Dikutip dari Toksik (toxic) adalah racun, sementara masculinity atau maskulinitas adalah hasil konstruksi sosial, seperangkat sikap untuk menunjukkan citra laki-laki yang maskulin. Contoh citra maskulin tersebut antara lain; laki-laki harus kuat, laki-laki tidak boleh menangis, dan semua ciri yang bertolak belakang dengan citra feminin atau citra perempuan.
Dikutip dari Dictionary Cambridge, maskulinitas toksik atau toxic masculinity adalah ideas about the way that men should behave that are seen as harmful, for example the idea that men should not cry or admit weakness, yakni sebuah ide atau persepsi bahwa laki-laki harus terlihat kuat, tak terkalahkan. Oleh karenanya laki-laki tidak boleh menangis apalagi menunjukkan kelemahan. Artinya, ada ciri agresi dan dominasi dalam maskulinitas toksik dan melakukan represi terhadap ciri-ciri feminin termasuk menunjukkan emosi.
Menurut Aktivis dan Konsultan Gender, Tunggal Pawestri, maskulinitas sebagai produk budaya tidak hanya berdampak pada laki-laki tetapi juga perempuan dan identitas gender lainnya yang masuk dalam posisi marjinal.
“Ekspresi gender adalah ekspresi sosil. Laki-laki badannya harus berotot, suaranya harus lantang, tidak boleh menangis, dan sebagainya. Maskulinitas ini menjadi toksik atau racun jika berlebihan, apalagi toxic masculinity ini adalah konstruksi sosial yang diberikan dari pengajaran,” tutur Tunggal dalam Twitter Space Komnas Pengendalian Tembakau, 27 Oktober 2022 lalu.
Sebagai ide dan budaya, maskulinitas toksik juga tersalurkan dengan simbol produk dalam hidup sehari-hari, salah satunya adalah rokok. Produk tembakau ini sudah membangun citra keperkasaan bagi laki-laki yang mengonsumsi rokok. Tak hanya laki-laki, simbol keperkasaan dan kebebasan bagi laki-laki ini juga diadaptasi oleh perempuan. Alhasil, rokok seolah-olah menjadi simbol kebebasan dan kesetaraan bagi perempuan.
“Saya sebagai perempuan punya pengalaman sama. Saya pernah merokok dan saya tidak endorse, tetapi saya saat kuliah ada tongkrongan aktivis 90an, mereka nge-geng, merokok, dan keliatan asik. Untuk saya bisa diterima maka saya harus juga menunjukkan sisi maskulinitas saya. Jadi saya bergabung dan saya juga mulai merokok,” ungkap Tunggal mengenang masa mudanya.
Dia mengakui keinginan untuk merokok masa remaja itu tidak lepas dari keinginan untuk menunjukkan sisi maskulin sehingga bisa diterima dalam lingkungan masyarakat, khususnya, lingkungan yang didominasi oleh laki-laki. “Rokok menjadi lambang maskulin tersebut,” tuturnya.
Hubungan kesetaraan gender dengan rokok
Simbol rokok sebagai simbol maskulinitas sudah terlihat dengan misalnya, produk-produk rokok menampilkan lelaki yang berkuda dan perkasa, atau laki-laki sejati yang berkendara motor besar. Simbol-simbol tersebut kemudian menurut Tunggal menjadi representasi yang diaminkan oleh masyarakat secara umum.
“Meski sekarang identitas laki-laki maskulin harus merokok sudah mulai bergeser. Sekarang saya lihat rokok berubah menjadi keren, atau cool dalam masyarakat khususnya anak muda,” kata Tunggal.
Pergeseran juga terjadi sampai kepada perempuan. Jika tahun-tahun 60-70an merokok masih identik hanya dengan laki-laki, maka kini merokok menjadi simbol perjuangan terhadap kesetaraan gender. Narasi ini kerap muncul misalnya dalam perayaan Women’s International Day di bulan Maret, dimana media sosial khususnya Twitter akan membahas dengan hangat perihal perempuan boleh dan berhak merokok.
