Penghujung tahun menjadi momentum pemerintah untuk menetapkan kebijakan, termasuk kenaikan tarif cukai. Bahkan, tahun 2020, kenaikan tarif cukai diumumkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, pada Desember.
Meskipun begitu, sampai sekarang belum ada kejelasan terkait peta jalan (road map) penyederhanaan struktur tarif cukai tembakau.
“Penyederhanaan struktur tarif cukai tembakau ditunda atau dibatalkan?” kata Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Danang Widyoko saat seminar daring bertema Bagaimana Kelanjutan Kebijakan Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai Tembakau? pada Rabu (6/10/2021).
Padahal, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146 Tahun 2017 telah merumuskan peta jalan penyederhanaan (simplifikasi) struktur tarif cukai. Adapun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, juga telah mengamanatkan penyederhanaan tarif cukai. Danang mengatakan, seumpama saru informasi itu sampai tahun 2024, maka sama saja mendekati RPJMN yang baru. “Kami mendesak agar proses kebijakan ini tidak ditelantarkan,” ujarnya.
Danang mengutip Indonesia Budget Center, bahwa jika penyederhanaan struktur tarif cukai masih berjalan, maka negara akan mendapat tambahan penerimaan sebesar Rp10,97 triliun pada 2019. Negara juga berpeluang menerima Rp38,91 triliun pada 2020. Hal itu kalau menggunakan data produksi 2018 dengan tarif cukai rokok naik 23 persen juga memakai lima lapisan (layer) saja.
Data lain juga menunjukkan hal yang sama soal penerimaan negara, Danang merujuk sumber dari Pusat Kajian dan Pengembangan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya. Hasil simulasi menunjukkan, jika struktur tarif disederhanakan menjadi lima lapisan, proyeksi pendapatan cukai negara bertambah menjadi Rp237,79 triliun pada 2023.
Danang mafhum, cukai memang bukan soal uang yang diterima negara. Namun paling utama ialah untuk pengendalian konsumsi. “Simplifikasi mempertemukan berbagai aspek. Kalau cukai naik melalui penyederhanaan itu, supaya (harga merata) rokok tidak murah,” ujarnya. Hal itu berarti, pengendalian bisa diterapkan, karena konsumen tidak beralih ke rokok yang lebih murah.
Tren perokok tak pelak dipengaruhi iklan juga harga. “Potensi supaya anak, remaja tidak merokok masalah keterjangkauan, tidak mampu membeli,” kata Asisten Deputi Bidang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Nancy Dian Anggraeni.
Nancy memahami upaya pengendalian tembakau memang sudah berjalan lama. Hal itu, salah satunya merujuk aturan yang sudah ada tentang penyederhanaan tarif cukai sejak tahun 2017. “Tapi tahun selanjutnya, komitmen belum tahu di mana letaknya?” ujarnya mempertanyakan.
Kementerian Kesehatan memandang perilaku merokok itu sebagai kebiasaan. “Mengubah perilaku itu sulit, tapi menurut saya tidak ada yang tak mungkin,” kata Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kartini Rustandi.
Kartini juga sependapat soal harga murah rokok yang menyebabkan terus bermunculan konsumen baru. “Ada juga yang (bisa dibeli) ketengan,” ujarnya. “Mungkin cukai salah satu instrumen sebagai kebijakan untuk win win solution (solusi bersama).”
Kartini pun menyoroti masalah lain soal rokok. Menurut dia, perlu ada keseimbangan dalam upaya pengendalian, misalnya terkait petani atau pekerja di sektor tembakau. Sebab, pendapatan yang bersumber dari pekerjaan selama ini dijalani jika merosot akan memengaruhi kebutuhan hidup, sehingga memengaruhi aspek kesehatan
“Ini komprehensif ada masalah perpajakan, petani, dan sebagainya. Kita harus saling memahami, mencari jalan terbaik yang berkesinambungan,” tuturnya.
Penulis: Bram Setiawan
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post