tinggi.
“Rata-rata pola makan saat ini di negara-negara berpendapatan tinggi memiliki jumlah konsumsi yang lebih tinggi pada sebagian besar kategori makanan dibandingkan dengan jumlah yang direkomendasikan dalam skenario pola makan kami,” kata DeCesaro.
Pola makan berkelanjutan dan negara-negara berpendapatan rendah
Pergeseran ke arah pola makan berkelanjutan dan mengutamakan tanaman akan meningkatkan tekanan lingkungan terkait produksi pangan di negara-negara berpendapatan rendah. Namun, DeCesaro menjelaskan bahwa hal ini terutama karena skenario pola makan yang lebih memenuhi kebutuhan harian mereka.
Para peneliti menganjurkan dukungan dari negara-negara kaya. Caranya melalui akses ke impor makanan yang dari hasil produksi yang efisien. Lalu pembangunan ekonomi, dan berbagi pengetahuan tentang praktik produksi pangan yang efisien dan ramah lingkungan.
Pada akhirnya, keputusan kita tentang apa yang kita makan sangat penting untuk mengurangi jejak lingkungan kita. Meskipun demikian, orang lain mungkin harus membayar harga atas keputusan tersebut, simpul Halpern.
Sebagai warga dunia, kita turut bertanggung jawab dalam membuat pilihan makanan yang tepat, yang dapat menyehatkan diri kita sendiri dan dunia tempat kita tinggal. Studi ini sudah masuk publikasi jurnal Environmental Research Letters.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post