Baca Juga: Ingin Berhenti Merokok! Yuk Ikuti Program Pelayanan UBM
Menanggapi hal tersebut, Tunggal mengingatkan adanya teknik marketing yang masuk dalam isu-isu strategis, termasuk kesetaraan gender. Dengan tegas menurut dia tidak ada hubungan antara merokok dengan kesetaraan gender. “Itu liciknya [marketing] saja mencampurkan urusan merokok dengan urusan kesetaraan gender. Itu [rokok] urusannya sama kesehatan, dan seharusnya orang lebih aware akan hal itu,” tuturnya.
Lebih lanjut, ada banyak dampak negatif yang muncul akibat rokok baik kepada laki-laki maupun perempuan. Sebut saja ragam penyakit tidak menular seperti; jantung, stroke, sampai masalah kesehatan reproduksi pada laki-laki dan perempuan. Fakta-fakta kesehatan ini yang justru tidak banyak muncul dan diperhatikan publik. Apalagi, peringatan dampak kesehatan pada kemasan rokok juga terlalu kecil.
“Jadi kalau mau dibilang, ini gimmick marketing bahwa seolah yang dilakukan laki-laki dalam ranah maskulinitas direbut dengan cara-cara seperti itu. Merokok memang hak, tetapi ada konsekuensinya, dan itu tidak ada hubungannya dengan [kesetaraan] gender,” tutur Tunggal.
Membumikan perilaku hidup sehat
Berkaca dari strategi bunglon industri rokok yang bisa menyusup pada isu-isu strategis termasuk kesetaraan gender, artinya adalah tantangan besar untuk membiasakan perilaku hidup sehat sebagai prioritas.
Sebagai contoh, Tunggal mengaku pernah menjalani hidup di negara yang sangat ketat terhadap aturan merokok. Implikasinya sungguh bagus, antara lain, udara menjadi jauh lebih bersih. Kedua, aturan ketat bukan hanya berkaitan dengan konsumsi tetapi juga promosi produk rokok. Misalnya, perlu ada aturan pemerintah yang ketat tentang standar etik, strategi, cara, dan kanal promosi yang produk rokok.
“Jadi tidak boleh bohong, ada etika yang harus dipenuhi industri,” sambung Tunggal.
Usulan ini menurut Tunggal merupakan solusi jangka panjang mengingat industri akan sering bermain pada arena abu-abu ketika pemerintah tidak terlalu kuat perihal pengaturan iklan rokok di ruang publik.
Selain itu, penting untuk mempopulerkan wajah baru rokok sebagai ancaman bagi hak kesehatan perempuan, anak, dan remaja. Sebagai contoh, penting untuk banyak membuka fakta dampak rokok pada perempuan dan anak yang terjebak dalam lingkungan pecandu rokok berat. Misalnya; ibu dan anak rentan sakit apalagi anak-anak sampai mengalami stunting atau gagal tumbuh dengan ideal akibat kurang gizi dan terpapar rokok.
“Kita bisa mulai juga dengan merebut narasi merokok tidak lagi cool. Merokok itu tidak bersih, dan tidak keren karena baju sampai badannya bau rokok. Perlu disampaikan merokok bukan bagian dari kesetaraan gender, dan justru pengendalian tembakau adalah bagian dari mendukung hak hidup sehat perempuan,” sambungnya.
Pada akhirnya, bangunan narasi ini tidak akan kuat tanpa dukungan regulasi dan political will dari pemerintah. Oleh karenanya, Tungga mengimbau pemerintah harus berpikir ulang untuk mendisiplinkan industri rokok dengan mengutamakan kampanya hidup sehat dengan regulasi yang tepat guna.
Selanjutnya: Program Wirausaha Jadi Solusi Berhenti Merokok
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Cek artikel lain di Google News
Discussion about this post